Aku hampir tak percaya. Sungguh. Apa yang selama ini kuharapkan dari beragam amalku ternyata nihil. Bayangan tentang pahala yang menumpuk seabrek sirna. Mana? Mana ganjaran yang rajin digembor-gemborkan kiai tengik itu? Kiai yang saban hari mendermakan bebongkah pesan disertai iming-iming yang menyilaukan.
Dan, bodoh! Di antara ke sekian pemuda yang mengunyah nasihat dan wejangan orang berjubah putih itu, akulah paling buntung. Kenapa? Sebab aku terlalu terburu-buru untuk membuktikan. Membuktikan seberapa benar ocehannya di surau tua samping rumah Pak Lurah. Bukan Jufry, Eko, Agus, Mursid, Furkan, atau Abdul Fatah, anak kiai sendiri.
Jangankan memperoleh semangkuk sup lezat kiriman dari surga. Atau segelas minuman pelepas dahaga dengan kenikmatan tiada tara. Untuk bernafas saja aku kesulitan. Ah, dosa apa yang tunai kuperbuat, sehingga dengan seliat tenaga, bumi menghimpitku bertukas-tukas. Sesak. Andaikan orang-orang mendengar rintihanku, pastilah kuminta sedikit saja sumbangan oksigen guna meringankan nafasku.
Selepas mengubur jasadku, seluruh peziarah pulang. Meski ayah, ibu, dan adik—sambil terisak-isak—selama satu jam menungguiku, pada akhirnya mereka juga meninggalkanku sendirian. Yetti, kekasihku, datang belakangan dengan busana serba hitam. Oh, matanya yang teduh seolah mengalirkan cairan kasih sayang. Cairan yang dihanyutkan semisal tatkala aku mengungkapkan cinta kepadanya.
Namun, pada khatamnya aku ditikam kecewa. Lidah manusia memang ringan berdusta. Parahnya, Yettilah orang kedua yang nekat mengecohku dengan kalimat lembut dan syarat gombal setelah kiai busuk itu. Padahal, dari mulutnya aku mengetam apa arti setia. Hingga sesaat sebelum meregang nyawa, aku masih teperdaya dengan kata-kata yang menyembul dari bibir manisnya. Ya. Tiada hentinya ia memasang janji untuk memilin asmara seiya sekata. Sejiwa seraga. Sehidup semati. Sesurga seneraka. Nyatanya, ia malah mengacir seusai meletakkan secarik bunga di atas nisanku. Bunga murahan pula. Puih! Dan, di sana. Di depan pemakaman sana telah menanti seorang lelaki berwajah lumayan dan berkantong tebal. Rupanya begitu mudah ia terbujuk oleh setan. Dasar perempuan!
Auw, dari tadi kerjaku cuma menggunjing dan mendedah aib orang lain. Selain kurang beretika, itu kan larangan agama. Tapi, aku kan sudah mati. Kira-kira berdosa tidak, ya. Tak tahulah. Hmmm… Daripada menceritakan orang lain lebih baik menguraikan keadaan diri sendiri. Kukira, ini lebih bermanfaat ketimbang memboroskan kata-kata untuk hal yang bukan-bukan.
Mendarat di Jagat Tanpa Sekat
Benar-benar aku masih bingung dengan semua ini. Apa ada yang salah? Mengapa aku diam seribu bahasa ketika dua makhluk berwibawa itu melempar sejumlah pertanyaan. Padahal pertanyaan-pertanyaan itu sanggup kuhafal beserta jawabannya sejak balita. Mbah Warijo yang mengajarkannya kepadaku. Dengan cara menyajikannya dalam tembang Jawa, aku hanya butuh secuil waktu untuk sekadar merekamnya hingga ingat di luar kepala.
Sekiranya kedua delegasi Tuhan itu bersedia diajak kerja sama, niscaya hendak kubisikkan bahwa aku tengah mengidap amnesia. Mirip para koruptor yang berlagak lupa ketika diberondong pertanyaan menyudutkan di muka hakim dan jaksa. Tapi, rupanya loyalitas menjadi hal paling utama bagi keduanya. Jadi, sia-sia saja membujuknya.
Rasa congkak yang kupelihara sekonyong-konyong runtuh ketika pertanyaan man rabbuka tak mampu kujawab. Mulut kaku. Lidah kelu. Siapa gerangan yang mengikat pita suaraku? Sungguh, kesedihan menelikungku. Malu mencabik-cabik dadaku. Dan, setangkas kilat, cambuk raksasa menghantamku bertubi-tubi. Bola mataku keluar. Batang hidungku patah. Daun telingaku sobek. Tulang-belulangku remuk. Hilang bentuk. Ajaibnya, sepemakan sirih kemudian, jasadku kembali utuh seperti semula. Tambun dan segar. Siap menadah beribu aniaya.
Dengan kondisi fisik yang prima, aku berharap bisa membalas segala corak pertanyaan yang ada. Namun, celaka! Pertanyaan kedua hingga terakhir menurutku tak kalah sulit dengan yang pertama. Begitu sukar untuk mengatasi satu saja pertanyaan-pertanyaan tersebut. Akibatnya, cambuk mengerikan kembali melayang dan menghajarku habis-habisan.
Tidak sampai situ saja kemalangan yang menimpa. Sial! Sejak nyemplung di tempat gelap sekaligus lembab ini, sama sekali aku belum pernah merasakan ketenangan. Barangkali atas rekomendasi juru kunci aku ditancapkan di sini. Di tanah bercampur tahi ini; dekat kuburan Mas Gepeng. Ya. Duda dengan dua anak yang enam tahun silam mampus tertabrak bus. Mampus dengan tubuh hancur berantakan. Siapa pula mengira kalau nasibnya bakal setragis itu. Meninggalkan dunia sehabis menenggak tujuh botol arak oplosan.
Sewaktu hidup saja aku selalu menjauhinya. Gengsi dong! Aku kan makhluk mulia. Sedangkan ia terhitung manusia durjana. E, ternyata, sekarang malah jadi tetangga. Berdempetan pula.
Bagaimana aku tak mengeluh, kalau si dungu lulusan SD itu gemar berteriak sejadi-jadinya ketika menggeliat kesakitan. Aih, aih, aih. Ada saja yang dipekikkan. Terkadang bilang aduh! Aduh! Atau panas! Panas! Atau kapok! Kapok! Paling sering menggerung ampun! Ampun! Malaslah aku mencari tahu siksa apa yang diterima. Aku sendiri setengah mati meronta-ronta ketika menjumput limpahan azab. Ditinjau dari raungannya yang menggema, agaknya ia lebih apes dariku.
Malam Pertama Malam Derita
Di malam pertama bermukim di tempat angker, sempit dan berbau ini, aku merasakan ketakutan membabibuta. Ketakutan yang belum pernah menyerangku sebelumnya. Benar. Di malam itu, saat memeluk sepi, aku dikagetkan dengan kedatangan makhluk buruk rupa. Kepalanya kuda. Berbadan manusia dengan ekor buaya di belakangnya. Gigiku menggigil. Leher gemetaran. Bulu kuduk berloncatan.
Ia mencoba merapat. Sepasang kakinya menggelinding ke arahku. Meski demikian, aku sangat enggan memperhatikan. Lantas dengan senyum dibuat-buat, ia menggelesot di depanku. Kurang tahan dengan gelagat dan gerak-geriknya, akhirnya untuk sementara aku mengalah.
“Kau siapa?”, aku memulai bersoal.
“Siapa kau?”
Kurang ajar. Baru bersua sekali ia sudah nekat bikin onar. Nyaris aku terbelit kemarahan, jika saja tak mencoba bersabar.
“Jujurlah, siapa kau sebenarnya! Baru pertama kali aku mengetahui makhluk aneh sepertimu.” Aku bertutur pelan, berharap ia mau berterus terang.
“Masa kau tidak mengenalku? Jangan pura-pura begitu!”
“Apa untungnya membohongimu. Presiden saja malas menganggapmu sebagai warga negara.” Emosiku kembali diuji.
“Atau jangan-jangan kau malu, ya.”
“Malu kenapa?”
“Malu mengakui diriku.”
“Malu? Atas dasar apa?”
“Wah.. wah.. Kau ini sudah mati. Masih sombong juga.”
“Ya, maaf. Tapi, benar. Sumpah, aku tak mengenalmu. Katakan siapa dirimu! Plissss!”
“Eealah… Pakai sumpah segala. Benar kau tak tahu aku? Aku ini amalmu.”
“Amalku? Astaghfirullah.”
Jantungku nyaris lepas. Tapi, sungguhpun lepas, mustahil aku mati untuk kedua kalinya.
Menghabiskan Malam Kedua Bersama Si Botak
Akrok. Namanya Sujak Akrok. Tampak ganjil memang. Selagi di dunia, rasanya belum pernah dengar ada spesies berjuluk demikian. Namun, di sini aku menemukannya. Dan berkumpullah dua makhluk yang sama-sama profesional. Ah, jangan berkomentar dulu! Profesional dalam arti keduanya—aku dan ia—meneguhi posisi masing-masing. Ia satwa dari neraka. Sedang aku berperan selaku mangsanya.
Apakah kau tahu? Tepatnya di malam kedua, ia datang padaku tanpa permisi terlebih dahulu. Belum sempat menyapa, ia langsung melilit tubuhku tanpa ampun. Ular besar bersisik sangar berkepala pelontos itu mempunyai taring yang, emmm… tajamnya melebihi pedang. Sekali melingkar, aku jangkap dibuatnya lemah tak berdaya. Serata badanku melemas. Dan, jika urung memberanikan diri, sudah ia keremus kepalaku dengan taringnya itu.
“Tunggu!”
“Tunggu!” Terpaksa kuulangi lagi kata itu. Aku masih bingung untuk mencari kata yang pas supaya ia tak tersinggung.
“Jika berkenan, beritahukanlah apa kesalahanku, sehingga tega-teganya kau bermaksud menyantapku.” Aku berlagak sopan.
“Jadi, kau belum mengerti kesalahanmu?”. Suaranya menggelegar bak halilintar menyambar.
“Iyy… iyyyaa.” Tiba-tiba aku gugup.
“Begini saja. Jawab saja pertanyaanku! Bagaimana shalatmu semasa hidup?”
“Setahuku, shalatku amat khusyu’. Setiap membaca alfatihah, surat pendek dan doa-doa di dalamnya, idghom, idzhar, ikhfa’, kubedakan. Panjang-pendek bacaan benar-benar kuteliti. Artinya kuresapi. Guna menggenapkan faedah, terlebih dulu kugosokkan siwak tiga kali. Kukenakan baju koko terindah. Dilengkapi dengan sajadah, sarung, kopyah hitam, serta surban, yang kubeli dengan harga tinggi dan diimpor dari luar negeri.”
“Bagimu itu baik?”
“Sangat baik. Saking baiknya, aku ditunjuk warga RT. lima untuk menjadi imam di musholla Sabil al-Muttaqin. Maklumlah. Selain shalatku dinilai sempurna, track-record-ku tidak terlalu buruk. Paling-paling mereka mengenalku sebagai mantan maling. Tapi itu kan dulu. Dulu sekali. Sebelum aku bertaubat dan mengubah jalan hidupku tiga ratus enam puluh derajat.”
“Kau bangga?”
“Ya iyalah. Bagi orang seusiaku, hal itu patut dibanggakan. Apalagi, ya apalagi, aku merasa diuntungkan. Dengan diangkat sebagai imam baru, Yetti, anak Mbok Juminten, jatuh hati padaku. Ini namanya menyelam sambil minum air. Hahaha…”
Tanpa babibu, ular itu menghisap darahku. Dan….
***
Itulah sepotong ceritaku dari alam yang belum pernah kau jajaki, kawan. Alam yang menjadi loka mampir sementara bagi umat manusia sampai dibangkitkan—seperti halnya tumbuhnya tanaman baru—pada yaum al-qiyamah kelak. Ketahuilah! Bahwa di alam tersebut setiap penghuni berada di kolong dunia (masa lalu) sekaligus akhirat (masa depan). Hal yang barangkali akan membuatmu terheran-heran. Ya. Terheran-terheran sembari mencocokkannya dengan semua teori yang kaupelajari dari buku-buku anggitan kaum sarjana dan intelektual. Dan, jika tiada satu teori pun membenarkannya. Maka, aku sarankan untuk percaya saja. Itulah rahasia Tuhan, yang sampai ini hari aku juga masih penasaran.
Kini, aku tahu. Kesalahan paling telak bagiku yaitu terlalu bernafsu untuk bertemu maut. Aku tergiur dengan apa yang diobral mulut kiai sompret itu. Mumpung berkarib dengan kebaikan, aku ingin segera menjemput kematian. Pikirku. Dalam keyakinan sesatku, mati dalam kondisi demikian jelas tergolong husnul khatimah. Balasannya tiada lain tiada bukan adalah surga yang dipenuhi bidadari-bidadari cantik jelita, berusia muda, montok payudaranya serta padat pinggulnya.
Celakanya, keputusanku seratus persen salah. Tanpa berpikir panjang, aku memutuskan untuk mengakhiri masa aktifku di bumi. Padahal setiap yang bernyawa akan menjumpai mati. Dan, dalam hal ini (boleh disebut pengkhianatan), apa yang dilakukan Yetti bisa dibenarkan. Sengaja ia memuntahkan kembali apa yang terlanjur ia minum, seusai berikrar untuk mati bersama. Sedangkan aku langsung kelenger, setelah menelan pil jahanam perampas kehidupan. Yetti selamat. Adapun aku, seketika menjelma mayat.
Wahai kawan! Kalau memang cerita ini berguna, semoga menjadi pelajaran bagi semua. Untuk senantiasa menimbang sebelum melanting tindakan. Agar enggan gegabah dalam setiap perbuatan. Dan, barangkali cukuplah kisah ini sebagai peringatan bagi mereka yang kurang beriman. Yang hidup bergelimang kekurangwaspadaan. Atau sesiapa yang gemar meremehkan segala persoalan.
Sudah, sudah. Aku tak hendak memperlebar kalam. Yang jelas, hingga malam kedua saja, aku sudah terlampau sengsara. Entah siksa apa lagi yang akan kuterima di malam ketiga, keempat, kelima, serta malam-malam selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar