Rabu, 18 Juli 2018

Aceh, Sekolah Desa, dan Paradigma Gender (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Analisa" edisi Rabu, 18 Juli 2018)


Lantaran termakan usia, beberapa Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Kabupaten Aceh Tenggara (Agara) dalam kondisi memprihatinkan. Rusaknya bangunan antara lain ditandai dengan langit-langit yang pecah, lantai yang retak, serta cat yang mengelupas. Adapun minimnya fasilitas bisa dilihat dari sebagian meja dan kursi yang tak layak pakai. Keadaan demikian tentu mengganggu aktivitas belajar dan mengajar di sekolah. Tingginya semangat para murid dalam menuntut ilmu kurang seimbang dengan sarana dan prasarana yang ada.
Motivasi mereka dalam mengejar cita-cita justru direspons dengan minimnya kepedulian pemerintah terhadap eksistensi lembaga pendidikan. Padahal, pada masa kolonialisme Belanda, berdirinya “sekolah desa” di Aceh menunjukkan atensi pemerintah terhadap bidang pendidikan, meski coraknya ambivalen dan kontradiktif. Di satu sisi, lahirnya sekolah desa turut mengurangi angka buta huruf. Namun, di sisi lain, kehadirannya juga menunjukkan bahwa kaum kolonial sekadar berhasrat menyuguhkan citra positif di hadapan rakyat jajahan.

Persamaan Hak
Eksistensi sekolah desa di Aceh menggambarkan fenomena menarik. Langkah penguasa kolonial menghadirkan lembaga pendidikan pada daerah dengan adat-adat lokal yang begitu kuat tersebut ternyata disertai dengan dikenalkannya paradigma gender. Budaya patriarki yang didukung oleh tokoh-tokoh Islam diimbangi dengan dimasukkannya persamaan hak laki-laki dengan perempuan. Selain itu, ikhtiar mengupayakan pendidikan bagi orang-orang kecil senantiasa melahirkan pihak pro dan kontra. Uniknya, perbedaan pandang ini tidak hanya menimpa pihak kolonial, tetapi juga masyarakat setempat.
Pada tahun 1907, Gubernur Van Daalen memprakarsai kelahiran sekolah desa di Aceh. Lembaga pendidikan bagi anak-anak perempuan dibangun pertama kali di Ulee Lheue pada tanggal 1 Mei 1910. Di bawah pemerintah Gubernur Swat, sekolah desa cukup berkembang. Istri pejabat-pejabat tinggi Belanda turut berkontribusi dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan kaum perempuan Aceh. Bagi orang-orang kampung yang terpandang dan anak-anak pegawai rendahan dibangun sekolah rendah lima tahun (Inlandsche School atau Sekolah Melayu), di mana para lulusan sekolah desa tiga tahun boleh melanjutkan studinya ke sekolah ini. Proses pembelajaran mengalami hambatan, lantaran guru-gurunya yang berasal dari suku Batak dan Minangkabau tidak bisa berbahasa Aceh, sedangkan rakyat di desa-desa tidak mampu berkomunikasi dengan bahasa Melayu.
Melalui buku Menuju Sejarah Sumatra: antara Indonesia dan Dunia, Anthony Reid (2011: 334-335) menjelaskan bahwa pada waktu sekolah desa dibuka pada awal tahun 1900-an, bahasa pengantar yang dipakai adalah bahasa Melayu. Tepatnya pada tahun 1932, saat mengkhawatirkan rakyat Aceh yang mengombinasikan sikap anti-asing dengan nasionalisme Indonesia, pemerintah kolonial mengganti bahasa pengantar dengan bahasa Aceh. Lantaran mencurigai bahwa kebijakan ini merupakan siasat politik Belanda untuk mengisolasi Aceh, banyak elite terpelajar dari daerah serambi Mekah tersebut merasa keberatan.

Perbedaan Sikap
Lahirnya sekolah-sekolah dukungan Belanda direspons dengan munculnya kelompok fanatik dan kelompok luwes. Lantaran tidak mampu memprediksi hasilnya, kelompok pertama pada awalnya bersikap kaku terhadap pendidikan model Barat tersebut. Bagi mereka, lembaga pendidikan agama tradisional, yaitu dayah atau deah, sudah cukup memadai. Sikap ini dikukuhkan dengan mengeluarkan isu bahwa siapa saja yang belajar di sekolah-sekolah tersebut dianggap kafir. Muncul pula keengganan penduduk menyekolahkan buah hati, dikarenakan kepercayaan mereka terhadap pendapat bahwa tangan orang yang pandai menulis huruf latin bakal dipotong di akhirat. Berangkat dari asumsi inilah, sekolah desa mereka sebut dengan sikula deesa (sekolah dosa). Adapun kelompok yang luwes justru mengekor langkah pemimpin-pemimpin adat dengan mendaftarkan buah hati pada sekolah-sekolah bikinan Belanda. (Muhammad Ibrahim, dkk., 1991: 159-160).
Munculnya respons positif dan negatif sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa masyarakat Aceh berbeda dalam menyikapi keadaan. Dipeliharanya nilai-nilai lama dan diterimanya nilai-nilai baru dalam kehidupan menjadikan mereka tidak selalu seragam dalam menghadapi realitas. Orang-orang yang berjiwa responsif dan dinamis akan menerima kehadiran sekolah desa. Adapun mereka yang memegang teguh tradisi leluhur cenderung menolak keberadaannya. Sekolah desa merupakan institusi baru yang muncul belakangan setelah masyarakat menaruh kepercayaan besar terhadap lembaga pendidikan agama. Sejak lama, mereka tumbuh bersama doktrin dan ajaran yang disampaikan oleh tokoh-tokoh agama melalui institusi tradisional. Melalui sistem pendidikan yang diterapkan pada dayah atau deah, mereka sangat teguh merawat tradisi. 
Berdasarkan buku Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh (1991: 186), perkembangan sejarah menunjukkan bahwa sekolah desa bukanlah satu-satunya lembaga pendidikan yang pernah “hidup” di Aceh. Pada akhir penjajahan Belanda telah muncul beragam jenis pendidikan, baik pendidikan umum maupun pendidikan swasta. Pendidikan umum dilaksanakan oleh pemerintah mulai dari sekolah desa (Volkschool) yang berdiri di kawasan pedesaan hingga MULO yang ada di Kutaraja (Banda Aceh). Adapun lembaga pendidikan yang diselenggarakan pihak swasta antara lain yaitu Muhammadiyah dan Taman Siswa serta sekolah-sekolah rintisan masyarakat setempat, semisal Pasuka Peurelak, Rumah Perguruan Kita, dan Rumah Perguruan Murid di Takengon.

Bojonegoro, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar