Membuka jendela, Prita
meloncat keluar. Ia ingin menghindari perkawinannya dengan Aldo yang
direncanakan besok malam. Bagaimana pun juga, mengabadikan ikatan cinta dengan
lelaki penyejuk hatinya selama empat tahun tersebut merupakan impian yang sebentar
lagi menjelma kenyataan. Juga bencana paling besar yang akan menimpanya.
Bencana paling besar?
Benar. Di satu sisi,
menikah dengan lelaki yang sangat dicintai pastilah menghadirkan kegembiraan
luar biasa. Akan tetapi, di sisi lain, juga menghibahkan penderitaan
berlarat-larat. Prita menyadari bahwa rasa cintanya kepada Aldo ibarat surya,
tak pernah lelah mengirim butir-butir cahaya ke hamparan semesta. Begitu pula sebaliknya.
Aldo mencintai Prita begitu tulus, bak biru samudra yang selalu memesona, meski
ribuan tahun ditampar gelombang.
Besarnya cinta Prita
dan tulusnya hati Aldo merupakan dua kekuatan dahsyat, yang apabila digabungkan
nantinya melahirkan kesetiaan. Kesetiaan yang tiada lagi diragukan kualitas dan
kuantitasnya. Kesetiaan yang dapat membimbing rumah tangga menuju keluarga yang
makmur dan sejahtera. Namun, dengan kekuatan tersebut, Prita justru
mengkhawatirkan munculnya ketidaksiapan menghadapi perpisahan. Jikalau diberi
tawaran, ia lebih memilih digergaji lehernya daripada harus berpisah dengan
orang yang telah memberi kehangatan dalam hidupnya.
Prita meyakini bahwa
derita perpisahan melebihi rasa sakit yang dibawa tumor paling ganas sekalipun.
Oleh sebab itulah, sekuat tenaga ia berusaha untuk menyingkirkan tubuhnya dari
aroma perpisahan. Sedini mungkin.
***
“Bagaimana, anak kita, Ma.?”
“Entahlah, Pa.” Mata Bu
Ineke menerawang ke luar. Lantas dengan bibir bergetar, ia melanjutkan, “dari
tadi, orang-orang yang kita tugaskan mencarinya selalu bilang kalau Prita belum
ditemukan.”
“Sabar ya, Ma.”
“Iya… Tapi bagaimana
dengan reaksi besan dan para undangan nanti malam, Pa?”
“Itulah masalahnya.
Dari tadi Papa juga cemas, Ma.”
“Aku tak habis pikir….”
Ini kali suara Bu Ineke tampak berat. Sangat berat. Sepertinya pita suaranya terikat
dari dalam. Beberapa detik mengumpulkan kekuatan, ia menyambung kalimat yang sempat
terputus, “mengapa Prita bisa senekat itu. Padahal, ia kan cinta mati pada Aldo.”
“Ah, itu perkiraan mama saja. Bisa jadi….”
“Bisa jadi apa, Pa?” Suara
Bu Ineke melengking tinggi. Darahnya mulai memanjat ubun-ubun.
“Bisa jadi Prita gak suka Aldo.”
“Papa ini memang gak pernah mau mengerti perasaan
anaknya. Setiap hari cuma sibuk dengan urusan kantor. Prita benar-benar
mencintai Aldo, Pa!”
Menutup katup mulutnya,
Bu Ineke meninggalkan ruang tamu. Sepasang pipinya banjir oleh air mata.
Pak Kelvin merasa bersalah.
Sungguh. Seharusnya ia menghalau lidahnya untuk berkata demikian. Seharusnya ia
memeluk sang istri, mengusap rambutnya, sambil mengingatkan untuk terus membaca
istighfar.
***
“Bagaimana tidurnya semalam,
Prit. Nyenyak?”
“Wah, aku gak bisa Tidur, Ren.”
“Kamu pasti memikirkan
acara perkawinanmu nanti malam.”
“Hooh, Ren.”
Bagi Prita, Reni adalah
sahabat terbaik yang ia punya. Seperti memiliki indra keenam, perempuan yang
duduk sebangku di SMA dengannya tersebut tidak pernah keliru saat menebak isi
hatinya.
“Sudahlah, Prit. Tiada
guna kau bersembunyi seperti ini. Menjauhkan diri dari realitas bukanlah solusi
terbaik. Lagi pula, perpisahan memang diciptakan mengiringi pertemuan. Sebagaimana
kematian yang hadir setelah kehidupan. Bukankah dulu Ustadz Furqan mengatakan
demikian?”
“Terus, aku harus
bagaimana?”
“Pulanglah, Prit. Papa
dan mamamu sudah menunggu. Kasihan mereka.”
“Gak mau. Aku di sini saja!”
“Ayolah. Itu sama saja
dengan menyakiti perasaan banyak orang. Ingat, Prit. Kalau perkawinanmu batal,
yang sakit hati bukan cuma Aldo dan calon mertuamu. Tapi, juga semua tamu yang
hadir.”
Diam, Prita memandangi
Reni. Ia membenarkan perkataan sahabatnya. Tapi, pikirannya belum bisa bersepakat
dengan satu kata, perpisahan.
“Kau harus menunjukkan
bahwa Prita adalah perempuan yang gigih. Bukan cengeng dan ringkih.”
Prita masih saja diam.
“Apa perlu aku
mengantarmu sekarang?”
Segesit kilat, Prita
menjawab, “aku mau pulang. Tapi, ada syaratnya.”
***
“Hei, itu Prita datang,
Pa!”
Tergopoh-gopoh, Bu
Ineke berlari ke teras. Ia bermaksud meminta maaf, jika penyebab kabur Prita,
putri satu-satunya itu, adalah dirinya. Adapun Pak Kelvin, hanya mengenakan kaos
dalam, membuntuti dari belakang.
Di luar dugaan, rupanya
perkiraan keduanya meleset. Ternyata perempuan yang berdiri di depan rumah
adalah Reni. Bajunya mirip sekali dengan baju yang dipakai Prita sewaktu
melarikan diri dari rumah. Bulir-bulir kekecewaan menghinggapi raut muka Bu
Ineke dan suaminya.
Menguatkan diri agar
tidak jatuh lunglai, atau bahkan pingsan, Bu Ineke segera menghampiri Reni.
Kemudian tanpa basa-basi, perempuan paruh baya tersebut langsung bersoal
mengenai keberadaan Prita.
“Nak Reni. Tahu di mana
Prita sekarang? Semalam ia kabur dari rumah. Padahal, Nak Reni tahu sendiri,
kalau hari ini adalah hari perkawinannya.”
Belum ada isyarat bahwa
Reni akan menjawab, Bu Ineke melanjutkan, “apa Prita belum siap ya?”
“Sudah siap kok. Ibu gak perlu khawatir. Itu, anaknya ada di mobil.”
Prita keluar dengan
menyunggingkan senyum.
Bu Ineke terheran-heran,
melihat Prita muncul dengan baju merah tua bermotif bunga mawar. Rasanya, Prita
belum pernah memakai baju itu sebelumnya. Sama sekali belum pernah.
Berpikir beberapa jenak,
Bu Ineke baru ingat, bahwa sebulan lalu, Reni pernah menghadiri pesta ulang
tahun Prita dengan baju indah itu. Ya, baju yang kini menempel di tubuh anak kesayangannya
itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar