Scule kembali ke Rebh seraya menundukkan kepala. Ia menganggap dirinya serupa makhluk hina-dina. Menghabisi nyawa lelaki yang menafkahinya sejak kecil merupakan perbuatan keji tiada duanya. Rasanya pantas, jika serata warga semesta menghunjamkan cacian serta mengalirkan makian untuknya.
Setiba di perkebunan Jooba, Scule urung memijakkan langkah ke rumah. Sungguh, beban berat tengah bergelantungan di dadanya. Dalam keadaan semisal itu, tidaklah mengherankan bila hasratnya mengajak mampir di gubuk Timmer.
“Wahai orang tua. Aku telah berulah nista. Apa yang sebaiknya kulakukan?.” Lidah Scule menerbitkan madah.
“Ada apa, anak muda?” Sahut Timmer tangkas.
“Tangan… Tangan ini tega membunuh orang paling kucintai setelah ibu dan kekasihku.”
Timmer memergoki jemari Scule berlumuran darah. Darah segar yang dipetik dari tubuh renta dan kusut. Darah merah—yang saking merahnya—ulung menenung saban bola netra yang memandangnya.
Suara Timmer melemah. Kini, ia bagai seekor rusa mencicipi panah pemburu liar. Untungnya, ia masih mengantongi kekuatan untuk menyembunyikan jatidiri. Andai tahu, tentu Scule malas mewartakan hal itu pada lelaki berumur hampir seabad tersebut. Lantaran buah kalam yang diluncurkan Scule, bayangan Timmer melompat ke masa 27 tahun silam. Masa dimana ia merawat janji buat Bonai. Timmer merasa gagal mewujudkan pesan sahibnya itu. Pesan yang diucapkan kala bertempur melawan pasukan Morame.
Selaku tetua kampung, Timmer terbiasa dimintai saran para penduduk dalam segala permasalahan. Ini kali, ia menyerah. Rasa malu yang sekonyong-konyong menyergapnya miskin sirna.
“Maaf, anak muda. Ini bukan bagianku. Anak yang tega menikam ayahnya laik menadah balasan. Pergilah menghadap Nycenae. Ia yang bertugas mengatasinya.”
Dengan pasti, Timmer berkelit.
***
Di sebuah malam yang mengigil, Timmer mematung di kolong pohon Toru. Perangkat memorinya dipadati dengan wajah Bonai. Timmer bernala-nala, kenapa tiada mampu ia menjauhkan urita rahasia dari telinga Scule. Meski bukan yang membocorkan, tetap saja ia merasa khilaf. Dan seperti yang Timmer cerna, ternyata jejaka berdagu pedang itu mafhum bahwa lelaki yang menaruh hati pada Holla, kekasihnya, adalah ayahnya sendiri.
Timmer mengerti, sesungguhnya ini adalah cinta segitiga antara Scule, Bonai, dan Holla. Pun menyadari bahwa Scule melambangkan pejantan yang hendak melakukan apa saja demi meluncurkan asmara. Guna menuang iktikad, Scule bernazar di gurun Jiuso: “barang siapa berani mengganggu kemesraanku dengan Holla, maka ia harus mati.” Nazar tersebutlah yang kelak hari dikenal orang-orang Rebh dengan nazar bagi Holla.
Apa yang diperbuat Scule adalah sebiji keniscayaan. Dalam adat Rebh, nazar tetaplah nazar. Seburuk apapun isinya, nazar mendapat tempat begitu mulia. Siapa saja mengingkari, ia bakal dikutuk habis-habisan oleh Gadelun, tokoh pendiri kebudayaan Rebh. Timmer memirsa, Scule hanyalah bujang yang bermaksud melangsungkan kewajiban. Tak lebih dari itu. Timmer juga tak punya daya untuk menyalahkan Bonai. Bagaimanapun, cinta itu anugerah. Perasaan yang membelit Bonai memang lumrah. Namun, yang patut disayangkan yakni mengapa perasaan itu jatuh pada perawan yang 13 bulan lagi menjelma menantunya. Pula dengan Holla. Puan dengan alis mengerucut dan mata berbinar-binar itu sekadar menelurkan keinginan sang bunda. Bunda yang kerap disakiti oleh Bonai semasa muda. Dengan menaklukkan Bonai, rasa sakit ibunya berkenan sedikit mencair. Rasa sakit yang dibayar dengan tumpahan darah Bonai.
***
Nycenae menangkap isyarat. Sesuai kesepakatannya dengan Timmer, orang yang ditangani berhak menjalani hukuman. Tepatnya, hukuman yang mustahil ditunaikan. Nycenae menyebutnya dengan tiga hukuman untuk Scule. Penerapan hukuman tersebut bertahap. Artinya, apabila si terhukum mampu melewati hukuman pertama, boleh ia mengenyam hukuman kedua. Jika hukuman kedua sanggup terlaksana, maka ia beralih ke hukuman ketiga, hukuman terakhirnya.
Hukuman pertama yang ditelan Scule yaitu membebaskan pohon Forghe dari debu musim panas. Sebagaimana dimaklumi, pohon Forghe sama sekali belum suah tampak, sejak Garnendos kecewa karena buah yang dipetik dari Forghe sangat asam. Padahal, ia menduga buah itu manis, sehingga dengan memakannya, mulutnya bisa lebih segar. Berdiam diri sepanjang 4 hari—demi menguji kekebalan otot—membuat bibirnya terasa pahit. Akhirnya, dililit amarah yang meluap-luap, ia menitahkan debu musim panas untuk menudungi rindangnya pohon Forghe.
Dalam memacu lagak, Scule—si banyak akal itu—membelokkan dua aliran sungai dan mengarahkan keduanya ke pohon Forghe. Dengan demikian, butiran debu yang menempel di cabang, ranting, serta daun pohon Forghe segera lenyap. Mo dan Neg; dua sungai yang rajin mengirim air bah dan menggenangi ladang-ladang petani itu melenyapkan debu dari pohon Forghe. Bagi keduanya, pekerjaan tersebut terlalu enteng.
Mencerap keperkasaan Scule, Nycenae tercekat. Baru kali itu ia mengamati sendiri aksi memukau pemuda penggandrung kase—minuman memabukkan tersusun dari sari gandum—itu. Mau tidak mau, ia terdesak mengakui kehebatan Scule. Ya. Tiadalah Scule anjing yang bila disuguhi pentungan langsung diam. Scule sosok keras kepala sekaligus lihai mengolah pikiran.
Hukuman kedua yang dilimpahkan pada Scule yaitu bermukim 9 hari bersama Minea, singa paling ditakuti orang Rebh. Sudah tak terhitung lagi makhluk yang lolos dari cengkeraman si kaki 8 dengan cakar mematikan itu. Manusia yang dicemplungkan ke kandang Minea, pastilah keluar tinggal nama. Nycenae yakin bahwa Scule bukanlah pengecualian. Sesakti dan setangguh apapun Scule, cocok ia menjadi menu santapan lezat bagi Minea. Dengan menanamnya di loka mengerikan tersebut, daging dan tulang Scule akan koyak-moyak diterkam Minea.
Pada malam bulan purnama, Scule dibuang ke kandang Minea lalu ditutup rapat. Jikalau orang tersebut bukan Scule, tentu ia meregang nyawa saat itu juga. Namun tidak dengan Scule. Itu malam, Minea meraung sedemikian rupa, sebagaimana layaknya waktu-waktu sebelumnya saat menemui sesosok manusia hinggap di pandangannya. Ganjilnya, Minea meraung bukan sebab kegirangan akan melahap Scule. Minea meraung tanpa meneteskan liur. Hewan berkulit belang itu meraung karena menikmati kehangatan yang ditawarkan Scule. Scule membelai bulunya dengan lembut lantas menciumnya. Sudah lama Minea kehilangan kehangatan itu. Dan kini, ia kembali menjumpainya setelah 8 tahun silam ibunya mati dihantam tombak Fohun, prajurit terkuat dari Yomush. Sebab itulah, Minea menabung dendam pada semua manusia, hingga mashur sebagai satwa terkejam yang gemar mencabik-cabik mangsa.
Malam ke 9, syak wasangka yang teronggok di otak Nycenae terpaksa berubah menjadi keheranan luar biasa. Dugaan bahwa Scule menjemput ajal dengan mengenaskan buru-buru luput. Selamat dari ancaman Minea mengindikasikan kehebatan manusia yang menghadapinya. Dan, hal itu berhasil dibuktikan Scule. Lebih menakjubkan lagi, Minea bersalin binatang penurut di bawah asuhan Scule.
Nycenae berang. Lolosnya Scule dari maut dinilai sekadar keberuntungan. Genap ia menyiapkan hukuman selanjutnya. “Kali ini, kau akan menyerah, Scule”. Gumamnya lirih.
Hukuman pungkasan bagi Scule yaitu mengusir kawanan tikus perusak kebun Liiyohh. Pholimeinem bukanlah sembarang tikus biasa; berbulu lebat, bergigi taring, bermata kucing. Jikalau menggigit, maka si korban lekas menarik napas penghabisan dalam tempo semalam. Mayatnya juga menerbitkan aroma busuk layaknya bau tikus itu sendiri. Ratusan pawang dikerahkan, namun semua kelabakan. Bahkan sebagian besar dari mereka rela mengetam akibatnya: berkalang tanah dengan bermandikan rimbun darah.
Scule mencoba bersikap tenang. Ia berencana memporakporandakan sarang tikus-tikus menjijikkan itu dengan bantuan Angin Barat kala matahari sedang terik-teriknya. Scule paham betul kelemahan musuhnya; sinar matahari. Benar. Dengan menyemprotkan sinar matahari pada tubuh mereka, niscaya kulit, daging, serta tulang mereka akan melepuh. Itulah mengapa kebun Liiyohh memperoleh serangan tikus-tikus itu saat malam bertandang.
Urusan ini tidaklah ringan. Mengapa? Sebab, bukan cuma nyawa Scule yang jadi taruhan. Jika tikus-tikus tersebut kurang berjaya dikeluarkan dari sarang di siang bolong, maka sisa-sisa tikus yang masih hidup bakal mengamuk dan melampiaskan murka ke seluruh penduduk.
Oleh dasar itulah, Scule melempar saran pada Angin Barat agar berhati-hati dalam melaksanakan amanat. Ia memperingatkan, waktu paling baik untuk beraksi adalah kala matahari tepat di atas kepala; usai terpekik auman macan dari arah utara. Angin Barat menurut. Sehabis menunggu waktu yang tepat, akhirnya ia lepas tiupan dahsyat ke sarang Pholimeinem sehingga semuanya menyembul. Dan, dalam sekejap, tikus-tikus itu terbakar tanpa sisa oleh tandukan sang surya.
***
Usai menuntaskan ketiga hukuman yang nian berat, Scule berkehendak meminang tambatan hatinya. Dalam benaknya, mestilah Holla semakin terpana mengendus keperkasaannya menundukkan ganjaran dari Nycenae. Dengan mencawiskan gaun indah berhias permata—cindera mata dari Volka selepas menyingkirkan gadis itu dari sengatan kalajengking raksasa, 3 karung emas pilihan dari kota Zioho, juga beberapa kuda perkasa peninggalan ayahnya, Scule bersambang ke rumah Holla. Walakin, alangkah terkejutnya, tatkala ia menyaksikan kediaman Holla kosong, sepi penghuni. Nyatanya, Holla beserta ibunya terlebih dahulu meninggalkan tanah Samerr dan menetap di gunung Xuure. Scule pun sadar, kalau cinta Holla pada dirinya bersifat sementara. Bukan cinta kekal-abadi sesuai yang ia idam-idamkan selama ini. Benar. Persembahan cinta Holla laksana pewarna kain dari daerah Toman: mudah sekali luntur—saat dendam ibunya tunai terlampiaskan.
Yogyakarta, 2011