Bagi orang desa,
berdirinya “agen umrah” tentu membawa kabar gembira. Ketika Ongkos Naik Haji
(ONH) belum dapat dikantongi, tersedianya jasa layanan keberangkatan ke tanah
suci dengan harga miring menjawab sebagian permasalahan mereka. Dalam taraf
tertentu, dilaksanakannya ibadah umrah mengandung ikhtiar “menghibur diri” saat
rukun Islam yang kelima belum mampu ditunaikan.
Adapun mereka yang
mampu menunaikan ibadah haji biasanya memiliki ciri khas dan keunikan
tersendiri. Boleh dibilang, keduanya menjadi pembeda antara jamaah haji dari
wilayah pedalaman dengan jamaah haji yang berasal dari wilayah urban. Tulisan
ini berusaha menyinggung sebagian kekhasan yang dimaksud.
Narasi
Minor
Diselenggarakannya
ibadah haji setiap tahun menyajikan beragam romansa kebahagiaan. Tak heran jika
para jamaah haji gemar menyampaikan cerita mengesankan setiba di tanah air.
Bagi mereka, Mekah merupakan representasi surga yang senantiasa menyuguhkan ketenangan,
kesejukan, serta kedamaian. Lahirnya kisah-kisah tersebut merupakan ekspresi
kerinduan seorang makhluk kepada sang pencipta. Namun demikian, ada pula
‘narasi minor’ yang jarang terungkap. Di balik rukun Islam kelima tersebut
tersimpan sisi-sisi lain yang dalam banyak hal ditampilkan oleh orang desa.
Sebelum genap mengenal
etos modernitas, masyarakat perdesaan merasa asing dengan perangkat teknologi
sebagai produk berkembangnya daya berpikir manusia. Ada saja peristiwa lucu dan
unik seputar respons mereka terhadap sarana modern, termasuk menjelang
pelaksanaan ibadah haji. Sebagai contoh, kegagalan keberangkatan haji seseorang
dipicu oleh fobia ketinggian. Ada pula yang rela membatalkan niatnya lantaran
khawatir jika armada yang akan ditumpangi tiba-tiba jatuh.
Padahal, disediakannya alat
transportasi berupa pesawat terbang, baik oleh pemerintah maupun pihak swasta,
sebenarnya dimaksudkan untuk menjamin keamanan, kesehatan, serta kenyamanan
jamaah haji. Akan tetapi, kebijakan ini kerap dirasakan oleh orang-orang yang berasal
dari udik sebagai suatu kesulitan lantaran belum terbiasa dengan hal-hal baru yang
terkadang bahkan dianggap aneh.
Apa yang mereka
tampilkan merupakan wujud kepolosan, keluguan, serta kesederhanaan. Hal ini
menunjukkan bahwa mereka belum siap menerima perubahan. Mereka membutuhkan
waktu untuk menyerap berbagai bentuk transformasi dalam kehidupan.
Bagaimanapun, menancapnya nilai-nilai globalisasi di daerah-daerah pedalaman
memerlukan proses dan adaptasi.
Sakralitas
Orang desa kerap
menghubungkan tanah suci dengan tanah kelahiran. Dalam buku Direktori Potensi Wisata Budaya di Kawasan
Karst Maros-Pangkep Sulawesi Selatan Indonesia (2007: 40) tertulis bahwa
karena menjadi pusat bumi (to’do),
masyarakat setempat pada masa silam menyebut Gantarang Lalang Bata sebagai Makkakeke (Mekah).
Konon, ibadah haji
seseorang tak mungkin sah sebelum ia mengunjungi to’do yang berada di Dusun Gantarang, Desa Bontomarannu, Kecamatan
Bontomanai, Kabupaten Selayang. Itulah mengapa, sebelum berangkat ke tanah
suci, para calon jamaah haji terlebih dahulu menggelar manasik haji di tempat
yang dikeramatkan tersebut.
Tradisi yang sudah lama
ditinggalkan di atas menggambarkan karakteristik asli masyarakat perdesaan.
Betapa sikap, perbuatan, serta pikiran mereka senantiasa dilingkupi dengan
mitos dan legenda yang diwariskan lintas generasi. Mereka menganggap bahwa desa
memuat sakralitas yang harus dijunjung tinggi oleh semua orang. Sejumlah titik
dipercaya menyimpan aura dan kekuatan magis, sehingga layak memperoleh
penghormatan.
Dalam taraf tertentu,
mereka berusaha mempererat ikatan psikologis-spiritual yang menautkan antara
ritual agama dengan tanah kelahiran. Ibadah haji yang begitu dimuliakan tetap
memiliki keterkaitan dengan ruang di mana mereka tumbuh. Perilaku demikian
merupakan sebagian wujud rasa cinta terhadap desa. Tak berlebihan apabila
kemudian muncul asumsi bahwa nasionalisme pertama-tama tumbuh di hati ‘orang
udik’.
Etos
Beribadah
Selama dua ratus tahun,
tepatnya sejak abad IX hingga abad XX, secara umum jamaah haji Indonesia
berasal dari wilayah perdesaan yang terdiri atas kaum petani dan nelayan. Fakta
ini mengindikasikan bahwa orang desa memegang etos beribadah yang kuat.
Berbagai keterbatasan tidak lantas membuat mereka menyerah dan putus asa.
Mereka senantiasa memupuk harapan dengan senantiasa mengagungkan yang kudus,
meningkatkan aspek kerohanian, serta mengatasi segala sesuatu yang bersifat
profan. Seiring dengan kemauan yang kerap melebihi modal finansial, maka
munculnya hasrat beribadah membuat mereka nekat. Mereka melaksanakan ibadah
haji meski dengan ‘kantong cekak’.
Bila ditelisuri,
sebenarnya mayoritas jamaah haji yang berangkat setiap tahun ke tanah suci
belum mempunyai bekal materi yang cukup. Keadaan inilah yang menyebabkan
orang-orang Arab di Hijaz menjulukinya dengan “haji miskin”. Daya pikat haji
kerap mendorong orang desa berbuat melebihi kemampuan, sehingga timbul kesan
bahwa mereka memaksakan diri untuk melaksanakan ibadah haji meski bermodal
pas-pasan (M. Shaleh Putuhena, 2007: 336).
Rupanya keinginan yang
besar untuk menunaikan rukum Islam kelima tersebut genap merangsang mereka
untuk menempuh bermacam aktivitas ekonomi dan berhemat. Di sinilah muncul
kreativitas manusia dalam mengelola hidup. Ada saja kiat orang desa untuk
menabung dan mengumpulkan uang. Dalam pandangan Jacob Vredenbregt, keduanya
menjadi faktor pembeda antara calon jamaah haji dari desa dengan lainnya. Lebih
dari itu, hadirnya haji sebagai kelas baru dalam masyarakat tentu memantik
perubahan struktur sosial di level akar rumput (grass root).
Dalam perkembangannya,
ibadah haji ternyata mampu menggeliatkan perekonomian. Terutama pada abad XX,
perjalanan haji telah memengaruhi pertumbuhan ekonomi rakyat melalui kerja
keras dan ikhtiar menekan pengeluaran. Buku Historiografi
Haji Indonesia (2007: 396) mencatat bahwa selain mengatrol taraf hidup
rakyat, proses pengumpulan biaya perjalanan haji juga memberi keuntungan bagi
pedagang perantara di lingkup perdesaan dan pedagang besar di perkotaan.
Anehnya, meski setiap
tahun biaya pemberangkatan orang desa ke tanah suci sangat besar, namun
perputaran ekonomi lokal tidak terganggu. Dalam beberapa segi, kondisi
perekonomian di wilayah pedalaman justru semakin kuat. Bahkan, karena tidak
terlalu bergantung pada ekonomi rakyat, fondasi keuangan pemerintah Hindia
Belanda juga tidak goyah.
Yogyakarta, 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar