Senin, 09 Juli 2018

Persekusi, Sebuah Peradilan Massa (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Senin, 9 Juli 2018)

Kecaman terhadap tindak kekerasan yang menimpa Oryza Ardiansyah Wirawan diwujudkan oleh puluhan jurnalis dengan menggelar aksi damai di Surabaya. Sebagaimana diketahui, saat meliput pertandingan antara Persid Jember dan Sindo Dharaka, di Jember Sport Garden, Jawa Timur, pada 4 Juli lalu, jurnalis media online tersebut mengalami pengeroyokan. Bukan sekali ini saja, aksi serupa sebelumnya juga kerap dijumpai di sejumlah tempat.
Menjamurnya persekusi massa akhir-akhir ini menunjukkan gemarnya masyarakat Indonesia menggelar pengadilan massa. Fenomena ini menggambarkan bahwa masyarakat tidak lagi percaya kepada penegak hukum yang kerap mengantongi stereotip negatif. Gencarnya pemberitaan media cetak atau daring tentang terlibatnya hakim dan aparat kepolisian dalam kasus korupsi atau pungutan liar (pungli) tentu memangkas simpati masyarakat terhadap mereka. Imbasnya, kewibawaan hukum merosot sedemikian rupa.
Lantaran menghendaki tegaknya keadilan, ketertiban, dan keamanan, masyarakat bertindak sekaligus sebagai penegak hukum. Guna mewujudkan berfungsinya norma-norma agama, kesusilaan, kesopanan, dan hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, akhirnya tindakan persekusi massa diambil. Masyarakat seolah meminjam daya paksa yang dimiliki oleh “petugas negara” dalam menjalankan kewajibannya. Sehingga, rasionalitas, kebijakan, dan kearifan seringkali ditinggalkan demi mencapai kehendak tertentu. Dalam taraf tertentu, masyarakat kini dibutakan oleh individualisme dan egoisme yang mulai menyerang bangsa-bangsa beradab. Dalam kondisi demikian, muncul sebuah konsensus tak tertulis, “asal keinginan terwujud, apa pun boleh dilakukan”.

Sejumlah Sebab
Ada sebab-sebab mengapa aksi main hakim sendiri seringkali ditemui. Belum terwujudnya kehidupan adil dan makmur yang digariskan dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bawahnya membuat masyarakat gelap mata. Emosi kerap menyulut orang-orang yang belum sepenuhnya merasakan perlindungan negara. Kecurigaan seringkali menghinggapi mereka yang selama ini dikecewakan oleh pemerintah. Berbagai kebijakan bercorak top-down yang kurang mampu menyentuh orang-orang kecil genap menimbulkan sikap antipati terhadap kebijakan rezim pemerintahan.
Selain itu, mental menerabas yang dimiliki orang-orang Indonesia seolah menjadi semacam legitimasi atau pengabsah bagi segala “perilaku Barbar”. Celakanya, fenomena ini bukan hanya ditemukan di perkotaan, melainkan juga di pedalaman. Padahal, kawasan perdesaan pada masa silam menjadi oase di tengah keringnya peradaban. Namun demikian, terjadi pergeseran karakter orang-orang desa yang dulu dikenal ramah menjadi beringas akibat beragam kebijakan pemerintah pusat yang menihilkan potensi masyarakat.
Sejak lama, arah pembangunan pertanian dan perdesaan telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Rembug desa hanya merupakan formalitas, di mana masyarakat desa kurang dilibatkan dalam prosesnya. Mereka tidak diajak serta dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi. Semua yang terjadi serba cepat, serba seragam, serta meninggalkan dinamika demokrasi yang menumbuhkan partisipasi, kemandirian, dan rasa memiliki. Akibatnya, di samping membuat masyarakat kehilangan kendali dan jatidiri, hal ini juga melahirkan mentalitas menerabas, semisal menjarah, main hakim sendiri atau menggelar pengadilan massa. (Karwan A. Salikin. 2003: 99).
Menjamurnya gejala-gejala persekusi massa juga dipengaruhi oleh menguatnya budaya instan yang merangsek ke hampir semua lini kehidupan. Etos globalisasi dan modernisasi menuntut manusia mengerjakan urusannya sekaligus mengatasi berbagai macam permasalahannya dengan serba cepat. Pada abad ke-21, manusia senantiasa didorong untuk mencapai angan dan mimpinya dengan cara kilat. Bahkan, virtualisasi dan digitalisasi mengajak manusia untuk menempuh cara-cara instan dengan mengabaikan proses. Akibatnya, apa yang terjadi di sekitar manusia lewat begitu saja tanpa terlebih dahulu diendapkan dalam pikiran. Manusia enggan menjadikannya sebagai bahan renungan karena dinilai tak berharga.

Kontrol Sosial
Munculnya kasus-kasus persekusi massa tidak terlepas dari kentalnya kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Luasnya daerah dan kemajemukan di Indonesia turut menyuburkan kontrol sosial informal di masyarakat. Dalam buku Membangun Polisi Sipil: Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan tercatat bahwa di Kalipoh, Kebumen, Jawa Tengah, pernah berlangsung “pengadilan desa”. Pengadilan informal yang dipimpin oleh kepala desa setempat tersebut dilaksanakan sebagaimana pengadilan formal atau negeri. Di dalamnya termuat dakwaan atas suatu perbuatan beserta sanksinya. Monopoli oleh institusi kontrol formal ternyata tidak selamanya dapat dipertahankan dan pertukaran antara kontrol formal dan informal sukar dihindarkan.
Tindakan serupa terjadi pula di Malang, Jawa Timur. Ketika itu dua orang tanpa status pernikahan yang didakwa melakukan hubungan seks disuruh warga setempat untuk memeragakannya di hadapan umum. Aksi ini bertujuan untuk menunjukkan “pembalasan sosial” sebagai bagian dari implementasi kontrol sosial oleh desa. Oleh Satjipto Rahardjo (2007: 93), kontrol informal semacam ini disebut dengan “Sindrom Arakan Bugil” (SAB). Istilah ini diambil dari suatu peristiwa “main hakim sendiri” yang kerap terjadi di berbagai daerah. Seseorang yang oleh masyarakat dituduh berbuat asusila, secara spontan dipaksa mengelilingi desa dalam keadaan telanjang. Dalam pandangan pemikir hukum tersebut, SAB merupakan perbuatan “main hakim sendiri” dan dinilai sebagai perbuatan melanggar hukum.
Eldar Braten pernah menganalisa tiga kasus kekerasan di suatu desa di Jawa dan menghubungkannya dengan pengabsahan perilaku tersebut secara kultural. Ia berusaha menelisik lebih jauh mengenai hubungan antara negara, komunitas, dan kejahatan sekaligus menunjukkan “di dalam kasus-kasus macam apa dan di bawah keadaan bagaimana para penduduk desa main hakim sendiri dan kapan mereka dipersiapkan untuk menyerahkan penyelesaian konflik dan tindakan-tindakan kriminal kepada negara”. Seolah penggunaan kekerasan di tingkat lokal secara sepintas mengindikasikan kesewenangan dan berlangsung secara kebetulan (fortuitiousness). Akan tetapi, pengamatan lebih mendalam mengungkapkan bahwa tercatat parameter-parameter kultural khusus terkait gagasan tentang kemanusiaan dan komunitas yang mengizinkan penggunaan kekerasan. (Frans Hüsken dan Huub de Jonge [ed], 2003: 8).
Parameter-parameter inilah yang semestinya dipahami oleh pemerintah dalam upaya menempuh pendekatan terhadap pelaku dan korban persekusi. Sehingga, berbagai bentuk penghakiman massa tanpa melibatkan penegak hukum bisa diminimalisir. Bagaimanapun, belum terwujudnya keadilan dan kemakmuran secara merata tidak serta-merta mengizinkan warga negara menempuh pengadilan massa karena rentan meluluhlantakkan fondasi kebangsaan yang genap dibangun oleh para pendahulu dan nenek moyang.

Bojonegoro, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar