Tujuh puluh tiga tahun silam, para
bapak bangsa (founding fathers) memancangkan
tiang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan bangga dan berwibawa
sebagai sumbangsih yang besar dan nyata bagi perjalanan bangsa ini. Berbagai macam
pengorbanan ditempuh demi meraih impian bersama. Tercapainya kemerdekaan antara
lain karena mereka dapat mengutamakan kepentingan rakyat sekaligus
mengesampingkan kepentingan pribadi dan golongan.
17 Agustus 1945 menjadi
salah satu
tonggak bersejarah dalam riwayat berdirinya suatu bangsa. Peristiwa monumental ini
merupakan realisasi keinginan dan harapan yang lama tersimpan dalam lubuk hati
rakyat. Pada hari itu, segenap bangsa Indonesia merenungi indahnya kebersamaan
dan harmoni dalam ikatan persaudaraan yang kokoh. Betapa individualisme dan fanatisme
sempit dihilangkan demi mengatasi aneka perbedaan.
Proklamasi digelorakan sebagai
penghargaan kepada para pahlawan dan semua orang yang berjibaku menentang segala
bentuk penjajahan. Proklamasi
menjadi titik balik terjungkalnya kolonialisme sekaligus bangkitnya bangsa
Indonesia. Diiringi dengan pekik semangat, benteng kekuasaan kolonial yang
berdiri kokoh selama ratusan tahun akhirnya berhasil dirobohkan.
Proklamasi membawa angin segar bagi terkuburnya benih-benih penindasan sekaligus
bertunasnya biji-biji perdamaian. Bagaimanapun, kaum penjajah telah merusak
nilai-nilai kebaikan, mencabik rasa kemanusiaan, serta memporakporandakan
tatanan kehidupan yang genap diwariskan lintas generasi.
Proklamasi menjadi penanda lahirnya suatu bangsa yang bermartabat. Ia
menjadi lambang kebesaran, keluhuran, serta kewibawaan NKRI. Teks
Proklamasi bukan sekadar kata-kata yang tersusun tanpa makna. Di dalamnya
terkandung filosofi yang luhur dan mulia sebagai cermin eksistensi bangsa Indonesia di panggung dunia.
Ia berperan memupuk motivasi serta antusiasme dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Celakanya, setelah sekian lama Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, gagasan
perubahan yang diusung oleh para pendiri bangsa rupanya belum terwujud.
Cita-cita pahlawan, tokoh bangsa, serta negarawan pada masa silam belum
benar-benar diraih. Korupsi malah begitu marak sampai ke level akar rumput.
Desain desentralisasi yang belum memadai turut membawa gerbong koruptor
dari tingkat nasional ke tingkat lokal. Dalam dasarwarsa terakhir, media massa
rajin memberitakan kasus tertangkapnya politisi Senayan, kepala daerah, serta
kepala desa akibat terbukti menggelapkan uang negara. Berdasarkan data Indonesia
Corruption Watch (ICW), terdapat 1.249 perkara korupsi yang melibatkan 1.381
terdakwa sepanjang 2017. Kerugian negara mencapai Rp 29,41 triliun.
Tak berlebihan apabila sejumlah kalangan kerap menyangsikan arti,
urgensi, dan fungsi kemerdekaan, terutama bagi orang kecil (wong cilik). Apalagi, setiap hari rakyat
masih dipusingkan dengan usaha memenuhi kebutuhan hidup. Adapun setiap lima
tahun sekali, mereka siap dikecewakan oleh elite politik yang gemar mengumbar
janji, tetapi “minus bukti”.
Oleh generasi milenial, rasa kecewa dan frustasi dilampiaskan dengan “nyinyir”
melalui media sosial. Akun digital menjadi sarana menumpahkan kejengkelan, kemarahan,
serta kebencian terhadap rezim yang berkuasa. Sayangnya, penilaian mereka terhadap
kondisi dan realitas yang ada acapkali menihilkan kapasitas.
Bahkan, apa yang mereka lakukan seringkali terjebak pada penyebaran fitnah.
Persepsi yang dibangun tidak merujuk pada referensi dan data yang valid,
melainkan sekadar informasi abal-abal. Padahal, dalam buku Agama Digital: Pertalian Agama, Politik dan Teknologi di Indonesia,
Andri Syah (2018: 194) mensinyalir bahwa menjamurnya hoax sebenarnya bukanlah fenomena baru. Akan tetapi, kehadiran
media sosial telah menjadikan pengaruh hoax
lebih dahsyat daripada sebelumnya.
National Solidarity
Kejayaan era digital
didukung dengan globalisasi dan modernisasi yang membuat perangkat dunia maya
bertebaran hingga wilayah perdesaan. Digitalisasi menjanjikan kemudahan bagi orang
desa dalam mengakses jaringan internet. Sayang, dalam banyak kasus, laman
virtual tak dimanfaatkan sebagai medium pelecut kreativitas, pemelihara
kearifan lokal, serta pembangkit potensi desa. Warung kopi yang menyediakan
layanan wifi justru lebih diberdayakan untuk menjaring like serta komentar. Dalam taraf tertentu, para pemuda bahkan menggunakannya
untuk menabur benih-benih perpecahan dan permusuhan.
Dengan demikian, nilai-nilai positif yang semestinya dihadirkan dalam
rangka memperingati hari kemerdekaan, tergantikan oleh nilai-nilai negatif. Ketimbang
optimisme, akhirnya mereka lebih suka menularkan pesimisme. Demokrasi diartikan
sebatas pada kebebasan individu tanpa rambu-rambu etika dan ukuran estetika. Imbasnya,
ingatan publik terhadap Proklamasi sekadar romantisme perjuangan
masa silam. Padahal, selain beragam prinsip, nilai, dan etos kebangsaan, di
dalamnya juga tersimpan mimpi tentang masa depan yang lebih baik.
Sikap di atas tentu menjauhkan
generasi milenial dari capaian membanggakan. Sumbangsih mereka bagi bangsa dan
negara belum sepenuhnya direalisasikan. Kontribusi mereka dalam mengisi
kemerdekaan belum diwujudkan secara optimal. Atas dasar inilah, nasionalisme mesti dibuktikan
dengan pandangan dan perilaku yang positif. Generasi milenial dituntut mampu memotret
partisipasi
kawula muda dalam mewujudkan cita-cita kebangsaan.
Berdirinya Budi Oetomo pada 1908 tak mungkin
menafikan andil para pemuda yang menerapkan ide perjuangan melalui organisasi. Peristiwa
Sumpah Pemuda pada 1928 menunjukkan, sejarah
negeri ini mustahil terlepas dari peran pemuda. Kemerdekaan Indonesia pada 1945
bisa digapai antara lain
lantaran aksi kaum muda dari perkumpulan Menteng 31 yang memaksa Soekarno dan
Hatta untuk segera melaksanakan Proklamasi.
Adapun lahirnya era reformasi 1998
memperoleh jalan lempang dari gelombang aksi
mahasiswa. Pemuda menginisiasi lengsernya Soeharto dan runtuhnya kekuasaan Orde
Baru yang militeristik-sentralistik. Begitu sentralnya posisi pemuda dalam suatu
negara, tak ayal jika Soekarno pernah berkoar, “Beri aku sepuluh pemuda yang
membara cintanya kepada Tanah Air, dan aku akan mengguncang dunia”.
Upaya memaknai hari kemerdekaan sepatutnya
dilakukan oleh generasi milenial dengan mengimitasi hasrat kaum muda dalam
menggerakkan sejarah. Mereka bisa menunjukkannya dengan mendayagunakan
perangkat virtual secara bertanggung jawab. Generasi muda masa kini seyogyanya
memanfaatkan akun digital untuk menyatukan komunitas, menautkan emosionalitas,
mendewasakan psikologi masyarakat, serta meredam problematika sosial. Virtualisasi
menjadi sarana membumikan pluralisme dan toleransi.
Dengan demikian, di
samping sebagai ekspresi kebanggaan warga negara, media sosial
juga diberdayakan sebagai instrumen pembangkit solidaritas nasional (national solidarity). Dalam konteks
inilah, generasi muda masa kini bisa turut ambil bagian, terutama dalam
menabalkan resistensi budaya Indonesia di hadapan kultur global.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar