Pemerintah Provinsi
(Pemprov) DKI Jakarta sedang fokus menata permukiman kumuh. Tentu hal ini
segaris dengan keputusan pemerintah pusat yang menargetkan Indonesia bebas
permukiman kumuh pada 2019. Saat ini, luas kawasan kumuh sekitar 38.431 hektar.
Ironisnya, pelayanan kota urung menyentuhnya, baik sarana bermain, fasilitas
kesehatan, air minum, listrik, sistem pembuangan sampah, maupun fasilitas
pelayanan mandi, cuci, kakus (MCK).
Munculnya permukiman
kumuh di perkotaan tentu menjadi penghambat bagi pertumbuhan psikologis anak.
Kawasan kumuh hanya akan membuat ruang dan waktu bermain mereka terganggu. Padahal,
anak-anak bisa tumbuh dengan sempurna jika diberi kesempatan yang cukup untuk
menikmati dunia mereka. Betapa sejak kecil, keriangan dan kegembiraan mereka
kerap terampas oleh beragam kepentingan. Sistem kapitalistik telah membuka
ruang yang demikian lebar, sehingga gejala-gejala kekerasan psikis dan sosial
terhadap anak-anak semakin mudah ditemukan.
Berdasarkan konsep
demokrasi, pemerintah dituntut berperan aktif dalam menjaga ruang publik yang
sehat dengan menghormati kebebasan anak-anak dan tidak membiarkan mereka
terombang-ambing dalam permainan politik identitas. Sayangnya, pemerintah tak mempunyai
taring untuk menghentikan berbagai perilaku yang merusak mental generasi muda.
Berbagai produk hukum terbukti kurang efektif menggawangi masa depan mereka.
Dalam dunia anak-anak,
bermain bukanlah sebuah kegiatan sia-sia yang menghabiskan waktu. Melalui
bermain, mereka dapat belajar berekspresi, meningkatkan kecerdasan emosi,
mengembangkan daya kreativitas, memupuk kepercayaan diri, serta mengatrol
antusiasme belajar. Hal yang tidak kalah penting, pergaulan sosial mereka bisa terbangun
sejak dini. Bagaimanapun, bermain dapat melatih anak-anak bersosialisasi, di
mana perbedaan identitas kultural tidak menjadi prasyarat berteman. Dengan
bermain, anak-anak dapat memperjuangkan semangat kolektivitas yang ditopang
oleh rasa cinta, empati, kerja sama dan toleransi. Dengan demikian, keterampilan
sosial dan tanggung jawab sosial dapat terasah dengan baik.
Lingkungan kumuh
menjadi ancaman bagi anak-anak dalam mempelajari dan memaknai kehidupan.
Lingkungan kotor, anti-sehat, dan kurang menyenangkan menjadi batu sandungan
bagi mereka yang ingin mengembangkan potensi. Padahal, lingkungan salah satu pendukung
proses pembelajaran anak yang meliputi bermain, berekspresi, berinovasi, serta
bereksperimentasi. Lingkungan merupakan wahana bagi anak-anak untuk mampu berpikir
merdeka dan kreatif. Adanya permukiman kumuh di perkotaan menunjukkan bahwa
perlindungan terhadap anak-anak kurang terpenuhi. Kebebasan mereka mengekspresikan
diri kurang mendapat porsi. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah belum mampu
menciptakan mekanisme pengamanan dalam rangka menjamin anak-anak supaya
terbebas dari berbagai bentuk kezaliman.
Selama ini, anak-anak
dianggap sebagai aset dan komoditas empuk. Barang tentu persepsi seperti ini berpotensi
mereduksi hak anak-anak. Segala macam bentuk diskriminasi dihalalkan, asal
mendatangkan keuntungan politis, sosial, serta finansial. Potret hitam masa
depan anak-anak di negeri ini terekam jelas dari ragam kekerasan yang menimpa
mereka. Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (Komnas Anak) membeberkan
bahwa sepanjang 2010-2014, jumlah kekerasan terhadap anak cenderung signifikan.
Berdasarkan pusat data dan informasi (Pusdatin) Komnas Anak, terdapat
21.689.797 kasus pelanggaran anak yang tersebar di 34 provinsi dan 179 kabupaten/kota.
Boleh dibilang, data
ini menunjukkan gagalnya pemerintah, masyarakat, serta orang tua melindungi
serta menghargai hak anak-anak Indonesia. Padahal, pemerintah telah
meratifikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of the Child)
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.
Konvensi tersebut seharusnya menjadi pijakan awal dalam mewujudkan proses
pembelajaran berbasis hak anak (child
rights-based approach of education). Termasuk juga melindungi anak-anak
dari kekerasan fisik, mental, dan seksual. UU No 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak (UUPA) sebenarnya melarang setiap orang membiarkan anak-anak
tanpa perlindungan. Apa pun alasannya, mereka tidak boleh ditelantarkan.
Semangat utama konvensi dan regulasi ini mengandung upaya penyadaran dan
peringatan bagi siapa saja untuk mengutamakan kepentingan anak-anak.
Hak Hidup
Sesungguhnya anak-anak
dibekali dengan hak hidup, bertahan, serta mengembangkan diri. Anak-anak
membutuhkan lingkungan yang menghargai eksistensi mereka dan menjamin
pengembangan diri mereka secara holistik. Perkembangan anak-anak ditopang oleh iklim
dan ekosistem yang kondusif. Dengan lingkungan yang bersih dan sehat, potensi
mereka bisa dikembangkan secara dinamis.
Masih banyak anak di permukiman
kumuh yang belum sepenuhnya menikmati hak-hak fundamental mereka. Beragam
ketimpangan dan kepentingan justru menyudutkan mereka sebagai “anak tiri” di
negeri sendiri. Menanggapi fenomena ini, harus ada ikhtiar serius mengembangkan
mekanisme penyelamatan anak-anak.
Baik pemerintah,
masyarakat, maupun orang tua, dituntut mampu menjamin kesempatan yang sama bagi
setiap anak untuk menikmati hak-hak mereka dengan leluasa. Penghormatan atas
martabat mereka salah satu indikator utama negara dinyatakan sehat. Kasus-kasus
pelanggaran hak anak selayaknya direspons secara proporsional, sehingga
anak-anak terhindar dari segala bentuk tindak kekerasan (child abuse) dan diskriminasi.
Pemerintah dituntut
bersikap responsif, berpikir inovatif, dan bertindak kreatif dalam meningkatkan
kualitas hidup masyarakat di lingkungan permukimah kumuh. Pemerintah harus
membangun infrastruktur dan reproduksi sosial bagi anak-anak, seperti fasilitas
pengasuhan, crisis centre dan shelter, pusat kesehatan, air bersih, subsidi
pangan bergizi dan energi, serta lingkungan huni sehat. Pemerintah bisa
menggandeng swasta dalam memperbaiki permukiman kumuh melalui program-program
CSR perusahaan yang mengemban misi sosial.