Judul:
Cuilan
Penulis:
Bandung Mawardi
Terbit:
September 2015
Penerbit:
Bilik Literasi Solo
Tebal:
60 halaman
“Menulis dengan wagu
dan lugu”. Barangkali itulah slogan yang selama ini menghidupi dan dihidupi Bandung
Mawardi, esais moncer yang tulisan-tulisannya kerap menghiasi media massa lokal
dan nasional.
Di tangannya, beragam
tema digarap dengan serius, kritis, tanpa berpretensi menggurui. Ia seakan
memiliki insting untuk menghormati dan menghargai pembaca yang enggan “didikte”.
Produktivitas Bandung
seakan tiada habisnya. Boleh dibilang, ia adalah generasi penulis yang mengawat
erat prinsip kepenulisan dengan segala suka dan dukanya. Dengan teguh, ia membangkitkan
budaya literal yang pernah menjadi nafas kebangkitan nasional.
Hingga detik ini, ia
mengelola Pawon, komunitas sastra yang bertujuan menjaga spirit sastra dan
menjadikannya sarana komunikasi massa. Dalam sebuah perbincangan, pendiri
Sekolah Bahasa Indonesia di Kediri ini bertutur, “kami ingin memasyarakatkan
sastra dan menyastrakan masyarakat. Ini memang terdengar memaksa, tetapi
sebenarnya hal ini memang kami anggap perlu.”
Ia juga terlibat di Jagat
Abjad, komunitas partikelir-nirlaba yang melahirkan karya-karya bernas dan
berkualitas. Bisa jadi, ia menduplikasi konsep dan corak budaya literal yang menjadi akar gerakan kebangsaan para pelopor
kebangkitan dan kemerdekaan, mulai dari Soekarno, Sjahrir, hingga Tan Malaka.
10 esai dalam buku ini
mengukuhkan, Bandung adalah aktivis literasi yang getol memperjuangkan nasib aksara.
Dari jejak karyanya, dapat dilacak bahwa ia termasuk pegiat sekaligus penulis yang
berhasrat memuliakan aksara. Menghindar dari kesan heroik, bahasanya lembut dan
“tidak meledak-ledak”. Tulisannya kerap memanfaatkan kehalusan bahasa, agar bisa
dinikmati semua kalangan.
Bandung sanggup menulis
dalam terminologi ekonomi, politik, hukum, sosial, sejarah, dan budaya dengan
apik dan menarik. Esai “Beras” mengisahkan penjajahan yang begitu
menyengsarakan.
Saat beras sedang
langka, rakyat dipaksa menyetorkan beras ke Jepang. Menahan lapar, rakyat
diwajibkan menopang kebutuhan pangan para tentara sebelum bertempur di medan
perang. Ketika India mengalami krisis pangan, Soekarno menerapkan “politik
beras” dengan mengajak rakyat mengumpulkan beras demi menghapus penderitaan.
Di kaca mata dunia, kebijakan
ini turut mengukuhkan penghormatan atas kedaulatan Indonesia. Akan tetapi, pada
masa 1960-an, Soekarno tak sanggup menjamin ketersediaan beras bagi jutaan
orang. Kelaparan ternyata mampu merapuhkan kekuasaan. Meski presiden pertama RI
tersebut sanggup menggaungkan revolusi, beras justru tercecer. (halaman 40-41).
Dalam esai “Tanda
Tangan”, Bandung berpandangan bahwa sejarah negeri ini bermula dari tanda
tangan. Orang-orang Eropa memerintah pribumi membuat tanda tangan di atas
kertas demi pemenuhan hasrat kolonialisme dan kapitalisme. Betapa tanda tangan
memainkan peranan penting dalam kesepakatan berkekuatan hukum dan politis. (halaman
13).
Ia bisa mengangkat hal-hal
tabu dengan kesan wagu dan lugu. Esai “Nisan” menyebutkan, adanya nisan para
penggerak politik kebangsaan mengandung seruan merenungi ide dan imajinasi
Indonesia. Di kuburan massal korban G30S/PKI, rakyat diajak untuk bersama-sama
membuka tabir misteri.
Pemasangan nisan
merupakan ikhtiar penghormatan jenazah. Mengunjungi kuburan berarti ziarah
bersejarah, di mana nisan berfungsi sebagai tanda dan tata ingatan. (halaman
9-10).
Dengan analisis
mendalam, tulisannya tentu memuaskan kaum intelektual dan kalangan akademis. Apalagi,
ia memanfaatkan referensi terpercaya karya pakar-pakar ternama, semisal Cindy
Adams, R. Sasrasoeganda, Robert van Niel, Max Karundeng, Rm. S. Tri Tjondrokusumo,
Robert Adhi, Lambert Giebels, Alfred Wallace, Thomas Stamford Raffles, Rudolf
Mrazek, juga Harriet W. Ponder.
Yang membedakan Bandung
dengan penulis lain adalah ketelatenannya memungut sejumlah arsip “tempo
doeloe”. Dalam esai “Kantor”, ia mengutip harian Medan Prijaji edisi
Sabtu, 5 Februari 1910.
Barang tentu di samping
memperkuat data, arsip-arsip lama mendatangkan semacam klangenan masa silam. Berbekal
kliping koran, majalah, serta buku usang, Bandung sanggup menghidangkan
nostalgia bagi pembaca.
Apa yang dilakukan
Bandung menyimpan etos literasi yang mencerahkan kehidupan. Tulisan-tulisannya
mengandung ruh perlawanan terhadap menjamurnya budaya
pop (popular culture) yang cenderung simbolis, atributif, materialistis,
juga serba-artifisial. Bundel esai dalam buku ini mencoba merespons pesatnya peradaban
maya (illusion). Generasi masa kini lebih gemar berselancar di jejaring
sosial sebagai ajang rekreasi, ekstase, dan selfie ketimbang menikmati
sebuah buku. Mengakrabkan diri dengan buku seolah menjadi tindakan asketis yang
dihindari oleh kaum modern.
Sayangnya, kenikmatan
pembaca harus terganggu saat menemukan beberapa halaman yang “kurang edit”, antara
lain 12, 16, 19, 30, 31, 38, dan 55. Namun demikian, hal ini tak lantas mendegradasi
Bandung dari jajaran esais yang berkontribusi besar mendorong pertumbuhan literasi
di negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar