Kamis, 05 Juli 2018

Dana Desa dan Kearifan Lokal (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Analisa" edisi Kamis, 28 Juni 2018)


Dana desa yang genap dikucurkan sejak tahun 2015 kerap disambut dengan beragam respons positif. Bermacam bentuk dukungan mengalir dari berbagai penjuru. Pemerintah Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, menyambut baik kebijakan pemerintah pusat yang mengalokasikan 30% dana desa untuk kegiatan Padat Karya. Wakil Bupati Lembata Thomas Ola Langoday menyarankan kegiatan padat karya diarahkan untuk memajukan ekonomi kreatif. Sementara Pemerintah Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, mengarahkan penggunaan dana desa untuk merealisasikan kawasan desa mandiri dengan menghargai potensi lokal.
Dalam konteks ini, dana desa dipercaya mampu membangkitkan aktivitas ekonomi berbasis lokal. Semangat, ide, dan kreativitas masyarakat desa dalam mencari sumber penghidupan dilakukan berdasarkan pranata lokal. Data Kemendes PDTT menunjukkan bahwa 61.821 desa menyimpan potensi pertanian, 20.034 desa menyimpan potensi perkebunan, 1.902 desa menyimpan potensi menjadi desa wisata, sementara 12.827 desa menyimpan potensi perikanan, 64.587 desa menyimpan potensi energi baru terbarukan. Potensi inilah yang mestinya terus digarap oleh pemerintah daerah.
Dengan demikian, aktivitas ekonomi di level lokal tidak lagi mengacu pola top-down yang mengandalkan instruksi pemerintah pusat, melainkan pola bottom up yang mengutamakan inisiatif masyarakat. Dalam taraf tertentu, dana desa mengandung gagasan demokratisasi yang ingin membangkitkan lokalitas dalam konstruksi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Warisan Pendahulu
Terpeliharanya kearifan lokal (local wisdom), khususnya dalam pemberdayaan bahan-bahan alami untuk menghasilkan produk jadi, merupakan konsekuensi logis dari adanya dana desa. Tersedianya sejumlah dana ternyata memantik inspirasi orang-orang desa untuk merawat pemikiran, tradisi, dan kebijaksanaan nenek moyang. Mereka beritikad kuat untuk membumikan warisan leluhur yang menjadikan materi-materi ramah lingkungan sebagai unsur utama terciptanya kerajinan tangan (handycraft). Mereka tidak ingin bumi ini kian tercemar lantaran semakin membludaknya beragam produk berbahan plastik, kaca, atau materi lainnnya yang lebih berpotensi merugikan ketimbang menguntungkan manusia. Bagaimanapun, eksplotasi terhadap alam tak mungkin dibiarkan atau bahkan dilestarikan.
Selain itu, mereka juga ingin meneguhkan ikatan sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kuatnya kebersamaan, harmoni dan toleransi antarperajin terbentuk dari intensitas kerja sama. Dengan tetap mempertahankan cara-cara tradisional, mereka ingin menghindari individualisme yang akhir-akhir ini menggerogoti generasi bangsa. Hal ini yang barangkali tidak ditemukan ketika kerja manusia sudah tergantikan oleh mesin. Mekanisasi berdampak serius terhadap keringnya hubungan antarmanusia. Dalam Prosiding Kongres Pancasila IV: Strategi Pelembagaan Nilai-nilai Pancasila dalam Menegakkan Konstitusionalitas Indonesia disebutkan bahwa budaya gotong-royong, toleransi, kebersamaan, dan kekeluargaan merupakan pandangan hidup sekaligus merupakan ciri khas, karakter, dan jati diri budaya bangsa Indonesia. (Sudjito, dkk., 2012: 35).
Keteguhan menjaga apa yang diwariskan oleh para pendahulu inilah yang antara lain bisa ditelusuri di Desa Seketi, Balongbendo, Sidoarjo, Jawa Timur. Di sana, selain memakai bambu sebagai sarana berburu rezeki sekaligus medium menularkan kreativitas, masyarakat setempat juga bersikukuh memakai pola lama dalam mengais rupiah. Di tengah derasnya laju industrialisasi, sebagian warga Desa Seketi tetap mempertahankan usaha anyaman bambu. Sayangnya, produk yang dihasilkan oleh tangan-tangan kreatif mereka kurang berkembang karena terbatasnya keterampilan. Kaum perajin tak mampu mengikuti perkembangan pasar anyaman bambu yang semakin luas dan permintaan produk yang kian bervariasi. Minimnya APBDes membuat pemerintah desa menyerah. Namun, sejak muncul dana desa, desa yang mengantongi julukan Kampung Bambu tersebut mulai menggeliat. Ekonomi berbasis kerakyatan, semisal kerajinan anyaman bambu dan pertanian, memperoleh atensi yang besar. (Kompas, 24-1-2018: 23).

Kesadaran Tinggi
Terbentuknya kearifan lokal (local wisdom) melalui dana desa juga dijumpai di Desa Sanankerto, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Konservasi bambu di lahan desa yang digencarkan oleh perangkat desa ternyata memberikan dua manfaat besar. Di samping tujuh mata air yang ada di sana terlindungi, gairah wisata lokal juga bergairah. Kerja sama antara perangkat Desa Sanankerto dengan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Brantas berhasil menumbuhkan 16.000 batang bambu.
Aktivitas konservasi membuat seluruh kawasan seluas 36,8 hektar (dari luasan sebelumnya yang hanya 10 hektar) telah ditanami bambu. Guna mendukung langkah tersebut sekaligus memberdayakan potensi lokal, pemerintah desa pada tahun 2015 membentuk BUMDes. Setahun setelahnya, tepatnya tahun 2016, ekowisata Boon Pring menyumbang pemasukan Rp 90 juta. Melihat pendapatan yang luar biasa inilah akhirnya pada tahun 2017 pihak desa nekat menyertakan modal sebesar Rp 170 juta dari dana desa demi memacu perkembangan wisata. (Kompas, 24-5-2017: 28).
Dengan tingkat kesadaran yang tinggi, perangkat Desa Sanankerto turut merawat sistem ekologi di sekitarnya. Perlindungan terhadap ekosistem dan kekayaan alam memuat ikhtiar menyelamatkan bumi dari bermacam kerusakan dan kehancuran. Dengan demikian, terbentuklah hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungan. Betapa aktivitas pertambangan, misalnya, yang kerap menimbulkan polusi tanah, air dan udara benar-benar memuat komersialisasi yang cenderung berpihak pada kepentingan individu dan korporasi ketimbang kepentingan publik. Eksploitasi secara besar-besaran dilakukan terhadap Sumber Daya Alam (SDA) dengan mengutamakan keuntungan jangka pendek sekaligus menihilkan keberlanjutan.

Bojonegoro, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar