Diberitakan, puluhan pelajar
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) terlibat tawuran di Sukabumi, Jawa Barat. Penyebab
bentrokan tersebut belum diketahui, namun seorang pelajar terluka di bagian
wajahnya. Diduga, tawuran tersebut direncanakan beberapa hari sebelumnya. Belasan
pelajar dari salah satu sekolah menggunakan kendaraan roda dua memenuhi
terminal Lembursitu. Beberapa saat kemudian, muncul gerombolan pelajar dari
sekolah lain.
Rasanya di negeri ini,
sudah tidak asing lagi berita mengenai insiden kekerasan oleh para pelajar.
Kekerasan seolah menjadi berita biasa bagi warga negara. Kekerasan menjadi menu
isu sehari-hari bagi siapa saja. Sepertinya tiada lagi jalan lain yang bisa
ditempuh selain melalui jalan kekerasan. Kekerasan menjadi salah satu cara terbaik
guna menyelesaikan persoalan. Apabila hal ini dibiarkan, maka tak ayal akan
terjadi kekerasan-kekerasan serupa, bahkan lebih parah, yang menjalar pada
beragam aspek kehidupan.
Data Komisi Nasional
Perlindungan Anak menyebutkan bahwa jumlah kekerasan antar pelajar meningkat
tiap tahunnya. Tahun 2014 lalu, terdapat 2.737 kasus dengan kenaikan 10 persen
dibanding tahun sebelumnya. Tahun 2015 ini, angka kekerasan dengan pelaku
anak-anak, termasuk tawuran antar pelajar, diprediksi meningkat sekitar 12-18
persen. Angka kasus tawuran yang terus melonjak dikhawatirkan dapat menjadikan
tawuran sebagai trend baru bagi para pelajar. Tawuran bukan dipandang lagi
sebagai aksi kekerasan yang sangat membahayakan, melainkan gaya hidup yang
layak dicoba.
Beberapa
Sebab
Para pakar sosial,
mengutip Musni Umar, mengemukakan bahwa tawuran pelajar memiliki beberapa
sebab. Di antaranya yaitu karena lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat
yang kurang sehat. Ketiga lingkungan ini berandil besar dalam membentuk
karakter pelajar. Sebaik apapun lingkungan sekolah, kalau tidak didukung
keharmonisan dalam keluarga maupun masyarakat, tentu akan melahirkan dampak
negatif. Begitu juga dengan ketidaknyamanan yang dirasakan ketika pelajar
berada di sekolah. Hal inilah yang memicu mereka untuk meluapkan kekesalan
mereka. Celakanya, jika mereka memilih tawuran sebagai jalan merealisasikan
luapan kekesalan tersebut.
Di samping ketiga
lingkungan di atas, faktor lingkungan sosial, ekonomi dan politik juga sangat
berpengaruh. Saat para pelajar hidup dan bergaul dalam lingkungan yang kurang
mampu memberikan kedamaian, ketenangan serta harapan, mereka mudah mengalami
depresi dan stres. Dalam hiruk-pikuk kehidupan sosial, ekonomi dan politik
Indonesia yang tak menentu, kalangan pelajar bisa menjadi korban. Mereka
terbawa arus ketegangan, kegaduhan, dan kekurangramahan. Guna menghilangkan
gangguan perasaan jiwa tersebut mereka melampiaskannya antara lain dengan
tawuran.
Yang menjadi
keprihatinan yaitu pelajar pelaku atau korban tawuran justru disalahkan dan
menjadi bahan gunjingan, sehingga mereka merasa tertekan. Para orang tua, pihak
pendidik, ataupun anggota masyarakat menilai bahwa tawuran merupakan kesalahan
murni yang telah mereka lakukan. Padahal, bila ditelisik lebih dalam,
terjadinya tawuran tak boleh dilepaskan begitu saja dari faktor eksternal yang
ada. Inilah yang menjadikan kasus tawuran tidak memperoleh tindak lanjut yang
memadai.
Penyakit
Sosial
Fenomena tawuran para
pelajar mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia sedang didera penyakit
sosial yang akut. Penyakit yang apabila tidak segera ditangani akan menyebabkan
hilangnya jati diri. Oleh karena itu, ada dua langkah yang perlu diemban. Pertama. Melahirkan sosok inspirator.
Para pelajar membutuhkan suri teladan dalam menelusuri kehidupan. Orang tua,
guru, tokoh masyarakat, serta public
figure harus mampu memberikan contoh yang patut ditiru oleh mereka. Bukan
kekerasan yang seringkali ditampilkan, semisal tindakan guru menghukum anak
didiknya terlalu berlebihan atau kericuhan anggota DPR dalam persidangan.
Kedua.
Menanamkan rasa cinta kepada sesama. Para pelajar diberikan pengertian tentang
pentingnya arti cinta. Cinta di sini bukanlah cinta dalam arti sempit, yang justru
kerap disalahgunakan. Dalam istilah Erich Fromm disebut “cinta produktif”, sebuah
cinta yang memberi ruang kebebasan, penghormatan bagi yang dicintainya tanpa
ada penindasan ataupun penjajahan. Hal ini diperlukan kerjasama semua pihak
untuk mewujudkannya. Di antaranya, pihak kepolisian mendatangkan psikolog untuk
memberikan pengarahan kepada para pelajar yang terlibat tawuran.
Dengan langkah
tersebut, diharapkan fenomena tawuran antar pelajar di negeri ini secara
berangsur-angsur bisa dihilangkan. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar