Minggu, 12 Agustus 2018

Desa dalam Logika Pemerintahan Feodal (Resensi_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Sindo" edisi Minggu, 12 Agustus 2018)



Judul: Desa Baru, Negara Lama
Penulis: Sutoro Eko, M. Barori, Hastowiyono
Terbit: Desember 2017
Penerbit: Pascasarjana STPMD “APMD” Yogyakarta
ISBN: 978-979-981826-3
Tebal: viii + 218

Dari judulnya bisa diterka bahwa buku ini bertekad menawarkan pola pikir dan paradigma baru tentang desa. Hal ini berangkat dari pandangan bahwa terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ingin mewujudkan sekaligus menyelaraskan dua wajah desa, yaitu pemerintahan dan masyarakat, melalui asas utama rekognisi-subsidiaritas.
Dengan perpaduan desain self governing community dan local self government, desa diharapkan berfungsi sebagai pemerintahan dan sarana mewujudkan civil society di aras lokal. Konsep desa hibrida inilah yang membedakan antara muatan undang-undang tersebut dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang desa sebelumnya.

Kedudukan Istimewa
Desa Baru, Negara Lama memuat hasrat memantapkan rancang bangun yang baru bagi desa dalam konstruksi pemerintahan yang usang. Desa ingin diberdayakan selaku komunitas masyarakat hukum dengan ide, semangat, dan gagasan baru, walaupun berada dalam lingkup negara masa silam. Hal ini mengandung pengertian bahwa meski acap kali terkungkung dalam naungan negara yang feodalistis, otoriter, serta bercorak top-down, desa diupayakan berkarakter egaliter, demokratis, serta mengutamakan pranata lokal.
Keberadaan negara sebagai warisan kolonial tidak terlepas dari sejarah kedatangan penjajah Belanda yang menjadi cikal-bakal lahirnya negara modern di Indonesia. Guna menguasai tanah jajahan, penguasa kolonial menempuh teritorialisasi, modernisasi, sentralisasi, birokratisasi, bahkan kapitalisasi. Oleh kaum penjajah, pemimpin-pemimpin lokal ditarik menjadi birokrasi (pangreh praja). Anehnya, langkah ini disertai kebijakan kontradiktif dengan  mempertahankan struktur asli desa.
Desa akhirnya memperoleh pengakuan dan otonomi, meski kepala desa dimobilisasi untuk penarikan pajak dan pengerahan tenaga kerja. Itulah mengapa, sepanjang sejarah Indonesia, desa selalu dipahami dalam kerangka pemerintahan birokratik, patrimonial, dan despotik. (hlm. 25)
Pemahaman “menyesatkan” mengenai desa inilah yang sebenarnya ingin diluruskan oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Desa memiliki kedudukan istimewa lantaran kehadirannya mendahului negara. Berdasarkan alasan inilah, pemerintahan desa tidak bisa disamakan begitu saja dengan pemerintahan daerah. Apabila desentralisasi merupakan sumber wewenang pemerintah daerah, maka tidak demikian dengan pemerintah desa. Otonomi pemerintahan daerah merupakan uluran tangan pemerintahan pusat, sedangkan otonomi yang melekat pada pemerintahan desa bersifat asli.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa hendak memulihkan krisis sosial-budaya akibat derasnya globalisasi, modernisasi, dan birokratisasi. Bercita rasa komunitarianisme, undang-undang ini hendak menggelorakan ketahanan sosial-budaya melalui revitalisasi budaya lokal, kearifan lokal, serta modal sosial. Harapannya, ketahanan tersebut menjadi fondasi bagi kokohnya ketahanan nasional. (hlm. 73).

Harmonisasi
Buku ini mengantongi sejumlah kelebihan. Salah satunya, perdebatan seputar desa yang pernah dikemukakan oleh founding fathers disuguhkan dengan rapi dan terstruktur. Pemetaan mengenai konsep desa yang dilakukan secara sistematis bertujuan agar pembaca lebih mudah menyerap pokok pikiran Soekarno, Sjahrir, Hatta, dan Soepomo. Tak berhenti sampai sini. Penulis cukup jeli memunculkan kategorisasi atas pemikiran masing-masing. Soekarno mewakili pihak strukturalis-radikalis, Sjahrir merupakan cerminan dari kubu orientalis-modernis, adapun Hatta dan Soepomo merepresentasikan kelompok lokalis-eksistensialis.
Berbekal keberanian, penulis melontarkan kritik tajam terhadap pemikiran-pemikiran tentang desa yang dinilai mengingkari catatan historis. Dalam konteks inilah kredibilitas penulis teruji. Penulis tidak hanya mendeskripsikan pendapat para tokoh bangsa secara padat dan ringkas, melainkan juga menyelipkan catatan-catan kritis dengan data valid, referensi yang dapat diandalkan, serta argumen yang meyakinkan.
Lebih dari itu, sikap penulis ditunjukkan dengan keberpihakannya terhadap pemikiran yang dianggap paling relevan. Bermodal pengalaman panjang meneliti, mengadovaksi, serta merumuskan perencanaan program-program pemerintahan lokal, penulis mampu memilah mana pemikiran yang “harus dibela” dan mana yang “mesti dikesampingkan”. Meskipun demikian, penulis berhasil menghindarkan diri dari segala bentuk “cacat logika” karena senantiasa berpijak pada aspek sosiologis, politis, dan yuridis konstitusional.
Buku ini juga mengandung harmonisasi sebagai ikhtiar memangkas kesenjangan antara tataran teoritis dengan tataran praktis dalam jagat keilmuan. Bagaimanapun, tercapaianya keselarasan antara keduanya, terutama dalam menggambarkan desa, merupakan capaian luar biasa. Selama ini, desa cenderung diasumsikan secara berat sebelah oleh beberapa kalangan.
Orang-orang yang melihat desa dengan lensa teori terkesan kurang membumi dengan realitas. Kelompok ini menjadikan pandangan pakar pemerintahan dan tata negara yang sangat kaku selaku tolok ukur berpikir. Padahal, dalam taraf tertentu, basis keilmuannya berwatak formalistis lantaran menihilkan ranah politis-sosiologis. Orientasi inilah yang menyebabkan mereka mengantongi stereotip negatif: “kaum pemuja menara gading”.
Begitu pula sebaliknya. Orang-orang yang merekam desa menggunakan kenyataan faktual belaka kerap terjebak pada kesimpulan yang kurang filosofis, bahkan agak dangkal. Mereka rentan “terbius” oleh tampilan fisik yang tampak di permukaan. Sehingga, penilaian mereka sekadar menunjukkan gambaran artifisial dari fakta-fakta yang diperoleh dari lapangan, bukan nilai, prinsip, serta etos yang berada di baliknya. Di sinilah kapasitas menggabungkan kebenaran indrawi serta rasionalisasi menemukan relevansinya.
Namun demikian, buku ini juga memuat kekurangan. Pada sejumlah halaman, pembaca tentu mengernyitkan dahi ketika menemukan kata atau frasa yang semestinya tak disajikan. Betapa tidak? Penulis tak segan “menghakimi” pemerintah dengan kalimat yang kasar. Padahal, sekeras apa pun, kritik selayaknya disampaikan secara santun dan bijak. Inilah yang membuat kenyamanan pembaca sedikit terganggu. Jika dalam cetakan berikutnya kekurangan tersebut genap dihilangkan, maka alangkah senangnya pegiat desa, akademisi, atau khalayak umum memelototi baris demi baris buku ini seraya menikmati hangatnya secangkir kopi.

Bojonegoro, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar