Celana menyimpan
berbagai narasi. Dari yang sederhana hingga paling luks sekalipun.
Narasi-narasi tersebut melekat seiring dengan laju perjalanan kehidupan manusia
yang semakin kencang.
Dahulu kala, penggunaan
celana ditengok dari satu sudut pandang saja, yaitu berdasarkan fungsi.
Siapapun yang memakai celana pada umumnya bertujuan untuk menutupi alat vital
dari penglihatan orang lain. Celana juga dimanfaatkan untuk menghindarkan tubuh
dari kebekuan saat musim dingin tiba. Berbakal kain atau bahan baku lainnya,
celana dipercaya mampu mengusir bengalnya kedinginan dan menghadirkan
bulir-bulir kehangatan.
Namun demikian,
menggelindingnya roda waktu nyatanya menunjukkan kegunaan celana kian beragam.
Celana tidak lagi melulu sebagai pelindung tubuh. Lebih dari itu, celana telah
dilegitimasi menjadi simbol kebebasan hingga medium pemberontakan budaya.
Paska berakhirnya
perang di Eropa, orang-orang muda—terutama mahasiswa—merayakan dengan
beramai-ramai memakai celana. Barang tentu bukan semua jenis celana yang bisa
digunakan. Entah atas dasar apa akhirnya jeans
menjadi satu-satunya alternatif yang telak guna mewakili kondisi batin mereka.
Pada waktu itu, celana jeans tak
ubahnya lambang kebebasan, yang berhasrat meninggalkan segala keterkungkungan
menuju bilik kemerdekaan.
Mengenai celana jeans ini juga, Tia Meutiawati (2007)
mencatat bahwa pada 1950-an kerap ditemukan fenomena gerombolan pemuda Jerman
memakai celana jeans ketat, sebagai
suatu cara Halbstarke—julukan bagi
penggandrung musik Rock’n Roll—menggelar
aksi dalam rangka menentang standar kehidupan masyarakat tradisional.
Pemberontakan kaum muda melawan generasi tua merupakan di antara proses
seseorang tumbuh menjadi dewasa. Pertentangan ini di belahan dunia barat
mendapat dimensi baru, karena untuk pertama kalinya timbul kebudayaan anak muda
yang tidak bergantung pada kebudayaan orang tua, bahkan cenderung melepaskan
diri dari cengkeramannya.
Celana juga pernah
menjadi penunjuk penting dalam mengidentifikasi identitas agama seseorang.
Hanya dengan memakai celana, bisa diketahui bahwa seseorang menganut agama
tertentu. Misalnya, ketika bendera VOC masih berkibar di bumi pertiwi, celana
merupakan penanda yang pasti mengenai agama para tuan tanah asing. Dengan
menjunjung tinggi egosentrisme, Belanda bernafsu untuk senantiasa
mempertahankan busana Eropa. Oleh dasar itu, hanya orang-orang pribumi pengikut
Kristiani-lah yang diperbolehkan mengenakan pakaian bercorak Eropa di
daerah-daerah, tentunya dengan pengawasan VOC. Tak ayal, celana dijadikan sebagai
pembeda orang-orang ini dari orang-orang lainnya di Batavia, yang berkewajiban
untuk setia pada pakaian tradisional serta tutup kepala mereka. Orang-orang
Indonesia non-Kristiani dilarang berpakaian layaknya orang Eropa. (Henk Schulte
Nordholt [ed.], terj. M. Imam Aziz, 2005: 66)
‘Melawan’
dengan Celana Dalam
Sejarah berceloteh
bahwa ikhtiar perjuangan kaum Hawa dalam menuntut persamaan derajat dengan kaum
Adam enggan surut. Mereka merasa tidak puas, jika hanya mempermasalahkan posisi
suami dalam keluarga—yang leluasa ‘keluyuran’ di luar rumah, sedangkan istri
berdiam diri di kamar, bersolek, mengurus anak, dan menyiapkan hidangan untuk
makan. Lebih dari itu, mereka juga mendesak agar cara pandang dan penetapan
standar masyarakat mengenai busana diadakan perombakan.
Menggelar aksi
perlawanan luar biasa, kaum wanita berjuang untuk mengantongi persamaan dengan
kaum pria dalam hal berbusana. Akhirnya pada tahun 1960-an apa yang mereka
lakukan membuahkan hasil; celana menjadi bagian dari pakaian wanita, meskipun
hanya boleh dikenakan sebagai pakaian dalam. Setelah perjuangan mereka yang tak
kenal lelah, pada tahun 1970-an peraturan-peraturan serta tolok ukur masyarakat
mengenai busana lambat laun berubah. Celana dengan modelnya yang bervariasi
telah diakui sebagai bagian dari busana wanita, baik untuk perlengkapan casual (santai) maupun formal.
Di Indonesia, saat
kasus perkosaan sedang marak, Pita Venus—celana dalam anti perkosaan—menjadi
peranti jitu bagi para wanita dalam menolak kesewenangan pria yang ingin
menikmati tubuh mereka. Produk celana dalam ini menjadi pilihan tepat agar
virginitas wanita tetap dipertahankan dan gangguan mental sebab ulah kurang
senonoh pria hidung belang bisa dihindarkan.
Demikianlah, celana
dalam menjadi salah satu sarana penting bagi kaum wanita untuk mengekspresikan
gejolak batin dan perlawanan terhadap kultur patriarkis yang sukar bergeser.
Dengan mengenakannya, mereka berharap agar posisi kaum pria tidak selamanya
bertengger di atas serta penjajahan atas ruang pribadi wanita semakin
berkurang.
Menyuguhkan
Ilham
Meskipun terkesan
remeh, fakta berkoar bahwa dalam celana terkandung kekuatan besar yang tak
boleh dipandang sebelah mata. Itulah mengapa, bagi para sastrawan, sering kali
celana menjadi pemantik bagi lahirnya sejumlah karya sastra yang bernas
sekaligus orisinal. Sebutlah Joko Pinurbo (Jokpin), yang rajin menjemur celana
pada puisi-puisinya. Begitu cintanya pada celana, sampai-sampai himpunan
puisinya pun bertajuk Celana
(Indonesia Tera, 1999), yang juga memuat puisi tentang celana, di antaranya: Lalu ia ngacir/ tanpa celana/ dan berkelana/
mencari kubur ibunya/ hanya untuk menanyakan,/ “ibu, kausimpan dimana celana
lucu/ yang kupakai waktu bayi dulu?”// (Celana,
1).
Berbekal celana, Jokpin
menganggit puisi-puisi humor dengan menawarkan metafora-metafora baru dan
menyegarkan. Bermodal alur bahasa sederhana serta balutan kalimat yang mudah
dipahami, puisi Jokpin bersikeras menyelipkan pesan yang kuat dan melanting
kritik sosial yang pedas dan menukik. Dalam gurauannya tersemat filosofi
mendalam tentang kehidupan. Hal ini mengantarkan puisi-puisinya memungut label
nakal sekaligus cerdas, bukan sekadar puisi mbeling
yang dangkal dan asal-asalan. Tak heran, jika oleh para kritikus sastra,
usahanya yang gigih tersebut dinilai sanggup mengadakan pembaruan pada puisi
Indonesia. Walhasil, atas berkah celana, Jokpin pun menerima beberapa
penghargaan bergengsi, seperti Khatulistiwa Literary Award (KLA) tahun 2005 dan
buku terbaik pilihan Tempo tahun 2012.
Adalah celana dalam, yang
mengilhami David Beckham untuk mengukuhkan ikatan persahabatan. Betapa tidak!
Sebagai tanda persahabatan, pesebak bola tersohor yang gemar mendermakan
kekayaannya tersebut pernah menghadiahkan 50 pasang celana dalam kepada Presiden
Amerika Serikat Barack Obama.
Di luar dugaan, ternyata
Ibu Negara Michelle Obama mengungkapkan bahwa suaminya sangat senang memakai
celana dalam pemberian Beckham. Hal yang barangkali berbanding terbalik apabila
suatu hari presiden Indonesia mendapat kiriman berupa bingkisan celana dalam
dari seorang warga. Pastilah celana dalam tersebut diyakini selaku markah
penghinaan!
Yogyakarta, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar