Kita tersengat saat mendengar
berita tentang kasus perkelahian ala gladiator di Desa Gobang, Kampung Leuwi
Halang, Rumpin, Kabupaten Bogor, yang melibatkan para pelajar SMP. Setelah
ditelusuri oleh aparat kepolisian, ternyata duel yang menewaskan satu orang berinisial
ARS (16 tahun) tersebut bukan perkelahian biasa. Berdasarkan pengakuan pelaku,
perkelahian bersenjata tajam digelar untuk mengadu ilmu kebal.
Di kawasan berpenduduk mayoritas
anggota perguruan silat atau ilmu kebal, percekcokan sukar dihindarkan.
Perkelahian antarpemuda merupakan pemandangan sehari-hari. Banyak tindakan
kriminal lahir akibat perbedaan pendapat. Keselarasan, keteraturan, dan
ketertiban hidup dikorbankan demi tercapainya hasrat individual. Setiap anggota
perguruan disilaukan oleh kemenangan sesaat. Mereka menerima doktrin bahwa kelompok
mereka paling benar. Sehingga, dengan mudahnya kesalahan ditimpakan kepada
kelompok lain.
Ketika salah satu dari mereka
diserang, suatu keharusan bagi setiap kolega untuk membalaskan dendam. Maka,
kerap ditemukan bahwa perselisihan kelompok merupakan imbas dari problematika
personal yang dibesar-besarkan. Parahnya, pertikaian semacam ini tak akan
berhenti kecuali terlebih dahulu memakan korban. Boleh jadi, suatu peristiwa
pembunuhan merupakan rantai perselisihan yang berkesinambungan.
Keberadaan para polisi tidak jauh
berbeda dengan pemadam kebakaran yang baru bereaksi setelah menerima laporan
warga. Apa yang dilakukan penegak hukum sekadar mengesankan aspek formal dan
prosedural. Sehingga, bentrokan antarperguruan tidak benar-benar teratasi. Saat
seperti inilah, negara seolah tak berfungsi. Negara terlihat lemah di hadapan
warganya. Ketika mereka membutuhkan, negara tidak pernah hadir. Negara tidak
mampu memberikan perlindungan dan keamanan. Dengan meningkatnya angka kasus
kekerasan, hak warga negara terabaikan. Mereka yang tidak bersalah akhirnya
terpaksa turut menanggung penderitaan.
Tokoh Agama
Ketika perselisihan yang berbuah
permusuhan tidak bisa ditangani dengan upaya-upaya represif, maka agama
merupakan solusi. Dalam konteks inilah, para tokoh agama berperan besar dalam
upaya mencegah pertengkaran antarpemuda sekaligus mengampanyekan perdamaian.
Sayangnya, di beberapa daerah, tokoh agama mulai kehilangan wibawa. Masyarakat
akhirnya kehilangan figur yang selama ini dimintai pendapat. Dalam memutuskan
sesuatu, mereka berpijak pada diri sendiri.
Hal ini diperparah dengan
keengganan kaum muda untuk menjalankan agama secara hakiki. Di sejumlah tempat,
para remaja lebih menyukai hiburan dengan mendatangkan artis lokal daripada
aktivitas keagamaan. Pengajian selalu dihindari, adapun hajatan yang mengundang
para biduan menjadi favorit mereka. Hiburan yang menarik banyak pengunjung
tersebut dinilai lebih bermanfaat karena menyumbang kegembiraan, meskipun
bersifat artifisial. Untuk sementara, mereka bisa melepaskan persoalan dan
beban hidup. Berbeda dengan acara dakwah yang berisi ceramah dan nasehat
tentang ancaman dan siksa neraka.
Apalagi, sebagian kaum remaja yang
bekerja di luar kota seringkali membawa minuman keras saat pulang kampung.
Mereka mengundang teman-temannya untuk berpesta di suatu tempat. Melalui
momentum inilah, mereka ingin berbagi kesuksesan. Cara menikmati hasil kerja
diwujudkan dengan bersenang-senang. Iklim perkotaan berpengaruh terhadap
pembentukan sikap hedonistis. Mabuk dan berfoya-foya menjadi gaya hidup orang
desa yang mulai mengenal budaya urban. Mereka enggan menimbang dampak dari apa
yang diperbuat. Mereka hanya memikirkan sekarang tanpa memusingkan hari esok.
Imbasnya, masa depan tergadaikan hanya oleh botol-botol minuman keras.
Keadaan kian miris setelah
belakangan ini terjadi “perkawinan” antara wilayah perdesaan dan perkotaan
dengan iklim urban yang lebih dominan. Di sini, ciri-ciri pedesaaan semakin
sulit ditemukan. Ia menampilkan ciri desa di satu sisi dan ciri kota di sisi
lain. Dalam sejumlah segi kehidupan, ia merupakan gabungan dari desa dan kota.
Beragam nilai masuk dan menciptakan psikologi, sosiologi, serta gaya hidup
masyarakat. Para pendatang hadir dengan berbagai maksud dan tujuan, baik
bekerja, bertugas, maupun berpelesir. Manusia dengan berbagai latar belakang
dan profesi bermukim di sini.
Multikulturalisme
Di desa-desa dengan nilai-nilai
urban yang kental, setiap orang memiliki cara hidup, pola pikir, dan
adat-istiadat yang bisa dipertukarkan atau dibandingkan satu sama lain.
Masing-masing menawarkan prinsip, karakter, serta kecenderungan yang berbeda.
Dalam perjalanannya, budaya yang kuat selalu menunjukkan dominasi atas lainnya.
Dalam kawasan-kawasan inilah, tersimpan beberapa unsur kehidupan sekaligus. Di
sinilah sering terjadi hubungan antarumat beragama.
Banyaknya agama dan aliran
kepercayaan mengakibatkan terjadinya perebutan kuasa dan pengaruh antarelit
religius. Namun demikian, saat setiap umat menjalankan ibadah, mereka jauh dari
gejala fanatisme. Militansi keagamaan yang bercorak magis, teologis, dan
ideologis tidak mengotori jalinan interaksi antarumat beragama. Tokoh-tokoh
dengan cakrawala pengetahuan yang luas tentang agama enggan memaksakan
kehendak. Meskipun berbeda keyakinan, mereka tetap menjunjung tinggi toleransi
dan kebersamaan. Dalam dunia mereka ada way
of life yang harus ditaati dan dijunjung tinggi.
Keadaan demikian menyuburkan
multikulturalisme. Silang pendapat bukan merupakan hal yang tabu. Perbedaan
keyakinan bukanlah hal yang layak diperselisihkan namun berusaha untuk
diharmoniskan. Jalannya interaksi antarwarga lebih diarahkan untuk mencari
jalan tengah daripada memperkeruh keadaan. Inilah di antara nilai lebih
multikulturalisme. Kondisi masyarakat yang plural dapat menumbuhkan benih-benih
toleransi. Sehingga, gejala-gejala percekcokan dapat segera diantisipasi.
Dengan demikian, ketimbang menularkan virus-virus permusuhan, lebih baik
multikulturalisme dimanfaatkan sebagai sarana pengukuh persatuan.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus