Judul:
Badja Matya Mantra (Himpunan Cerpen)
Penulis:
Budi Afandi
Terbit:
Maret 2013
Penerbit:
Akar Pohon
Tebal:
120 halaman
Harga:
30.000,-
Boleh jadi buku rakitan
Budi Afandi (BA) ini merupakan antitesis terhadap kemapanan seorang manusia
dalam memandang kehidupan. Ia tidak menyeru, mengajak kita untuk memetik
nilai-pukau dunia dengan memeluk erat kenormalan, kebanalan, ataupun kelaziman
yang memang biasa terjadi di sekitar. Ia, dengan caranya sendiri, mencoba
menawarkan secawan anomali guna memahami ketidakberesan dalam alur hidup yang serba
profan.
Bermodal
anomali-anomali tersebut, BA bukannya bermaksud menjauh-hindarkan manusia dari
realita, menebar bujuk-rayu untuk bersama-sama menapaki alam khayal bertabur
kabut fatamorgana. Sebaliknya, ingin ia tunjukkan bahwa dalam hiruk-pikuk dan
hingar-bingar semesta, ada banyak sekali keanehan dan keganjilan, baik dari
tangan manusia atau memang lahir tanpa rekayasa.
Meskipun kisah-kisah
yang dirancang oleh BA terbilang absurd, akan tetapi ia tetap mampu menunjukkan
bahwa fondasi fiksi yang didirikan berbahan dasar logika. Dengan demikian, kesan
‘ngawur’ dan ‘asal-asalan’ dapat dengan leluasa ia singkirkan, tanpa harus
mengorbankan klimaks kenikmatan (ekstase), sebagai daya pikat terbesar bagi
pembaca. Hasilnya mengejutkan. Setiap kata yang dipadu-eratkan dengan kata
lainnya mengedepankan keselarasan, keharmonisan, dan kesetiaan terhadap alur
pikiran manusia pada galibnya. Dari sini, dapat kita asumsikan bahwa BA genap
memekik lantang, “hidup boleh irasional, namun cerita fiksi harus bersandar
pada logika formal.”
Sepuluh cerpen yang
dibuhulkan dalam satu ikatan ini sengaja mengelak dari apa yang gemar
dihidangkan oleh para penulis lain. Betapa sudah sering kita dapati, tak bosan-bosannya
pembaca diajak memperhatikan ketimpangan-ketimpangan sosial di negeri ini, ulah
koruptor yang tak tahu diri, serta kebejatan ayah yang menghamili anak kandung sendiri.
Juga tak kalah kerapnya, kisah-kisah ‘sudah jatuh tertimpa tangga’ yang
menuntut ucapan belasungkawa ataupun sumbangan air mata. Parahnya, ada indikasi
kuat bahwa kisah-kisah tersebut tidak pernah terlepas dari proses memfiksikan
berita yang bertebaran di media massa.
Cerpen “Bola Mata di
Lubang Pintu” bercerita tentang Airah dan suaminya yang mendapat hadiah rumah
baru dari atasan. Rumah itu adalah petaka bagi Airah, karena dalam rumah itu ia
berulang kali mengalami mimpi buruk. Suatu pagi, Tabah membangunkannya, namun
gagal. Nafas Airah tersengal-sengal. Berkali-kali Tabah membuka kelopak mata
Airah, namun tetap bergeming. Akhirnya Tabah membopong Airah keluar dari rumah
dengan mobil. Airah tersenyum melihat cara Tabah mengangkat tubuhnya. Ia senang,
sebab dengan cara itu, ia diperhatikan oleh Tabah.
Di satu sisi, dalam
cerpen di atas tercecer benih-benih ketakutan sehingga mengundang suasana
muram, namun di sisi lain juga tersimpan serbuk kebahagiaan sehingga mengajak
pembaca untuk menyunggingkan senyum. Oleh BA, pembaca tidak dipaksa terus-menerus
mengencangkan geraham, melotot dengan bola mata nyaris lepas, mengerutkan dahi serta
menaruh khawatir bagi nasib tokoh. Menariknya, setelah ketegangan-ketegangan
tercipta, BA mengendurkan syaraf pembaca dengan adegan tokoh yang menggelitik.
Cerpen “Badja Matya
Mantra” mengisahkan pertemuan dua sahabat lama. Salah satunya mengaku hendak
mempelajari ilmu Badja Matya Mantra. Ketika berhasil dan mengamalkan ilmunya,
bola mata Canang menghitam seluruhnya. Hal itu pula yang terjadi saat calon istri
sahabatnya, Linggar, terduduk di tepian ranjang pengantin penuh mawar. Kedua
mata wanita itu sebam dan meneteskan darah, lalu tubuh telanjangnya dalam sekejap
juga bersimbah darah. Setelah tersadar, sang tokoh berkata, “pertemuanmu dengan
Linggar adalah karunia. Pernikahanmu dengannya tidak bisa dihentikan. Yang
digariskan akan terjadi. Namun mengakhirinya dengan darah atau tidak, masih
menjadi pilihanmu.” (halaman 75).
Dengan bayangan seperti
itu, ada sebuah peringatan bahwa jodoh manusia sudah menjadi ketetapan Tuhan
yang tidak mungkin dilawan. Meskipun demikian, sang tokoh berusaha membesarkan
hati sahabatnya dengan berpesan bahwa Murat tetap dibekali kemampuan untuk
mengusir kesedihan tersebut dengan cara berusaha sekuat tenaga. Di sinilah
letak kekuatan cerpen ini. Meskipun awalnya BA menjerat tokoh dengan permasalahan
pelik yang akan dihadapi ketika ia menikah dengan kekasihnya, namun di akhir kisah
ia menunjukkan titik terang—melalui tokoh Canang—dengan memberikan motivasi
dengan rasa percaya diri bahwa setiap permasalahan akan mampu diatasi, jika
dihadapi dengan selalu berjuang menjauhkan diri dari kata ‘menyerah’.
Mirip sejumlah cerpen
lainnya, cerpen “Lelaki Lumpuh” hendak mewartakan bahwa dalam hidup yang padat
persoalan, masih tersisa sebongkah harapan (tampaknya, hampir semua cerpen
dalam buku ini berpretensi demikian). Lelaki yang gila karena ditinggal istrinya,
nyatanya, masih menemukan jalan keluar dari permasalahannya dengan perbuatan sepele.
Ia, dalam kegilaannya, menganggap bahwa cara terbaik dalam meringankan beban
pikiran adalah dengan melahap makanan yang diberikan seorang perempuan yang
memiliki kemiripan dengan istrinya. Ini merupakan salah satu ciri khas BA.
Pembaca tidak selalu dibujuk untuk menggugat ketidakberesan dalam diri tokoh,
melainkan juga memberi jalan pintas—berupa solusi atau sekadar penghiburan diri—di
pucuk kisah.
Yogyakarta, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar