Dana desa yang genap
dikucurkan sejak tahun 2015 kerap disambut dengan beragam respons positif.
Bermacam bentuk dukungan mengalir dari berbagai penjuru. Pemerintah Kabupaten
Lembata, Nusa Tenggara Timur, menyambut baik kebijakan pemerintah pusat yang
mengalokasikan 30% dana desa untuk kegiatan Padat Karya. Wakil Bupati Lembata Thomas
Ola Langoday menyarankan kegiatan padat karya diarahkan untuk memajukan ekonomi
kreatif. Sementara Pemerintah Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, mengarahkan
penggunaan dana desa untuk merealisasikan kawasan desa mandiri dengan
menghargai potensi lokal.
Dalam konteks ini, dana
desa dipercaya mampu membangkitkan aktivitas ekonomi berbasis lokal. Semangat,
ide, dan kreativitas masyarakat desa dalam mencari sumber penghidupan dilakukan
berdasarkan pranata lokal. Data Kemendes PDTT menunjukkan bahwa 61.821 desa
menyimpan potensi pertanian, 20.034 desa menyimpan potensi perkebunan, 1.902
desa menyimpan potensi menjadi desa wisata, sementara 12.827 desa menyimpan
potensi perikanan, 64.587 desa menyimpan potensi energi baru terbarukan.
Potensi inilah yang mestinya terus digarap oleh pemerintah daerah.
Dengan demikian,
aktivitas ekonomi di level lokal tidak lagi mengacu pola top-down yang mengandalkan instruksi pemerintah pusat, melainkan
pola bottom up yang mengutamakan
inisiatif masyarakat. Dalam taraf tertentu, dana desa mengandung gagasan
demokratisasi yang ingin membangkitkan lokalitas dalam konstruksi Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Warisan
Pendahulu
Terpeliharanya kearifan
lokal (local wisdom), khususnya dalam
pemberdayaan bahan-bahan alami untuk menghasilkan produk jadi, merupakan
konsekuensi logis dari adanya dana desa. Tersedianya sejumlah dana ternyata
memantik inspirasi orang-orang desa untuk merawat pemikiran, tradisi, dan
kebijaksanaan nenek moyang. Mereka beritikad kuat untuk membumikan warisan
leluhur yang menjadikan materi-materi ramah lingkungan sebagai unsur utama
terciptanya kerajinan tangan (handycraft).
Mereka tidak ingin bumi ini kian tercemar lantaran semakin membludaknya beragam
produk berbahan plastik, kaca, atau materi lainnnya yang lebih berpotensi
merugikan ketimbang menguntungkan manusia. Bagaimanapun, eksplotasi terhadap
alam tak mungkin dibiarkan atau bahkan dilestarikan.
Selain itu, mereka juga
ingin meneguhkan ikatan sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kuatnya kebersamaan, harmoni dan toleransi antarperajin terbentuk dari
intensitas kerja sama. Dengan tetap mempertahankan cara-cara tradisional,
mereka ingin menghindari individualisme yang akhir-akhir ini menggerogoti
generasi bangsa. Hal ini yang barangkali tidak ditemukan ketika kerja manusia
sudah tergantikan oleh mesin. Mekanisasi berdampak serius terhadap keringnya
hubungan antarmanusia. Dalam Prosiding
Kongres Pancasila IV: Strategi Pelembagaan Nilai-nilai Pancasila dalam
Menegakkan Konstitusionalitas Indonesia disebutkan bahwa budaya
gotong-royong, toleransi, kebersamaan, dan kekeluargaan merupakan pandangan
hidup sekaligus merupakan ciri khas, karakter, dan jati diri budaya bangsa
Indonesia. (Sudjito, dkk., 2012: 35).
Keteguhan menjaga apa
yang diwariskan oleh para pendahulu inilah yang antara lain bisa ditelusuri di
Desa Seketi, Balongbendo, Sidoarjo, Jawa Timur. Di sana, selain memakai bambu
sebagai sarana berburu rezeki sekaligus medium menularkan kreativitas,
masyarakat setempat juga bersikukuh memakai pola lama dalam mengais rupiah. Di
tengah derasnya laju industrialisasi, sebagian warga Desa Seketi tetap
mempertahankan usaha anyaman bambu. Sayangnya, produk yang dihasilkan oleh
tangan-tangan kreatif mereka kurang berkembang karena terbatasnya keterampilan.
Kaum perajin tak mampu mengikuti perkembangan pasar anyaman bambu yang semakin
luas dan permintaan produk yang kian bervariasi. Minimnya APBDes membuat
pemerintah desa menyerah. Namun, sejak muncul dana desa, desa yang mengantongi
julukan Kampung Bambu tersebut mulai menggeliat. Ekonomi berbasis kerakyatan,
semisal kerajinan anyaman bambu dan pertanian, memperoleh atensi yang besar. (Kompas, 24-1-2018: 23).
Kesadaran
Tinggi
Terbentuknya kearifan
lokal (local wisdom) melalui dana
desa juga dijumpai di Desa Sanankerto, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Jawa
Timur. Konservasi bambu di lahan desa yang digencarkan oleh perangkat desa
ternyata memberikan dua manfaat besar. Di samping tujuh mata air yang ada di
sana terlindungi, gairah wisata lokal juga bergairah. Kerja sama antara
perangkat Desa Sanankerto dengan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Brantas
berhasil menumbuhkan 16.000 batang bambu.
Aktivitas konservasi
membuat seluruh kawasan seluas 36,8 hektar (dari luasan sebelumnya yang hanya
10 hektar) telah ditanami bambu. Guna mendukung langkah tersebut sekaligus
memberdayakan potensi lokal, pemerintah desa pada tahun 2015 membentuk BUMDes.
Setahun setelahnya, tepatnya tahun 2016, ekowisata Boon Pring menyumbang
pemasukan Rp 90 juta. Melihat pendapatan yang luar biasa inilah akhirnya pada
tahun 2017 pihak desa nekat menyertakan modal sebesar Rp 170 juta dari dana
desa demi memacu perkembangan wisata. (Kompas,
24-5-2017: 28).
Dengan tingkat
kesadaran yang tinggi, perangkat Desa Sanankerto turut merawat sistem ekologi
di sekitarnya. Perlindungan terhadap ekosistem dan kekayaan alam memuat ikhtiar
menyelamatkan bumi dari bermacam kerusakan dan kehancuran. Dengan demikian,
terbentuklah hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungan.
Betapa aktivitas pertambangan, misalnya, yang kerap menimbulkan polusi tanah,
air dan udara benar-benar memuat komersialisasi yang cenderung berpihak pada
kepentingan individu dan korporasi ketimbang kepentingan publik. Eksploitasi
secara besar-besaran dilakukan terhadap Sumber Daya Alam (SDA) dengan
mengutamakan keuntungan jangka pendek sekaligus menihilkan keberlanjutan.
Bojonegoro, 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar