Judul:
Desa Baru, Negara Lama
Penulis:
Sutoro Eko, M. Barori, Hastowiyono
Terbit:
Desember 2017
Penerbit:
Pascasarjana STPMD “APMD” Yogyakarta
ISBN:
978-979-981826-3
Tebal:
viii + 218
Dari judulnya bisa
diterka bahwa buku ini bertekad menawarkan pola pikir dan paradigma baru
tentang desa. Hal ini berangkat dari pandangan bahwa terbitnya Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ingin mewujudkan sekaligus menyelaraskan dua
wajah desa, yaitu pemerintahan dan masyarakat, melalui asas utama rekognisi-subsidiaritas.
Dengan perpaduan desain
self governing community dan local self government, desa diharapkan
berfungsi sebagai pemerintahan dan sarana mewujudkan civil society di aras lokal. Konsep desa hibrida inilah yang
membedakan antara muatan undang-undang tersebut dengan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang desa sebelumnya.
Kedudukan
Istimewa
Desa
Baru, Negara Lama memuat hasrat memantapkan rancang
bangun yang baru bagi desa dalam konstruksi pemerintahan yang usang. Desa ingin
diberdayakan selaku komunitas masyarakat hukum dengan ide, semangat, dan
gagasan baru, walaupun berada dalam lingkup negara masa silam. Hal ini
mengandung pengertian bahwa meski acap kali terkungkung dalam naungan negara
yang feodalistis, otoriter, serta bercorak top-down,
desa diupayakan berkarakter egaliter, demokratis, serta mengutamakan pranata
lokal.
Keberadaan negara
sebagai warisan kolonial tidak terlepas dari sejarah kedatangan penjajah
Belanda yang menjadi cikal-bakal lahirnya negara modern di Indonesia. Guna
menguasai tanah jajahan, penguasa kolonial menempuh teritorialisasi, modernisasi,
sentralisasi, birokratisasi, bahkan kapitalisasi. Oleh kaum penjajah, pemimpin-pemimpin
lokal ditarik menjadi birokrasi (pangreh praja). Anehnya, langkah ini disertai kebijakan
kontradiktif dengan mempertahankan
struktur asli desa.
Desa akhirnya memperoleh
pengakuan dan otonomi, meski kepala desa dimobilisasi untuk penarikan pajak dan
pengerahan tenaga kerja. Itulah mengapa, sepanjang sejarah Indonesia, desa
selalu dipahami dalam kerangka pemerintahan birokratik, patrimonial, dan
despotik. (hlm. 25)
Pemahaman “menyesatkan”
mengenai desa inilah yang sebenarnya ingin diluruskan oleh Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2014 tentang Desa. Desa memiliki kedudukan istimewa lantaran
kehadirannya mendahului negara. Berdasarkan alasan inilah, pemerintahan desa
tidak bisa disamakan begitu saja dengan pemerintahan daerah. Apabila
desentralisasi merupakan sumber wewenang pemerintah daerah, maka tidak demikian
dengan pemerintah desa. Otonomi pemerintahan daerah merupakan uluran tangan pemerintahan
pusat, sedangkan otonomi yang melekat pada pemerintahan desa bersifat asli.
Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa hendak memulihkan krisis sosial-budaya akibat derasnya
globalisasi, modernisasi, dan birokratisasi. Bercita rasa komunitarianisme,
undang-undang ini hendak menggelorakan ketahanan sosial-budaya melalui
revitalisasi budaya lokal, kearifan lokal, serta modal sosial. Harapannya,
ketahanan tersebut menjadi fondasi bagi kokohnya ketahanan nasional. (hlm. 73).
Harmonisasi
Buku ini mengantongi sejumlah
kelebihan. Salah satunya, perdebatan seputar desa yang pernah dikemukakan oleh founding fathers disuguhkan dengan rapi
dan terstruktur. Pemetaan mengenai konsep desa yang dilakukan secara sistematis
bertujuan agar pembaca lebih mudah menyerap pokok pikiran Soekarno, Sjahrir,
Hatta, dan Soepomo. Tak berhenti sampai sini. Penulis cukup jeli memunculkan
kategorisasi atas pemikiran masing-masing. Soekarno mewakili pihak
strukturalis-radikalis, Sjahrir merupakan cerminan dari kubu
orientalis-modernis, adapun Hatta dan Soepomo merepresentasikan kelompok
lokalis-eksistensialis.
Berbekal keberanian, penulis
melontarkan kritik tajam terhadap pemikiran-pemikiran tentang desa yang dinilai
mengingkari catatan historis. Dalam konteks inilah kredibilitas penulis teruji.
Penulis tidak hanya mendeskripsikan pendapat para tokoh bangsa secara padat dan
ringkas, melainkan juga menyelipkan catatan-catan kritis dengan data valid,
referensi yang dapat diandalkan, serta argumen yang meyakinkan.
Lebih dari itu, sikap penulis
ditunjukkan dengan keberpihakannya terhadap pemikiran yang dianggap paling
relevan. Bermodal pengalaman panjang meneliti, mengadovaksi, serta merumuskan
perencanaan program-program pemerintahan lokal, penulis mampu memilah mana
pemikiran yang “harus dibela” dan mana yang “mesti dikesampingkan”. Meskipun
demikian, penulis berhasil menghindarkan diri dari segala bentuk “cacat logika”
karena senantiasa berpijak pada aspek sosiologis, politis, dan yuridis
konstitusional.
Buku ini juga mengandung
harmonisasi sebagai ikhtiar memangkas kesenjangan antara tataran teoritis dengan
tataran praktis dalam jagat keilmuan. Bagaimanapun, tercapaianya keselarasan
antara keduanya, terutama dalam menggambarkan desa, merupakan capaian luar
biasa. Selama ini, desa cenderung diasumsikan secara berat sebelah oleh
beberapa kalangan.
Orang-orang yang
melihat desa dengan lensa teori terkesan kurang membumi dengan realitas. Kelompok
ini menjadikan pandangan pakar pemerintahan dan tata negara yang sangat kaku selaku
tolok ukur berpikir. Padahal, dalam taraf tertentu, basis keilmuannya berwatak formalistis
lantaran menihilkan ranah politis-sosiologis. Orientasi inilah yang menyebabkan
mereka mengantongi stereotip negatif: “kaum pemuja menara gading”.
Begitu pula sebaliknya.
Orang-orang yang merekam desa menggunakan kenyataan faktual belaka kerap terjebak
pada kesimpulan yang kurang filosofis, bahkan agak dangkal. Mereka rentan “terbius”
oleh tampilan fisik yang tampak di permukaan. Sehingga, penilaian mereka
sekadar menunjukkan gambaran artifisial dari fakta-fakta yang diperoleh dari lapangan,
bukan nilai, prinsip, serta etos yang berada di baliknya. Di sinilah kapasitas
menggabungkan kebenaran indrawi serta rasionalisasi menemukan relevansinya.
Namun demikian, buku
ini juga memuat kekurangan. Pada sejumlah halaman, pembaca tentu mengernyitkan
dahi ketika menemukan kata atau frasa yang semestinya tak disajikan. Betapa
tidak? Penulis tak segan “menghakimi” pemerintah dengan kalimat yang kasar. Padahal,
sekeras apa pun, kritik selayaknya disampaikan secara santun dan bijak. Inilah
yang membuat kenyamanan pembaca sedikit terganggu. Jika dalam cetakan
berikutnya kekurangan tersebut genap dihilangkan, maka alangkah senangnya pegiat
desa, akademisi, atau khalayak umum memelototi baris demi baris buku ini seraya
menikmati hangatnya secangkir kopi.
Bojonegoro, 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar