Selasa, 21 Mei 2019

Ikhtiar Memberdayakan Sarjana (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Suara NTB" edisi Kamis, 2 Mei 2019)


Desa merindukan para pemuda dengan skill dan potensi memadai. Desa membutuhkan kawula muda dengan pemikiran kritis, inovatif, serta adaptif terhadap perkembangan zaman. Atas dasar pemikiran inilah, mereka yang mengantongi pendidikan tinggi selayaknya turut berperan aktif membangun desa. Bagaimanapun, para sarjana dituntut mampu mengembangkan ilmunya di tanah kelahiran.
Berdasarkan catatan historis, sejak lama jumlah lulusan perguruan tinggi di desa sangat kecil. Mahalnya biaya perkuliahan membuat orang desa enggan melanjutkan studi hingga jenjang perguruan tinggi. Dahulu kala, merupakan suatu kebanggaan apabila seseorang mengantongi ijazah sekolah dasar. Betapa keseharian mereka dipusingkan dengan beratnya tuntutan hidup. Akhirnya, berdirinya lembaga pendidikan formal seakan hanya diperuntukkan bagi orang-orang berstatus sosial tinggi sekaligus mempunyai kesadaran tentang urgensi pendidikan.

Gegap Gempita Modernisasi
Yang patut dibanggakan yaitu adanya beberapa desa dengan banyak sarjana. Barang tentu keberadaan desa seperti ini pada masa silam terbilang langka. Tak berlebihan apabila Kompas edisi 26 Agustus 1966 menurunkan berita mengenai Desa Pekajangan yang memiliki 57 orang sarjana (27 sarjana dan 30 sarjana muda). Menurut keterangan kepala desa setempat, para sarjana itu akan bekerja keras memajukan desa sekaligus mewujudkan “pembangunan semesta berencana”. Apalagi, desa yang terletak 8 kilometer sebelah selatan Pekalongan tersebut sedang getol-getolnya melakukan pembangunan dengan mendirikan stadion dan kolam renang.
Berdasarkan pemberitaan di atas, apa yang ditunjukkan oleh “sarjana desa” patut memperoleh apresiasi sebesar-besarnya. Mereka telah mendedikasikan diri bagi perbaikan nasib warga dan terciptanya kemaslahatan bersama. Dalam diri mereka tersimpan etos dan angan meraih kehidupan yang lebih baik. Hasrat membangun desa inilah yang belum sepenuhnya dimiliki oleh generasi muda masa kini yang mudah disilaukan dengan cahaya urban. Hidup di kawasan perkotaan dianggap lebih menjanjikan kenyamanan. Bekerja di wilayah perkotaan dinilai lebih mendatangkan kesejahteraan. Citra atau gambaran positif kehidupan urban kerap dikukuhkan oleh persepsi sebagian orang yang menyambut gegap gempita modernisasi.
Modernisasi genap menelusup pada kehidupan perdesaan melalui pendidikan. Tak heran apabila banyak anak desa yang merantau ke kota dengan tujuan menimba ilmu pengetahuan di berbagai lembaga pendidikan modern. Sayangnya, hal ini tidak lantas menjadikan kondisi perekonomian lokal mengalami perubahan signifikan. Mengingat, anak-anak desa yang berhasil meraih gelar sarjana enggan kembali ke desa. Mereka justru lebih suka bekerja di sejumlah lembaga modern di kota atau pinggiran kota. Itulah mengapa, modernisasi di level lokal berjalan sangat lambat. (Abdul Munir Mulkhan, 2009: 94-95).

Sumber Daya Manusia
Padahal, desa memerlukan sumber daya manusia yang mumpuni. Kesediaan lulusan perguruan tinggi untuk kembali ke tanah kelahiran berkontribusi dalam mengembangkan desa. Berbekal ilmu pengetahuan yang ditimba dari bangku kuliah, sarjana menjadi aktor penggerak desa yang dipercaya mampu membawa perubahan.
Apa yang ditunjukkan oleh Kepala Desa Hadakewa, Lebatukan, Lembata, Nusa Tenggara Timur, merupakan bukti bahwa sarjana berperan besar dalam upaya memperbaiki nasib desa dan kualitas warganya. Sarjana teknik kelistrikan tersebut berhasil mengelola keuangan desa melalui pendekatan teknologi. Sejak menjabat selaku kepala desa pada 2016, ia meletakkan dasar pengelolaan pemerintahan secara jujur dan bebas dari korupsi.
Atas inisiatifnya, berdasarkan pemberitaan Media Indonesia edisi 22 November 2017, teknologi dimanfaatkan semaksimal mungkin sebagai sarana penekan angka korupsi. Ia genap menggagas website desa yang memuat penetapan Anggaran Pembangunan dan Belanja Desa (APB-Des) tahun 2017. Menggunakan sistem sederhana, website bernama hadakewa.desa.id tersebut menampilkan fitur-fitur yang mudah dipahami. Uniknya, website itu juga membuka beragam layanan masyarakat, salah satunya pengurusan surat kelakuan baik.

Kontribusi Perguruan Tinggi
Pemberdayaan orang asli desa dalam ikhtiar meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat desa bisa berjalan maksimal dengan keterlibatan pihak lain. Di sinilah perguruan tinggi dapat menyumbangkan sumbangsihnya. Peran nyata perguruan tinggi dalam memajukan desa bisa dilakukan dengan menggandeng “sarjana desa” antara lain dalam pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Melalui program-program yang dicanangkan, para pemuda yang mengantongi ijazah perguruan tinggi dapat bersinergi dengan peserta KKN.
Bersama dosen dan mahasiswa, sarjana yang tinggal di desa diharapkan mampu mengembangkan teknologi tepat guna sekaligus mengajarkannya kepada masyarakat. Dengan rencana dan strategi yang telah disusun sebelumnya, mereka bisa memilih beberapa desa sebagai prototipe dalam usaha menerapkan teknologi tepat guna. Pelatihan terlebih dahulu diadakan dengan memberdayakan para kader, stakeholder, dan kaum miskin. Mereka inilah yang kelak menjadi penggerak desa dalam rangka memperbarui diri, meningkatkan pendapatan, mengatrol kreativitas, serta memperkuat semangat kemandirian.

Bojonegoro, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar