“Buku yang dipenuhi kupu-kupu”. Barangkali, itulah kesan pembaca
kali pertama saat melahap buku kumpulan puisi Irma Agryanti bertajuk Requiem Ingatan (Komunitas Akar Pohon,
Juni, 2013). Bermodal kupu-kupu, Irma mengajak pembaca untuk sekadar
bernostalgia, merengkuh ingatan, atau bahkan menyembunyikan diri dari bengisnya
kehidupan.
Entah disadari atau
tidak, yang pasti Irma kerap memanfaatkan kupu-kupu dalam karyanya. Meskipun
adopsi kata merupakan hak preogratif sang penyair, akan tetapi sesungguhnya
pembacalah yang lebih berhak menentukan: adakah terhadap kata-kata, penyair
mampu menyampaikan pertanggungjawabannya?
Dalam konteks ini,
puisi Tamu dan Ke Arah Matahari merupakan contoh representatif, sehingga pembaca
dapat menilai apakah Irma hanya mengukuhkan makna usang atau berhasil melakukan
redefinisi (pemaknaan ulang).
Pada halaman 28, dalam
puisi Tamu tertulis:
dari
seberang sungai seekor kupu-kupu terbang
sebuah
perjamuan
jam
malam dan seikat bunga di atas meja
bersiap-siap
menghadap kedatangan
Dari potongan puisi di
atas, bisa diketahui bahwa Irma menggarap tema dengan cara mengolah mitos yang
genap beredar luas. Atas dasar itulah, Irma berada dalam posisi menguntungkan
sekaligus mengkhawatirkan. Bagaimana tidak, pilihan Irma sebagai sang kreator
mengindikasikan timbulnya dua sisi saling bertolak belakang.
Di satu sisi, Irma
tidak perlu bersusah payah menyodorkan simbol-simbol tertentu, sehingga tanpa
berkerut kening, pembaca sanggup menangkap makna kupu-kupu. Seolah
diperingatkan ‘alarm siaga’, Irma selalu waspada bahwa merekomendasikan hal
baru tidaklah semudah membalik telapak tangan. Alih-alih memberikan kesan
positif sebab berhasil menawarkan lambang baru, kecerobohan dalam hal ini kerap
melahirkan puisi gagal sebab kerangkanya tersusun atas metafora yang dangkal.
Di sisi lain, pembaca
tidak menerima provokasi atau bahkan sekadar impuls untuk melempar interpretasi
baru terhadap kupu-kupu. Boleh dibilang, antara penyair dan pembaca genap
bersepakat bahwa selamanya kupu-kupu mengandung imaji tamu. Akibatnya, selain
cenderung klise, ruang pemaknaan terhadap kupu-kupu menjadi terbatas. Padahal,
semakin melimpah pemaknaan, semakin besar peluang puisi untuk merentang
keberhasilan.
Untungnya, puisi Tamu terselamatkan dari stempel ‘puisi
buruk’, sebab Irma berhasil memberi kejutan pada frasa yang hadir belakangan:
seseorang
dari masa lalu, mungkin yang kelak,
atau
terlupa
Bagi pembaca yang
kritis, dua baris ini bukannya terbelit dalam makna seragam, melainkan justru menghadirkan
makna bercabang. Pertama, seseorang
di sini yaitu tamu yang sebelumnya telah dikabarkan oleh kupu-kupu. Jadi,
kupu-kupu berfungsi sebagai pertanda bahwa akan ada tamu yang datang. Dengan
demikian, antara kupu-kupu dan seseorang adalah dua makhluk berlainan.
Kedua, seseorang yang dimaksud adalah kupu-kupu
itu sendiri. Interpretasi terakhir inilah yang menaikkan ‘daya bargaining’
puisi, karena kupu-kupu hadir bukan melulu simbol akan tetapi sekaligus sebagai
bentuk dari simbol itu sendiri. Jadi, kupu-kupu dan seseorang adalah satu
makhluk dalam lain perwujudan.
Selanjutnya, dalam
puisi Ke Arah Matahari (halaman 55)
Irma menulis:
pandangannya
layuh ke daun mapel, ke lengang kamar, pintu dan jendela yang terbuka. betapa
leluasa hangat terpaan, menumbuhkan berkat januari. tapi arah hanyalah penanda.
setelah dadanya menjelma kupu-kupu, dan segalanya dilepaskan ke langit.
Dalam frasa setelah dadanya menjelma kupu-kupu, Irma
mencubit perhatian pembaca dengan metafora yang begitu lembut. Dada yang bagi
kebanyakan orang menjadi sarana penampung setiap kesedihan, kegelisahan,
kecemasan, juga keluh kesah justru dijelmakan dengan sesuatu yang indah:
kupu-kupu. Dengan demikian, ada semacam upaya yang sungguh-sungguh dalam
mengalihkan gejala kekhawatiran pembaca, dari yang semula turut merasakan
kegetiran yang berlarat, menjadi penghiburan yang berlipat. Meskipun terkesan
menimbulkan prasangka tentang adanya sikap ‘lari dari keadaan’, akan tetapi
Irma sanggup mengecoh dengan halus, sehingga meyakinkan pembaca agar percaya
bahwa tidak semua kecohan bersifat merugikan, melainkan dalam situasi tertentu,
justru mengulurkan kenikmatan.
Apa yang dilakukan Irma
merupakan upaya solutif guna merubah efek negatif menjadi energi positif. Beban
derita tidak mesti ditularkan agar pembaca tersengal sambil menenteng sapu
tangan.
Tidak sampai situ.
Dengan cara Irma menghadirkan kupu-kupu, niscaya apa yang menumpuk dalam dada
bisa segera diterbangkan. Tak ayal, puisi di atas dipungkasi dengan frasa dan segalanya
dilepaskan ke langit. Hal ini menguatkan kecurigaan atas sikap ‘lari dari
keadaan’ yang dimaksud sebelumnya. Bahkan, Irma sengaja menyelipkan frasa afirmatif
tersebut tiada lain agar pembaca turut menjadi saksi atas kemauan menggebu dari
ia (lirik) untuk menumpahkan segala permasalahan dengan cara membuangnya ke
langit.
Sebenarnya puisi Ke Arah Matahari sangat memungkinkan
ditulis dengan pola ‘open-ending’.
Jadi, bisa saja umpamanya Irma mengakhiri puisinya pada frasa dadanya menjelma kupu-kupu (tanpa
disertai kata setelah), dengan tujuan agar pembaca sendiri yang
memberikan interpretasi mengapa penyair menyematkan kata ‘kupu-kupu’. Berbekal penanda yang tersedia, bukan merupakan hal
sulit bagi pembaca untuk menyimpulkan bahwa kupu-kupu merupakan simbol
penyelamat keadaan. Kupu-kupu dihadirkan guna mencampakkan kesengsaraan ke loka
mana pun yang ia kehendaki. Tetapi, nyatanya, Irma lebih suka melengkapi dengan
frasa lain, tanpa menyimpan niatan ‘mencampuri urusan’ pembaca lebih jauh.
Namun demikian, karya
anggitan Irma tidak tanpa cela. Puisi Anjing
Api Artupudnis (halaman 44), misalnya. Dalam puisi tersebut, kupu-kupu
sekadar menjadi tempelan. Lebih jelasnya, bisa disimak potongan puisi yang
dimaksud.
seberapa
keras ia menggonggong
lapar
menyusu, haus berburu
seberapa
jauh ia berjalan
menyisir
kupu-kupu
Kesan atas puisi ini
yaitu penyair sama sekali tidak memiliki ikhtiar untuk mengeksplorasi kupu-kupu
lebih dalam. Alih-alih melakukan pemberdayaan, kupu-kupu hadir sebagai bentuk
kesewenangan penyair. Atas dasar hasrat belaka, penyair sesuka hati
memperlakukan kata-kata. Barang tentu hal ini sangat mengkhawatirkan. Sebab,
dalam taraf tertentu, seorang penyair rentan terjebak dalam peristiwa
‘orgasme-puisi’, ketika hanya mengutamakan klimaks bercinta (dengan kata-kata),
tanpa mendermakan kepuasan bagi pembaca.
Meskipun demikian,
pembaca tidak lantas merasa pesimis dengan puisi Anjing Api Artupudnis. Sebab, masih tersisa dua puisi lain yang
tergolong cukup menjanjikan, semisal: Aku
Mengingatmu Sepanjang Jalan Tanjung Karang (halaman 27) dan Aku Membayangkan Sajakmu (halaman 42).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar