Sudah beberapa hari Kakek
terlihat sangat lemah. Maklum. Di usianya yang senja, Kakek rajin melahap
berbagai penyakit. Berkunjung ke dokter menjadi rutinitasnya yang membosankan.
Saban hari, di mejanya, teronggok aneka macam obat yang ditebus dari apotek.
Kakek sadar, kalau ajal
tengah menantinya. Rasanya, ingin sekali Kakek mereguk kembali kebiasaan yang
silam ditunaikan; ialah membaca dan menela’ah al-Qur’an. Sebelum dirundung
sakit-sakitan, Kakek gandrung melantunkan firman Tuhan. Meski suara kurang
nyaman dicerap, Kakek begitu percaya diri. Sudah bisa dipastikan, tunai
melaksanakan sholat Shubuh, berdzikir, dan merapal aurad-nya, Kakek mengalunkan ayat-ayat al-Qur’an dengan keras.
Banyak yang tak
mengerti, kenapa Kakek gemar memadatkan suara tiap kali bertadarus. Bahkan, ketika
penyakit lambung Mbah Harjo kumat, Kakek tetap urung melirihkan suara. Tak
ayal, para tetangga melempar gunjingan dahsyat. Enggan jera, lusa, Kakek malah
menjinjing vokalnya lantang. Istri dan anak-anaknya tergencet amarah, tatkala
mencoba mengingatkan renta berambut uban itu.
“Mendengarkan bacaan
al-Qur’an itu menyehatkan. Memang, manusia sekarang pilih mengakrabi syetan
ketimbang kalam Tuhan.” Begitulah dalihnya.
***
Satu-satunya keinginan
Kakek yang tersisa yaitu wafat pada malam Jum’at. Itulah mengapa, semua anak
beserta cucunya mengantongi titah untuk senantiasa mendoakan agar harapan
tersebut ringan terkabul.
“Le, Nduk, cucu-cucuku semua. Mati malam Jum’at itu mulia. Siapa
saja yang nyawanya dicabut pada malam itu, ia dijamin masuk surga. Habis
sembahyang lima waktu, jangan lupa, ya! Doakan supaya aku mati pada malam
Jum’at.”
Kaul itulah yang
berhembus dari katup mulut Kakek ketika kami menggelesot di rumahnya. Lirih,
lembut, namun menghunjam di relung dada. Kami sekadar mematung menenggak apa yang
dilontarkan. Sudah berlusin kali Kakek menyuruh kami berkumpul, menadah pesan
serupa, dan menganggukkan kepala setelahnya. Terlebih lagi, jika tidurnya
menghidangkan mimpi buruk. Entah mimpi melihat layang-layang putuslah,
menemukan gigi tumbuh di jantunglah, atau jadi pengantinlah. Dalam mitologi
Jawa, seseorang yang mengunyah mimpi-mimpi tersebut, diyakini bahwa tak lama
lagi ia akan terusir dari dunia. Alasan itu pula yang membuat Kakek enggan
dibawa ke rumah sakit. Aku ingin mati di rumah dengan tenang, selorohnya ketus.
Walakin, firasat Kakek
kerap meleset. Apa yang dikhawatirkan selama ini urung terjadi. Hingga sebagian
di antara kami merasa bosan dan meringik. “Ada-ada saja. Mau mati saja,
sulitnya minta ampun.”
***
Lembar-lembar nestapa
menyelimuti ubun-ubun Kakek. Betapa pedihnya, menutup mata tanpa disandingi
segenap buah hati. Lek Sum—bungsu yang paling disayangnya—pun tak menunjukkan
batang gigi. Sebagian dari mereka, yang sengaja absen pada malam mangkatnya
Kakek, menelan sesal. Alangkah pandirnya. Malas mereka menuruti permintaan
pungkasan Kakek: berhimpun bersama di kediamannya. Mereka kira, Kakek membual
belaka, semisal hari-hari yang lewat.
Kesedihan itu….
Kesedihan yang bagai pisau tajam itu nyatanya hanya singgah sebentar. Kesedihan
tersebut lekas berkarat, setelah kami memergoki Kakek berpulang pada malam
Jum’at, tepat saat jarum jam memeluk angka sembilan.
Disertai tangis
membuncah, Ibu, selaku keturunan tertua, melempar senyum—meski dengan cara
dipaksa.
“Saudara-saudaraku.
Janganlah bersedih. Percayalah! Ayah pergi dalam keadaan husnul khatimah. Ayah
bakal masuk surga. Di sana sudah menunggu bidadari-bidadari cantik jelita,
ladang pahala, serta kenikmatan luar biasa.”
***
Mbah Laeman, sepuh yang
istiqamah shalat berjamaah dengan Kakek di mushalla, sekonyong-konyong
menudungi usia. Sontak, seluruh warga desa kami ribut. Apalagi, apalagi
kematiannya tergolong tak wajar. Di leher layunya tergolek bekas jeratan.
Rupanya, lelaki yang jangkap dua dasawarsa ditinggal mati sang istri dan bermukim
sebatang kara di gubuk reyot itu gantung diri. Kang Diran, sepulang dari
berburu belut, menemukan tubuhnya menggantung di pekarangan.
Kami tercekat, sempat
tak percaya. Mbah Laeman merupakan salah seorang di desa kami yang dikenal
saleh, tekun bersila di mushalla, dan suka membagi-bagikan buah nangka. Pun
dinilai terlampau sabar meladeni cobaan hidup. Batuknya yang membabibuta,
penyakit bengek yang menyiksa, serta kemiskinan yang tiada tara, sukar
mengantarnya menyerah. Amat jarang—atau bahkan, barangkali tak pernah—kami
memungut keluhan yang menyembul dari lidahnya. Kerap, kami dibuat geleng-geleng
kepala. Sebab, dalam menampung berat dan rimbunnya ujian, ia mampu meniti
kehidupan dengan dada lapang.
“Kaum
muslimin-muslimat. Innaa lillaahi wa
innaa ilaihi raaji’uun. Telah kembali ke hadirat Ilahi: Mbah Laeman, warga
RT. 10. RW. 2 desa Dagugagap, pada jam sembilan tadi malam. Jenazah akan
disembahyangkan di masjid al-Falah pada jam sepuluh pagi. Bagi yang bermaksud
takziah, diharap hadir maksimal lima belas menit sebelum jenazah
diberangkatkan.”
Warta berkabung
tersebut disebarluaskan oleh Kang Hadi, kala surya belum benar-benar mengapung.
Sebagai antisipasi agar, malamnya, warga yang sedang istirahat tiada terganggu.
Ditambah lagi, kematian Mbah Laeman yang tragis, rentan menerbitkan suasana
mencekam serta rasa takut bagi sebagian orang.
Ketika mengambil air di
sumur dekat mushalla, kudapati Kang Pardi asyik berbincang dengan Kasiyo.
Sembari menimba—berpura-pura melihat ke dalam sumur—aku menyimak apa yang
tengah mereka bicarakan.
“Hei, Yo. Jangan bilang
ke siapa-siapa ya! Kemarin Mbah Laeman habis ngobrol denganku.” Mulut Kang
Pardi berkecek enteng.
“Memangnya, dia ngomong
apa?” Kasiyo serius menanggapi.
“Jangan keras gitu
kalau ngomong! Mbah Laeman itu sebenarnya pengen mati seperti Mbah Doha.”
“Terus, apa hubungannya
dengan kematiannya?”
“Uhh… Bodoh betul kau
ini! Kau tahu kapan Mbah Doha meninggal?”
“Malam Jum’at”
“Kalau Mbah Laeman?”
“Tadi malam.”
“Lha, ya.. tadi malam itu malam apa?” Sepasang tanduk mulai
berkecambah di kepala Kang Pardi.
“Malam Jum’at”
“Sama, kan?”
“Terus, hubungannya
dimana?”
“Kau dulu sekolah di
mana? Kerbau..!”
“Aku kan gak sekolah.”
“Pantas saja! Mbah
Laeman itu pengen mati mirip Mbah Doha. Paham?”
“Tapi Mbah Laeman kok kendat. Gak samalah dengan matinya Mbah
Doha. Harusnya, sebelum mati, dia juga senang minum obat dan menyerahkan
bokongnya ke Pak Dokter.”
“Makananmu apa? Banyak
makan gizilah, biar cerdas! Maksudnya, Mbah Laeman pengen mati pada malam Jum’at, seperti Mbah
Doha.”
“O, gitu.. Memang apa
enaknya mati malam Jum’at?”
“Kata Pak Kiai, barang
siapa meninggal pada malam Jum’at, maka ia mendapat husnul khatimah.”
“Husnul khatimah?
Bukannya Mbak Husnul sudah jadi istri Pak Gendut?”
Kang Pardi mendengus
kesal.
***
Pagi merayapi siang.
Shalat jenazah itu dibuntuti selingkar 100 orang. Berjibun memang. Akan tetapi,
jika diperhatikan lebih teliti, sungguh kedatangan mereka bukanlah untuk
menghibahkan penghormatan terakhir bagi Mbah Laeman. Ada yang ingin mengetam
sedekah dari sisa warisannya. Banyak pula yang berhasrat memafhumi lebih dalam
faktor apa yang menyelinap di balik kasus bunuh diri lelaki fakir keturunan
itu.
Usai memimpin shalat,
berdoa sepemakan sirih, dengan lirih Pak Kiai bertutur kepada para hadirin,
“para jama’ah sekalian. Setiap jenazah memerlukan kesaksian, tak terkecuali
Mbah Laeman. Kesaksian ini merupakan kesaksian terakhir baginya sebelum menuju
alam barzah. Jika semua jama’ah memberi kesaksian bahwa Mbah Laeman adalah
hamba yang baik, maka ia dicatat oleh Allah selaku orang baik. Sebaliknya, jika
disaksikan sebagai hamba yang buruk, ia pun buruk dalam pandangan Allah.”
Serejang kemudian,
orang berjenggot abu-abu itu bersoal, “apakah Mbah Laeman termasuk hamba yang
baik atau buruk?”
Semua terdiam.
“Mbah Laeman tergolong
hamba yang baik atau buruk?” Pak Kiai mengulangi pertanyaan dengan suara agak
diangkat.
Para jama’ah masih
nekat bungkam, sambil memandangi keranda yang memuat tubuh Mbah Laeman.
“Saya tanya, apakah
Mbah Laeman termasuk hamba yang baik atau buruk?”
Sekali lagi, jawaban
tak kunjung terbuntang.
“Para jama’ah sekalian.
Mohon dijawab! Mbah Laeman itu hamba yang baik atau buruk?”
Seseorang di antara
kami—kalau tak salah Kang Gondo—menimpali, “kata apa yang menurut Pak Kiai
pantas diucapkan? Akankah kami berkata bahwa mayat yang kami shalatkan ini
adalah orang baik. Padahal, padahal dalam pengelihatan kami, ia sangatlah
buruk. Sangat buruk sekali.”
Udara pecah. Komplotan
debu berkeliaran di pelataran masjid.
Yogyakarta, 2012
Catatan:
Kendat : istilah dalam bahasa Jawa yang berarti
perbuatan bunuh diri dengan cara menggantung leher.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar