Gadis kecil berambut kepang dua itu diam. Menoleh ke kiri. Memperhatikan lalu lalang orang-orang di depannya. Sebenarnya, melihat mukanya yang lusuh, pantas ia kupanggil pengemis. Tapi, kurang tega aku menyebutnya demikian. Instingku mengatakan, ia tak akan rela jika label ‘pengemis’ melekat di tubuhnya.
Berjalan ke arah penjual es dawet. Tangan kanannya merogoh saku. Menggeleng. Dahi mengkerut. Nampak mengurungkan niat, kembali ia duduk ke tempat semula. Menghindari mimpi yang begitu dekat. Sepertinya, ia tak mungkin dapat menjangkaunya. Ya, menjangkau mimpi menggelontorkan minuman dingin berbahan santan dengan pewarna memikat, melewati pangkal tenggorokan.
Kantong permen bekas di belakangnya, ia pungut. Pura-pura membaca tulisan berwarna kuning yang mulai pudar. Berdiri. Kakinya beringsut, dua langkah. Mundur lagi. Sebongkah keraguan teronggok di sudut hatinya. Ia tancapkan pandang ke atas. Lampu beralih rupa. Hijau. Lagi-lagi, ia menuju trotoar, tempat ternyaman ia baringkan lelah.
Wajahnya mulai dibanjiri keringat. Ujung bajunya yang kumal dan berhias sejumlah tambalan, ia angkat. Perlahan, ia usap cairan asin yang merembes dari lubang-lubang mungil tubuhnya itu. Dan, tiba-tiba sepasang matanya tertusuk silau mobil hitam-mengkilat yang berhenti, dua meter darinya.
Ia mendongak.
Merah.
Tanpa ragu sedikit pun, ia mengajak kakinya bekerja. Menjemput belas dan kasih.
Kali ini, ia bersemangat. Mengetuk kaca mobil. Sopan. Tiga kali. Masih tertutup. Meskipun agak samar, anak itu mengerti bahwa di dalam kendaraan mewah terdapat seorang perempuan berlipstik tebal sedang asyik bercengkerama bersama lelaki jangkung di sampingnya. Tentu bukan sopir. Apalagi bodyguard. Lebih cocok kalau ia adalah suami, atau pacar, atau teman selingkuh, atau entahlah. Dan, hai! Lihatlah! Di kursi belakang, duduk anak perempuan seusia dengannya. Bermain boneka beruang raksasa dengan sesekali menjilati es krim bertabur cokelat.
***
“Dapat berapa, Raisa?”
Hening.
“Ditanya kok gak jawab. Apa kamu sudah bisu?”
Menunduk. Hanya gelengan kepala ia tunjukkan.
“Hah? Dari pagi gak dapat uang sama sekali. Dasar pemalas!”
Plakk!! Tamparan keras mendarat di pipinya. Ia tersungkur, tanpa berani menitihkan air mata. Sesuai pengalaman kemarin-kemarin, tangisan hanya bakal mengundang siksa yang lebih berat.
“Ingat! Hari ini jatah makanmu lenyap!”
Perempuan berbibir tipis itu meninggalkan Raisa, setelah kenyang memuntahkan amarah.
Bangun. Menyandarkan punggung ke dinding. Matanya menelisik keluar, dengan pandangan hampa. Raisa tak habis pikir, mengapa sering ia diperlakukan kasar. Kasar sekali. Sebab itulah, ia suka bertanya dalam hati, mengapa dulu ayahnya tega menyerahkan dirinya kepada perempuan yang kerap dibayangkan sebagai monster luar angkasa yang pernah ditonton di salah satu televisi swasta tersebut. Sampai sekarang, ia benar-benar belum paham, dalih apa yang mengantarnya harus bermukim bersama manusia yang enggan memperlihatkan rasa kemanusiaannya. Ia hanya tahu, selepas meninggalkannya—dengan berjanji suatu saat akan menjemputnya—, ayahnya menerima tiga lembar uang seratus ribu rupiah.
Mengamati jalan raya, seketika ingatannya terbang ke wajah anak perempuan yang tadi pagi ia dapati bermain boneka beruang raksasa di dalam mobil hitam-mengkilat. Ia membayangkan alangkah senangnya menjadi anak itu. Setiap hari bisa leluasa bermain, tanpa memusingkan berapa rupiah yang harus disetorkan. Paling-paling, yang menjadi beban pikirannya yaitu tugas sekolah. Itu pun dikerjakan dengan uluran bantuan kakak, atau paman, atau orang yang ditugaskan khusus untuk menemaninya belajar. Kini ia membayangkan, anak itu sedang duduk santai di restoran mahal. Melahap ayam goreng, didampingi orang-orang yang selalu menyayanginya. Ah, andai saja ia terlahir sebagai anak beruntung itu, pastilah ia bakal menghabiskan selusin paha ayam goreng, dalam satu malam. Emm, nikmatnya!
Brak!! Suara pintu dibanting.
“E, malah enak-enakan di situ. Baumu kayak bangkai tikus got, tahu? Sana! Mandi!”
Raisa menghirup nafas dalam-dalam, lalu menghempaskannya. Sebal.
***
Pagi sekali Raisa menggelesot di perempatan Jalan Diponegoro. Di kolong lampu merah. Wajahnya terlihat segar, berseri-seri. Tidak seperti biasanya, ia membawa dua kantong permen bekas sekaligus. Satu dipegangnya, satunya lagi diselipkan di celana.
Sebelum tidur semalam, dalam kepalanya tersusun rencana besar. Ya, hari ini ia akan menggayuh mimpi. Bukan sekadar mimpi menenggak dawet Cah Ayu yang dijual di sebelah toko buku, melainkan mimpi melumat es krim bertabur cokelat, atau mengeremus paha ayam goreng, atau jika memungkinkan, juga membelai dan mengelus boneka beruang raksasa. Ia bermaksud mewujudkan salah satu mimpi tersebut. Atau boleh jadi, jika Tuhan mengijinkan, ketiga-tiganya akan diraih. Meski terbilang kurang rasional, “apa salahnya dicoba”, batinnya berkata mantap.
Ketika isyarat datang, yaitu lampu merah menyala dengan garang, cepat-cepat ia sodorkan kantong kosong ke semua orang. Tak peduli. Dari yang bertampang preman hingga yang paling beriman. Entah mereka mengendarai mobil, motor, sepeda, atau bahkan yang berjalan kaki sekali pun. Padahal, sebelumnya, ia cenderung mengadakan seleksi terhadap siapa yang dimintai sumbangan. Tentu, ketika menemukan seseorang bermuka seram, atau yang di raut mukanya terpahat kerut-kerut penderitaan, ia lebih memilih kabur tunggang-langgang.
Setelah berulang kali mengetam berkah lampu merah, tepat jam dua belas siang, ia menemukan mobil hitam-mengkilat berhenti di depannya. Enggan mengulang kejadian kemarin (tiga kali mengetuk kaca mobil, namun tak direspon), sengaja ia menjauh.
“Dik, sini.”
Raisa membalikkan badan. Ia melihat orang berkepala pelontos memanggil sambil melambaikan tangan. O, ternyata itu bukan mobil kemarin. Ia masih ingat betul ciri-ciri lelaki yang sok dan malas membuka kaca mobil, untuk sekadar meminta maaf karena tidak bisa mengulurkan recehan. Hatinya lega.
Tanpa banyak berpikir, ia mendekat. Dan, “ayah….”
Lelaki itu terperanjat. Uang lima puluh ribu di genggamannya lekas disumpalkan ke kantong permen Raisa. Saking gugupnya, gas mobil langsung diinjak, menerobos lampu merah.
Raisa berusaha membandingkan wajah ayahnya tiga tahun terakhir dengan lelaki gundul yang memberinya uang terbesar dalam sejarah hidupnya. Sungguh, ia agak ragu ketika menyelorohkan kata ‘ayah’. Mengingat, dulu ayahnya gondrong dengan penampilan awut-awutan. Adapun lelaki yang baru saja ia lihat, sehelai rambut pun tiada menempel di kepalanya. Dan, yang penting lagi, lelaki itu memakai jaket kulit dengan bau harum menusuk.
Bingung merangkai dua gambar lelaki dalam kepalanya, ia pun memilih beristirahat di bawah pohon beringin, depan kantor polisi. Memeriksa kantongnya. Wow! Matanya berbinar saat menangkap selembar uang berwarna biru.
“Ini berarti, dua di antara beberapa mimpiku segera terwujud.” Batinnya mendesis.
***
“Es krim? Ayam goreng?”
Seolah kerasukan iblis, wanita itu bertubi-tubi mencambukkan ikat pinggang ke serata tubuh Raisa.
“Apa lagi? Hayo, ngaku!”
Sambil merintih, Raisa mengaku bahwa selain dua mimpinya itu, ia tidak membeli apa-apa lagi. Uang berjumlah lima belas ribu tiga ratus rupiah yang diserahkan adalah sisa dari semua jerih payahnya hari itu.
“Anak tidak tahu diuntung! Enak saja uang diboroskan buat hal-hal tak berguna. Uang yang kamu kumpulkan itu buat beli bedak dan gincu kalau kamu besar nanti.”
Raisa menggeliat. Sepertinya, ia tidak mampu lagi menahan rasa sakit yang menjalari ujung kaki hingga kepalanya.
“Kamu sudah jadi milikku. Jadi, aku bisa berbuat apa saja. Jangan harap ayahmu datang, mengambilmu dari sini. Asal kamu tahu, ya. Ayahmu itu kerjanya trafficking!”
Ha? Trafficking? Pikiran Raisa sibuk mencerna sebuah kata yang baginya sangat asing itu.
Yogyakarta, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar