Sejak
dahulu kala, folklor berperan dalam membentuk identitas dan jatidiri suatu
bangsa. Munculnya folklor turut menandai bahwa peradaban besar bermula dari kisah-kisah
kecil yang diturunkan lintas generasi. Riwayat perjalanan manusia tak pernah
kering dari beragam cerita yang dibumbui dengan legenda dan mitos. Seiring
dengan semakin gencarnya misi dan hasrat kaum modernis, folklor tetap bertahan.
Keberadaannya dirasakan, dihayati, bahkan tersimpan di hati rakyat, meskipun roda
globalisasi berputar kian cepat.
Di antara folklor
yang kerap mendapat atensi sejarawan, antropolog, serta peminat kajian lokal yaitu
hikayat berdirinya desa. Sebelum dipersembahkan untuk negara, nasionalisme
kebangsaan yang tertanam dalam jiwa rakyat tertuju kepada desa. Dalam sejarah
Indonesia, rasa cinta terhadap desa mengawali tumbuhnya benih-benih
patriotisme. Bagaimanapun, desa menjadi cikal-bakal sebuah negara. Lantaran
kehadirannya mendahului negara, eksistensi desa menggambarkan karakter, sikap,
serta semangat siapa saja yang bermukim di dalamnya.
Bagi orang
desa, hikayat di atas mengandung sakralitas tak tergoyahkan sepanjang masa. Betapa
para sesepuh selalu memberikan wejangan kepada kawula muda untuk senantiasa
menjunjung tinggi “sejarah desa”. Dalam berbagai kesempatan, mereka berusaha
meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menelaah warisan historis
nenek moyang. Agenda publik menjadi momentum berharga untuk menyelipkan pesan
bahwa ikhtiar penggalian jejak kehidupan para leluhur merupakan keniscayaan.
Sumber Cahaya
Folklor
yang disajikan dalam tulisan ini berasal dari Sidobandung, salah satu desa di
Bojonegoro, Jawa Timur. Awal mula lahirnya desa ini terkait erat dengan sejarah
Dusun Mekarah. Berdasarkan cerita yang disampaikan oleh sesepuh desa, Dusun Mekarah
pada masa silam berupa belantara dengan cahaya yang menyebar ke empat penjuru: utara
menuju Alas Purwo (Banyuwangi), selatan menuju Gunung Wilis (perbatasan Nganjuk-Kediri), barat menuju Gowongan
(Yogyakarta), serta timur menuju Awar-Awar.
Dahulu
kala, ketika melihat empat cahaya tersebut, seorang raja berniat
menelusuri sumbernya. Akan tetapi, putrinya, Sulastri, melarang kepergian sang
ayah dan menawarkan diri untuk mencari titik permulaan cahaya. Mengantongi izin
dari baginda, ia meninggalkan kerajaan bersama Kiai Macan Putih. Ia berjalan ke
Desa Sobontoro usai beristirahat sejenak di Desa Kapas. Sesaat kemudian langkahnya
terhenti di tanah gersang yang hanya ditumbuhi iles-iles.
Sulastri lantas memanggil empat
cahaya yang meruap. Cahaya pertama datang bersama cantrik
bernama Raden Leksono. Cahaya kedua hadir
bersama utusan bernama Kertodono. Munculnya cahaya ketiga dari Kedaten Kidul bersama
Lembu Suro serta dari Kedaten Lor bersama Mahesa Suro. Adapun
cahaya keempat diiringi oleh Ki Dermo. Anehnya, setelah semua cahaya terhimpun,
Sulastri menerima lamaran dari Lembu Suro dan Mahesa Suro secara bersamaan. Sebelum
putri raja berhasil menjatuhkan pilihan, berlangsung pertempuran dahsyat antara
delegasi Kedaten Kidul dan Kedaten Lor tersebut, sehingga menyebabkan taring
keduanya patah. Oleh Sulastri, taring Lembu Suro ditanam di tengah sawah,
sedangkan taring Mahesa Suro ditaruh di pohon-pohon.
Sulastri menyatukan cahaya-cahaya di atas ke cungkup Mbah Pendem dengan maksud
membentuk dusun. Penentuan arah dusun ditempuh dengan memanfaatkan batang bekas
empat cahaya. Sulastri berucap bahwa saat bumi semakin padat, dusun tempat
berkumpulnya cahaya kelak bernama Mekarah. Ketika menimbang nama desa bagi keempat
dusun tersebut, ia terdiam dan berpikir lama. Mengetahui Sulastri kebingungan, Mbah
Sutoberok mengulurkan tangan. Delegasi dari Pajang tersebut mengusulkan nama
Bandung. Sayangnya, Sulastri merasa kurang puas dengan nama ini. Akhirnya, Ki
Dermo menyarankan nama Sidobandung, yang hingga sekarang masih diabadikan oleh warga.
Setiap dusun di Sidobandung mempunyai leluhur yang
begitu dihormati dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Selain Mbah
Pendem, ternyata Mbah Jogo Leksono, Mbah Sangin, serta Mbah Kamandatu juga
sangat dimuliakan lantaran dianggap sebagai pelopor atau pemuka. Mereka
dipercaya telah melakukan babat alas
(membuka hutan untuk dijadikan permukiman). Bagi masyarakat setempat, figur-figur
ini sungguh berwibawa, sehingga layak dikenang sepanjang masa. Tak heran jika
hari kematian mereka selalu diperingati setiap tahun oleh warga. Momentum ini sekaligus
digunakan untuk mementaskan kesenian dan tradisi lokal yang masih terpelihara.
Tokoh
Sentral
Awal mula
terbentuknya desa tak pernah terlepas dari pencetus, tetua, atau aktor
intelektualnya. Mereka berhak mengenakan “lencana kebesaran” lantaran
jasa-jasanya selama hidup. Setiap desa menahbiskan figur masing-masing selaku
pembesar taraf lokal yang dinilai genap meletakkan fondasi pemikiran
masyarakat. Tokoh-tokoh sentral yang menginisiasi tumbuh dan berkembangnya desa
lambat laun menjadi ikon lokalitas.
Sebagian
tokoh sentral yang telah meninggal dunia dikukuhkan sebagai danyang (roh pelindung desa). Sebagaimana
ketika masih bernafas, sosok gaib tersebut memperoleh penghormatan luar biasa. Dalam
upacara ritual bersih desa, yang biasanya dipimpin oleh seorang dukun atau tokoh agama,
beragam persembahan ditujukan
kepada
danyang. Pada waktu
perayaan-perayaan besar, masyarakat
lokal berkumpul di kuburan
untuk menggelar sembahyang
dan menghidangkan sesajen. Makam sebagai pusat kegiatan religius
desa memiliki ciri keramat yang diduga berakar dari beringin-beringin besar
di sekitarnya yang turut menciptakan
suasana angker.
Henri Chambert-Loir dan
Claude Guillot (ed) dalam Ziarah dan Wali di
Dunia Islam (2007: 340) mencatat
bahwa
dalam konteks demikian, terjadi pengislaman atas pengeramatan pendiri
desa yang hampir selalu dipadukan dengan “penguasa gaib” setempat. Betapa makam yang disakralkan kerap ditemukan di
lingkungan perdesaan. Hal ini dikarenakan,
mentalitas orang
desa lebih terikat pada tradisi
dan rasa kebersamaannya juga
lebih besar ketimbang orang
kota.
Yogyakarta,
2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar