Kecaman terhadap tindak
kekerasan yang menimpa Oryza Ardiansyah Wirawan diwujudkan oleh puluhan
jurnalis dengan menggelar aksi damai di Surabaya. Sebagaimana diketahui, saat
meliput pertandingan antara Persid Jember dan Sindo Dharaka, di Jember Sport
Garden, Jawa Timur, pada 4 Juli lalu, jurnalis media online tersebut mengalami
pengeroyokan. Bukan sekali ini saja, aksi serupa sebelumnya juga kerap dijumpai
di sejumlah tempat.
Menjamurnya persekusi
massa akhir-akhir ini menunjukkan gemarnya masyarakat Indonesia menggelar
pengadilan massa. Fenomena ini menggambarkan bahwa masyarakat tidak lagi
percaya kepada penegak hukum yang kerap mengantongi stereotip negatif.
Gencarnya pemberitaan media cetak atau daring tentang terlibatnya hakim dan
aparat kepolisian dalam kasus korupsi atau pungutan liar (pungli) tentu
memangkas simpati masyarakat terhadap mereka. Imbasnya, kewibawaan hukum
merosot sedemikian rupa.
Lantaran menghendaki
tegaknya keadilan, ketertiban, dan keamanan, masyarakat bertindak sekaligus
sebagai penegak hukum. Guna mewujudkan berfungsinya norma-norma agama,
kesusilaan, kesopanan, dan hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, akhirnya tindakan persekusi
massa diambil. Masyarakat seolah meminjam daya paksa yang dimiliki oleh
“petugas negara” dalam menjalankan kewajibannya. Sehingga, rasionalitas,
kebijakan, dan kearifan seringkali ditinggalkan demi mencapai kehendak
tertentu. Dalam taraf tertentu, masyarakat kini dibutakan oleh individualisme
dan egoisme yang mulai menyerang bangsa-bangsa beradab. Dalam kondisi demikian,
muncul sebuah konsensus tak tertulis, “asal keinginan terwujud, apa pun boleh
dilakukan”.
Sejumlah
Sebab
Ada sebab-sebab mengapa
aksi main hakim sendiri seringkali ditemui. Belum terwujudnya kehidupan adil
dan makmur yang digariskan dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan di
bawahnya membuat masyarakat gelap mata. Emosi kerap menyulut orang-orang yang
belum sepenuhnya merasakan perlindungan negara. Kecurigaan seringkali
menghinggapi mereka yang selama ini dikecewakan oleh pemerintah. Berbagai
kebijakan bercorak top-down yang
kurang mampu menyentuh orang-orang kecil genap menimbulkan sikap antipati
terhadap kebijakan rezim pemerintahan.
Selain itu, mental
menerabas yang dimiliki orang-orang Indonesia seolah menjadi semacam legitimasi
atau pengabsah bagi segala “perilaku Barbar”. Celakanya, fenomena ini bukan
hanya ditemukan di perkotaan, melainkan juga di pedalaman. Padahal, kawasan
perdesaan pada masa silam menjadi oase di tengah keringnya peradaban. Namun
demikian, terjadi pergeseran karakter orang-orang desa yang dulu dikenal ramah
menjadi beringas akibat beragam kebijakan pemerintah pusat yang menihilkan
potensi masyarakat.
Sejak
lama, arah pembangunan pertanian dan perdesaan telah ditetapkan oleh pemerintah
pusat. Rembug desa hanya merupakan
formalitas, di mana masyarakat desa kurang dilibatkan dalam prosesnya. Mereka
tidak diajak serta dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi.
Semua yang terjadi serba cepat, serba seragam, serta meninggalkan dinamika
demokrasi yang menumbuhkan partisipasi, kemandirian, dan rasa memiliki.
Akibatnya, di samping membuat masyarakat kehilangan kendali dan jatidiri, hal
ini juga melahirkan mentalitas menerabas, semisal menjarah, main hakim sendiri
atau menggelar pengadilan massa. (Karwan A. Salikin. 2003: 99).
Menjamurnya
gejala-gejala persekusi massa juga dipengaruhi oleh menguatnya budaya instan
yang merangsek ke hampir semua lini kehidupan. Etos globalisasi dan modernisasi
menuntut manusia mengerjakan urusannya sekaligus mengatasi berbagai macam
permasalahannya dengan serba cepat. Pada abad ke-21, manusia senantiasa
didorong untuk mencapai angan dan mimpinya dengan cara kilat. Bahkan,
virtualisasi dan digitalisasi mengajak manusia untuk menempuh cara-cara instan
dengan mengabaikan proses. Akibatnya, apa yang terjadi di sekitar manusia lewat
begitu saja tanpa terlebih dahulu diendapkan dalam pikiran. Manusia enggan
menjadikannya sebagai bahan renungan karena dinilai tak berharga.
Kontrol
Sosial
Munculnya kasus-kasus
persekusi massa tidak terlepas dari kentalnya kontrol sosial dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Luasnya daerah dan kemajemukan di
Indonesia turut menyuburkan kontrol sosial informal di masyarakat. Dalam buku Membangun Polisi Sipil: Perspektif Hukum,
Sosial, dan Kemasyarakatan tercatat bahwa di Kalipoh, Kebumen, Jawa Tengah,
pernah berlangsung “pengadilan desa”. Pengadilan informal yang dipimpin oleh
kepala desa setempat tersebut dilaksanakan sebagaimana pengadilan formal atau
negeri. Di dalamnya termuat dakwaan atas suatu perbuatan beserta sanksinya.
Monopoli oleh institusi kontrol formal ternyata tidak selamanya dapat
dipertahankan dan pertukaran antara kontrol formal dan informal sukar
dihindarkan.
Tindakan serupa terjadi
pula di Malang, Jawa Timur. Ketika itu dua orang tanpa status pernikahan yang
didakwa melakukan hubungan seks disuruh warga setempat untuk memeragakannya di
hadapan umum. Aksi ini bertujuan untuk menunjukkan “pembalasan sosial” sebagai
bagian dari implementasi kontrol sosial oleh desa. Oleh Satjipto Rahardjo
(2007: 93), kontrol informal semacam ini disebut dengan “Sindrom Arakan Bugil”
(SAB). Istilah ini diambil dari suatu peristiwa “main hakim sendiri” yang kerap
terjadi di berbagai daerah. Seseorang yang oleh masyarakat dituduh berbuat
asusila, secara spontan dipaksa mengelilingi desa dalam keadaan telanjang.
Dalam pandangan pemikir hukum tersebut, SAB merupakan perbuatan “main hakim
sendiri” dan dinilai sebagai perbuatan melanggar hukum.
Eldar Braten pernah
menganalisa tiga kasus kekerasan di suatu desa di Jawa dan menghubungkannya
dengan pengabsahan perilaku tersebut secara kultural. Ia berusaha menelisik
lebih jauh mengenai hubungan antara negara, komunitas, dan kejahatan sekaligus
menunjukkan “di dalam kasus-kasus macam apa dan di bawah keadaan bagaimana para
penduduk desa main hakim sendiri dan kapan mereka dipersiapkan untuk
menyerahkan penyelesaian konflik dan tindakan-tindakan kriminal kepada negara”.
Seolah penggunaan kekerasan di tingkat lokal secara sepintas mengindikasikan
kesewenangan dan berlangsung secara kebetulan (fortuitiousness). Akan tetapi, pengamatan lebih mendalam
mengungkapkan bahwa tercatat parameter-parameter kultural khusus terkait
gagasan tentang kemanusiaan dan komunitas yang mengizinkan penggunaan kekerasan.
(Frans Hüsken dan Huub de Jonge [ed], 2003: 8).
Parameter-parameter
inilah yang semestinya dipahami oleh pemerintah dalam upaya menempuh pendekatan
terhadap pelaku dan korban persekusi. Sehingga, berbagai bentuk penghakiman
massa tanpa melibatkan penegak hukum bisa diminimalisir. Bagaimanapun, belum
terwujudnya keadilan dan kemakmuran secara merata tidak serta-merta mengizinkan
warga negara menempuh pengadilan massa karena rentan meluluhlantakkan fondasi
kebangsaan yang genap dibangun oleh para pendahulu dan nenek moyang.
Bojonegoro, 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar