Desa merindukan para
pemuda dengan skill dan potensi memadai.
Desa membutuhkan kawula muda dengan pemikiran kritis, inovatif, serta adaptif
terhadap perkembangan zaman. Atas dasar pemikiran inilah, mereka yang
mengantongi pendidikan tinggi selayaknya turut berperan aktif membangun desa. Bagaimanapun,
para sarjana dituntut mampu mengembangkan ilmunya di tanah kelahiran.
Berdasarkan catatan
historis, sejak lama jumlah lulusan perguruan tinggi di desa sangat kecil. Mahalnya
biaya perkuliahan membuat orang desa enggan melanjutkan studi hingga jenjang
perguruan tinggi. Dahulu kala, merupakan suatu kebanggaan apabila seseorang mengantongi
ijazah sekolah dasar. Betapa keseharian mereka dipusingkan dengan beratnya
tuntutan hidup. Akhirnya, berdirinya lembaga pendidikan formal seakan hanya
diperuntukkan bagi orang-orang berstatus sosial tinggi sekaligus mempunyai
kesadaran tentang urgensi pendidikan.
Gegap
Gempita Modernisasi
Yang patut dibanggakan yaitu
adanya beberapa desa dengan banyak sarjana. Barang tentu keberadaan desa
seperti ini pada masa silam terbilang langka. Tak berlebihan apabila Kompas edisi 26 Agustus 1966 menurunkan berita mengenai Desa Pekajangan
yang memiliki 57 orang sarjana (27 sarjana dan 30 sarjana muda). Menurut keterangan
kepala desa setempat, para sarjana itu akan bekerja keras memajukan desa
sekaligus mewujudkan “pembangunan semesta berencana”. Apalagi, desa yang
terletak 8 kilometer sebelah selatan Pekalongan tersebut sedang getol-getolnya
melakukan pembangunan dengan mendirikan stadion dan kolam renang.
Berdasarkan pemberitaan
di atas, apa yang ditunjukkan oleh “sarjana desa” patut memperoleh apresiasi sebesar-besarnya.
Mereka telah mendedikasikan diri bagi perbaikan nasib warga dan terciptanya
kemaslahatan bersama. Dalam diri mereka tersimpan etos dan angan meraih
kehidupan yang lebih baik. Hasrat membangun desa inilah yang belum sepenuhnya dimiliki
oleh generasi muda masa kini yang mudah disilaukan dengan cahaya urban. Hidup
di kawasan perkotaan dianggap lebih menjanjikan kenyamanan. Bekerja di wilayah
perkotaan dinilai lebih mendatangkan kesejahteraan. Citra atau gambaran positif
kehidupan urban kerap dikukuhkan oleh persepsi sebagian orang yang menyambut
gegap gempita modernisasi.
Modernisasi genap menelusup
pada kehidupan perdesaan melalui pendidikan. Tak heran apabila banyak anak desa
yang merantau ke kota dengan tujuan menimba ilmu pengetahuan di berbagai
lembaga pendidikan modern. Sayangnya, hal ini tidak lantas menjadikan kondisi perekonomian
lokal mengalami perubahan signifikan. Mengingat, anak-anak desa yang berhasil
meraih gelar sarjana enggan kembali ke desa. Mereka justru lebih suka bekerja
di sejumlah lembaga modern di kota atau pinggiran kota. Itulah mengapa,
modernisasi di level lokal berjalan sangat lambat. (Abdul Munir Mulkhan, 2009:
94-95).
Sumber
Daya Manusia
Padahal, desa
memerlukan sumber daya manusia yang mumpuni. Kesediaan lulusan perguruan tinggi
untuk kembali ke tanah kelahiran berkontribusi dalam mengembangkan desa. Berbekal
ilmu pengetahuan yang ditimba dari bangku kuliah, sarjana menjadi aktor
penggerak desa yang dipercaya mampu membawa perubahan.
Apa yang ditunjukkan
oleh Kepala Desa Hadakewa, Lebatukan, Lembata, Nusa Tenggara Timur, merupakan
bukti bahwa sarjana berperan besar dalam upaya memperbaiki nasib desa dan
kualitas warganya. Sarjana teknik kelistrikan tersebut berhasil mengelola
keuangan desa melalui pendekatan teknologi. Sejak menjabat selaku kepala desa
pada 2016, ia meletakkan dasar pengelolaan pemerintahan secara jujur dan bebas
dari korupsi.
Atas inisiatifnya, berdasarkan
pemberitaan Media Indonesia edisi 22
November 2017, teknologi dimanfaatkan semaksimal mungkin sebagai sarana penekan
angka korupsi. Ia genap menggagas website desa yang memuat penetapan Anggaran
Pembangunan dan Belanja Desa (APB-Des) tahun 2017. Menggunakan sistem sederhana,
website bernama hadakewa.desa.id tersebut menampilkan fitur-fitur yang mudah
dipahami. Uniknya, website itu juga membuka beragam layanan masyarakat, salah
satunya pengurusan surat kelakuan baik.
Kontribusi
Perguruan Tinggi
Pemberdayaan orang asli
desa dalam ikhtiar meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat desa bisa berjalan
maksimal dengan keterlibatan pihak lain. Di sinilah perguruan tinggi dapat menyumbangkan
sumbangsihnya. Peran nyata perguruan tinggi dalam memajukan desa bisa dilakukan
dengan menggandeng “sarjana desa” antara lain dalam pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata
(KKN). Melalui program-program yang dicanangkan, para pemuda yang mengantongi
ijazah perguruan tinggi dapat bersinergi dengan peserta KKN.
Bersama dosen dan
mahasiswa, sarjana yang tinggal di desa diharapkan mampu mengembangkan teknologi
tepat guna sekaligus mengajarkannya kepada masyarakat. Dengan rencana dan
strategi yang telah disusun sebelumnya, mereka bisa memilih beberapa desa
sebagai prototipe dalam usaha menerapkan teknologi tepat guna. Pelatihan terlebih
dahulu diadakan dengan memberdayakan para kader, stakeholder, dan kaum miskin. Mereka inilah yang kelak menjadi
penggerak desa dalam rangka memperbarui diri, meningkatkan pendapatan, mengatrol
kreativitas, serta memperkuat semangat kemandirian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar