Genap 200 tahun meletusnya
Gunung Tambora jatuh pada Sabtu, 11 April 2015. Tepatnya, pada 11 April 1815, 10
ribu orang lebih tewas akibat ledakan dahsyat dan aliran piroklastik dari
Tambora. Demikianlah di antaran secuplik gambaran dahsyatnya gunung berapi. Tak
heran jika laporan berjudul Global Vulcanic Hazard and Risk oleh Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB) menyatakan bahwa sejak tahun 1600, kematian akibat gunung
berapi mencapai 278 ribu orang. Dari data tersebut, kematian langsung akibat
letusan mencapai 58 persen, termasuk letusan Gunung Tambora (Koran Tempo, 12/04).
Peringatan dua abad
meletusnya Gunung Tambora di Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima belum lama ini menunjukkan
bahwa gunung tersebut memiliki urgensi dan arti tersendiri bagi sejarah
peradaban umat manusia. Tambora dianggap telah meletakkan dasar-dasar perubahan
kehidupan, sehingga manusia bisa lebih mudah menggapai kodratnya sebagai
makhluk modern sekaligus beradab.
Meskipun mewariskan isak
tangis dan duka mendalam, namun ternyata di balik dahsyatnya letusan stratovolcano
aktif di pulau Sumbawa tersebut tersimpan berkah dan manfaat tak terkira bagi
sejumlah kawasan. Dalam hal ini, Bali dan Eropa merupakan contoh representatif.
Ekonomi
dan Teknologi Transportasi
Ekspor budak merupakan
salah satu penopang ekonomi Bali pada permulaan abad ke-19. Tiap tahun, sekitar
2.000 orang dijual oleh para bangsawan. Ironisnya, kebutuhan akan koin-koin
tembaga, senjata, dan khususnya candu, yang dikonsumsi secara luas oleh
masyarakat Bali, dipenuhi dengan cara impor.
Meletusnya Gunung
Tambora, didukung oleh perkembangan politik dan ekologi, ternyata melahirkan
suatu transformasi ekonomi. Berdasarkan kronik MC. Ricklefs (2008), timbunan
abu Gunung Tambora segera mengakibatkan kesuburan tanah meningkat, sementara
Singapura, daerah jajahan Inggris, menjadi pasar ekspor Bali yang Baru.
Dalam dua dasawarsa,
Bali bersulih rupa dari sebuah negara pengekspor budak menjadi pengekspor hasil
bumi (khususnya beras, kopi, nila). Bukannya menjual rakyatnya, para raja Bali
justru membutukan mereka untuk menggarap lahan-lahan pertanian. Dengan
demikian, Sumber Daya Manusia (SDM) di Bali telah dimaksimalkan. Potensi
orang-orang Bali berhasil digali dan dimanfaatkan. Di samping sebagai
katalisator ekonomi, manusia berhasil diposisikan sebagai makhluk berkebudayaan
yang mampu menghasilkan cipta, rasa, dan karsa. Juga tidak kalah penting, ungkapan
“homo homini lupus” (manusia adalah
serigala bagi manusia lainnya) berangsur-angsur dihapuskan.
Di Eropa, letusan
Gunung Tambora yang menyemburkan berjuta-juta kubik materialnya ke langit memicu
hujan salju dan gagal panen. Orang-orang Barat menyebut tahun itu dengan “the year without summer” (tahun tanpa
musim panas). Cuaca yang buruk membuat transportasi yang biasanya mengandalkan
kuda menjadi kurang nyaman. Banyak kuda disembelih, bukan hanya karena manusia
tak memiliki cadangan makanan, melainkan juga karena langkanya makanan kuda.
Sistem transportasi
perlahan menjadi kacau. Orang-orang kebingungan untuk melakukan mobilisasi dari
satu tempat ke tempat lain. Rupanya keadaan ini melahirkan inspirasi bagi Karl
Drais. Ia mencoba menciptakan alat transportasi yang mendayagunakan tenaga
manusia. Bermodal eksperimen-eksperimen yang ditempuh, akhirnya ia berhasil membuat
alat sederhana beroda dua bernama draisine
yang berbahan kayu. Sebab tidak berpedal, seseorang bisa mengendarainya dengan
menjejakkan kaki ke tanah.
Sepeda sederhana ini
juga disebut hobby horse yang berarti
“kuda-kudaan”. Sebab, tujuan pembuatan alat ini yaitu untuk menggantikan kuda
sebagai sarana transportasi. Penemuan ini merupakan titik awal prinsip
keseimbangan sepeda modern, di mana hak patennya didaftarkan pada tahun 1818. Dengan
demikian, ilham dari ganasnya Tambora menjadikan karya Drais lebih revolusioner.
Pasalnya, tahun 1791 Comte de Sivrac hanya berhasil menemukan celeraifere, mesin tanpa penarik hewan yang
belum bersetir dan berpedal sehingga tidak bisa berbelok.
Munculnya Kesadaran
Literasi
Di samping transformasi
ekonomi dan perkembangan teknologi transportasi, kesadaran literasi juga
menjadi dampak positif dari meletusnya Gunung Tambora. Gunung, betapa pun menimbulkan
kekhawatiran, kecemasan dan ketakutan luar biasa bagi manusia, ternyata masih
memberikan keberuntungan. Sudah tak terhitung lagi berapa karya sastra/fiksi
yang lahir lantaran terinspirasi dari gunung. Imajinasi yang ditimbulkan dari
gunung menyebabkan sejumlah penulis dan sastrawan berupaya mengabadikannya. Sebut
saja dua novel mengagumkan, yaitu Gunung
Sukma karya Gao Xingjian (1990) dan Gunung
Kelima karangan Paulo Coelho (1998).
Karya sastra dalam
negeri berjibaku mengisahkan gunung. Peristiwa meletusnya Gunung Tambora diceritakan
dengan apik dalam Syair Kerajaan Bima
yang menurut perkiraan filolog Cambert Loir dikarang sebelum 1833 M, sebelum
Raja Bicara Abdul Nabi meletakkan jabatannya. Syair karangan Khatib Lukman
tahun 1830 M yang tertulis dalam huruf Jawi dengan bahasa Melayu tersebut menyibak
kabut sejarah yang meliputi kerajaan Bima.
Dalam syair itu disebutkan
peristiwa-peristiwa di Bima pertengahan abad ke-19, yaitu letusan Gunung
Tambora, pemakaman Sultan Abdul Hamid, serangan bajak laut, penobatan Sultan
Ismail, pelayaran Sultan Abdul Hamid ke Makasar, kontrak Bima, pelantikan Raja
Bicara Abdul Nabi, serta kunjungan H. Zollinger ke Sumbawa (Marwati DP dan
Nugroho N, 2008: 74).
Bahkan, belum lama ini,
Paox Iben Mudhaffar menulis novel setebal 301 halaman berjudul Tambora 1815
yang diluncurkan di Keraton Bima. Bagi pengarang kelahiran 08 Februari 1976
tersebut, pengarang ibarat penjahit yang menjahit serpihan sejarah dengan bahan
mentah berupa sejarah, budaya, dan arkeologi.
Sejumlah penulis luar menanggapi
imbas meletusnya Gunung Tambora dengan menulis karya fiksi dan non-fiksi. Lord
Byron, penyair Inggris, menulis sebuah puisi berjudul “Darkness”. Dalam
menggambarkan kegelapan di bumi dan kelaparan pasca letusan gunung dalam skala
tujuh pada Volcanic Explosivity Index tersebut, ia menulis: “I had a dream,
which was not all a dream. The bright sun was extinguished, and the stars. Did
wander darkling in the eternal space, Rayless, and pathless, and the icy earth.
Swung blind and blackening in the moonless air; Morn came and went—and came,
and brought no day”.
Adapun buku-buku non-fiksi
yang mencoba ‘mendaur ulang’ kisah gunung yang mampu menyebabkan perubahan
iklim dunia tersebut antara lain: Tambora:
A Killer Volcano from Indonesia (Kathy Furgang, 2005), Encyclopedia of Disasters: Environmental Catastrophes and Human
Tragedies (Angus Macleod Gunn, 2007) dan Travels to Sumbawa and the Mountain That Changed the World (Derek
Pugh, 2014).
Bojonegoro, 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar