Selasa, 17 Juli 2018

Desa Wisata dan Derap Modernisasi (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kontan" edisi Sabtu, 14 Juli 2018)


Selama liburan Hari Raya Idul Fitri, para wisatawan atau pemudik genap menyerbu Desa Wisata Religi Bongo di Gorontalo. Setiap hari terdapat 10.000 orang hilir mudik menuju pesisir utara Teluk Tomini. Lokasi wisata dengan mayoritas pengunjung berasal dari Sulawesi Utara tersebut menyajikan wisata religi berupa Masjid Walima Emas di puncak gunung dengan dikelilingi kolam yang indah.
Banyaknya pengunjung lokasi wisata di wilayah pedalaman menunjukkan bahwa desa mempunyai daya tarik tersendiri. Keistimewaan, kekhasan, dan keunikan desa mampu menyedot perhatian publik. Seiring dengan mengentalnya nilai-nilai urban dalam diri manusia, sentimentalitas dan rasa kangen terhadap hal-hal berbau kampung merupakan keniscayaan. Itulah mengapa, dalam dasawarsa terakhir, kehadiran desa wisata semakin fenomenal.
Tak heran apabila para pegiat pariwisata berusaha menonjolkan pemandangan udik. Dalam berbagai kesempatan, para sponsor mengukuhkan desa sebagai ikon destinasi. Hal ini dilakukan terutama untuk menggaet wisatawan. Betapa sektor pariwisata di level lokal turut digenjot oleh ketertarikan masyarakat terhadap panorama desa yang selain menjanjikan keindahan juga menyimpan kearifan lokal. Keteduhan, kesejukan, serta ketenteraman desa juga menjadi komoditas berharga yang mesti dimanfaatkan dengan baik.

Potensi Lokal
Banyak lokasi wisata di berbagai penjuru negeri ini yang sejatinya mempunyai potensi luar biasa, namun belum sepenuhnya digarap secara serius. Terbatasnya anggaran, minimnya kapasitas pengelolaan, serta rendahnya political will mengakibatkan manfaatnya kurang dirasakan oleh warga setempat. Fakta ini antara lain ditemukan di sejumlah daerah di Kalimantan Timur dan Sumatera Barat.
Kondisi hutan dan lanskap di Desa Setulang dan Desa Sengayan sebenarnya sangat mendukung dalam upaya mengembangkan kawasan ekowisata. Di desa pertama, berdiri kuburan tua yang cukup potensial untuk menarik minat para pengunjung mancanegara. Adapun di dua desa yang berada di Malinau, Kalimantan Timur tersebut, tradisi dan budaya lokal masih sangat kuat. (Kade Sidiyasa, dkk., 2006: 49). Inilah yang menjadi modal dasar dalam ikhtiar memajukan wilayah perdesaan. Sayangnya, pemerintah setempat tampak belum menunjukkan keberpihakan terhadap potensi lokal. Sehingga, kawasan ekowisata yang ada cenderung terabaikan.
Berdasarkan pemberitaan surat kabar Haluan edisi 16-09-2017, objek wisata alam Goa Tambubuang Rayo di Jorong Gumarang, Nagari III Koto Silungkang, Kecamatan Palembayan, Sumatera Barat, hingga detik ini belum terjamah. Pada atap dan dasar goa sepanjang sekitar 100 meter berpintu gerbang luas tersebut melekat batu stlaktik dan stlagmik. Tersusun rapi secara alamiah, tampilan batuan tersebut menimbulkan keindahan tersendiri. Dalam goa bersarang kelelawar dan burung “layang-layang sarok”. Selain itu, tersedia juga pemancingan ikan di sungai sekitar goa yang memanjakan setiap pengunjung.
Padahal, pemberdayaan sektor pariwisata di wilayah pedalaman dipercaya mampu menggerakkan roda perekonomian lokal. Berbagai data menunjukkan bahwa seiring berkembangnya desa wisata, tingkat perekonomian warga ikut terdongkrak. Kemiskinan akut yang merongrong sebagian masyarakat dapat dihindarkan apabila objek-objek wisata yang bertebaran di wilayah pedalaman dikelola secara maksimal. Dengan diresmikannya desa wisata, masyarakat setempat dapat mengekspresikan kreativitas dengan menjajakan panganan tradisional dan menawarkan produk lokal. Lebih jauh, rumah penduduk yang berada di sekitar objek wisata bisa disulap menjadi lokasi penginapan (homestay) atau tempat peristirahatan pengunjung.

Prototipe
Apabila digarap secara serius, potensi lokal mampu digunakan sebagai modal besar pembentuk destinasi wisata unggulan. Namun demikian, usaha menghadirkan desa wisata yang berkarakter dan berkualitas memerlukan proses panjang. Untuk mewujudkannya, pamong desa selaku aktor lokal bisa menempuh beberapa langkah berikut.
Pertama, menentukan prototipe pengembangan desa wisata. Dalam konteks ini, Desa Medal Sari, Kecamatan Pangkalan, Karawang, merupakan contoh yang baik. Lantaran dikenal rajin mengkonservasi lingkungan sekaligus getol membumikan tradisi lama, desa yang berada dalam kawasan Jawa Barat tersebut layak dijadikan sebagai salah satu model. Berdasarkan buku Karawang dalam Lintasan Peradaban (2016: 224), penduduk Desa Medalsari bertekad menciptakan keseimbangan ekosistem serta mempertahankan budaya asli. Bagaimanapun, tradisi-tradisi sarat nilai yang masih bertahan dari gempuran modernisasi merupakan kekayaan tak ternilai yang sukar dijumpai pada masa kini.
Kedua, menggalang dukungan dari pemerintah daerah. Baik pemerintah kabupaten maupun pemerintah provinsi memiliki andil besar dalam mendukung eksistensi desa wisata. Guna mendongkrak popularitas di mata publik, Dinas Pariwisata provinsi dan kabupaten semestinya ikut melakukan promosi atas kelebihan, kenyamanan, serta beragam fasilitas yang ditawarkan desa wisata. Apabila memungkinkan, pemerintah desa juga meminta dukungan dari Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).
Ketiga, menggelar kegiatan-kegiatan pendampingan yang berkelanjutan bagi semua stakeholder. Karena terlibat secara langsung, mereka mesti memperoleh bimbingan yang intens dari penggerak pariwisata yang berpengalaman. Keempat, memberikan pemahaman yang mendalam tentang kepariwisataan kepada segenap lapisan masyarakat. Bagaimanapun, kerjasama dan komitmen semua pihak menjadi kunci kemajuan desa wisata.

Bojonegoro, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar