Anak-anak desa masa
kini mendapat julukan ”yatim piatu sosial”—meminjam istilah Lies Marcoes.
Mereka memiliki orang tua, tetapi dilepas begitu saja guna melaksanakan
tanggung jawab yang begitu berat. Bekerja dan berhubungan seksual adalah
tugas-tugas yang jauh melampaui usia mereka.
Bagaimana tidak. Himpitan
ekonomi membuat anak-anak berjibaku membantu orang tua saat mereka belum siap
melakukannya. Konsekuensinya, hilangnya keceriaan masa kanak. Secara sengaja ataupun
tidak, mereka telah menceburkan diri dalam riak kehidupan orang tua. Memang ada
kalanya anak-anak bekerja atas kehendak sendiri. Tetapi, cakrawala berpikir demikian
mewakili cakrawala berpikir masyarakat yang cenderung mengutamakan kehidupan
sekarang dengan mempertaruhkan seluruh masa depan.
Dalam sejumlah kasus, orang
tua tega menjual anak demi memenuhi kebutuhan dan membayar utangnya. Akibat
godaan konsumerisme materialistis dan rasionalisme sekularistis, orang tua rela
menukar buah hati dengan uang tak seberapa. Di usia yang masih belia, anak-anak
terpaksa memenuhi hasrat orang tua dengan mengorbankan harga diri. Orang-orang
yang sudah sukses di kota menjemput anak-anak perempuan di desa untuk kemudian
dipekerjakan sebagai penghibur di bar, kafe, dan warung remang-remang.
Saat kembali ke desa, mereka
terlihat modis, seksi, dengan gadget canggih. Gaya hidup urban telah mempengaruhi
pola pikir, tindak-tanduk, dan kebiasaan mereka sehari-hari. Derasnya arus
modernisme di perkotaan secara perlahan mengikis prinsip kehidupan tradisional yang
mereka akrabi sejak lahir. Dari sisi fisik, mereka terlihat berbahagia. Namun,
sisi batin menunjukkan penderitaan berlarat, sebab ada yang raib dari diri
mereka.
Celakanya, realitas di
atas tidak mampu dibendung oleh adat yang ribuan tahun terbukti menyelamatkan
desa dari kehancuran. Saat ini, fungsi adat justru menjadi kekuatan penekan
demi menjaga harga diri perkauman sebagai satu-satunya benteng pertahanan orang-orang
desa.
Sumber-sumber
perlindungan, penghidupan, dan dukungan sosial yang dimiliki anak-anak desa sedikit
demi sedikit berkurang. Di satu pihak, perubahan ruang hidup menghasilkan
kekayaan melimpah, namun di pihak lain juga membelokkan hubungan-hubungan
sosial ke arah hubungan eksploitatif serta menindas (Lies Marcoes, 2015).
Anak-anak dengan
predikat “yatim piatu sosial” di pedesaan didesak bahaya dari lingkungan
internal, semisal, penganiayaan, pengeksploitasian, dan pembunuhan, yang kerap datang
dari orang-orang terdekat. Orang tua, saudara, dan kerabat bisa jadi merupakan ancaman
terbesar bagi anak-anak yang berusaha merenggut hak mereka demi segelintir
kepentingan. Tragedi Angeline menggambarkan bahwa seseorang yang sedianya menjadi
pelindung, justru menebar teror bagi kehidupan anak-anak.
Adapun pemerkosaan, perampasan,
penganiayaan, penculikan, serta pembunuhan merupakan bahaya dari lingkungan
eksternal yang selalu menghantui anak-anak. Dengan demikian, desa tidak lagi
identik sebagai benteng pertahanan yang memelihara kearifan dan kebajikan nenek
moyang. Desa bukan lagi institusi lokal yang berhasil menangkis ekses-ekses
modernisasi dan globalisasi dengan sajian kekerasan yang sewaktu-waktu dapat menimpa
anak-anak, baik kekerasan emosional, verbal, fisik, maupun seksual.
Pendidikan Bercorak
Urban
Segala bentuk kekerasan
terhadap anak-anak desa seolah dilegalkan oleh carut-marutnya dunia pendidikan.
Selama ini, hak-hak mereka sebagai warga negara kurang terpenuhi, sebab sistem
pendidikan di negeri ini cenderung mengultuskan ritus kehidupan urban. Akibatnya,
mereka lambat laun menjadi anak-anak semi urban: bermukim di desa dengan
pemikiran serbaurban.
Sejak kecil, anak-anak
di desa melahap buku pelajaran dengan habitus kelas tertentu. Sering kali mereka
dicekoki dunia yang bukan keseharian mereka. Materi yang diajarkan kepada siswa
memperlihatkan potret kehidupan orang kota lebih dominan dibanding habitus desa.
Dari ketidakberimbangan ilustrasi materi tersebut, disparitas kelas atas (orang
kaya) dan kelas bawah (orang miskin) muncul. Realitas ini menyebabkan tersebarnya
anggapan bahwa kota adalah masa depan. Kota merupakan komunitas imajiner (imagined community) yang
merepresentasikan kekayaan, kemajuan, dan kemewahan.
Mereka telah mengalami
kekerasan simbolik. Dalam pandangan Pierre Bourdieu, kekerasan simbolik (la violence symbolique) merupakan kekerasan
tidak kasat mata yang tidak akan tampak tanpa adanya pemahaman kritis. Pada
dasarnya, para korban menganggap apa yang menimpa mereka bersifat alamiah dan
wajar. Tak heran jika kekerasan semacam ini dipelihara sampai dewasa dan
berkeluarga.
Saat ini, kaum
terpelajar terperangkap oleh paradigma bahwa kesuksesan diukur dari kekayaan
materi dan hidup di kota. Kerja merupakan tujuan akhir studi. Kerja menjadi
indikator utama pendidikan yang berhasil. Narasi pendidikan melihat bahwa
mereka yang sukses dalam pendidikannya adalah pekerja bergaji tinggi (Junaidi
Abdul Munif, 2013).
Atas dasar inilah, setelah
mengantongi ijazah, anak-anak desa berlomba-lomba mengais rezeki di kota. Bagi
mereka, menghirup udara perkotaan adalah ikhtiar meninggalkan kemiskinan, kemunduran,
dan keterbelakangan. Implikasinya, sumber daya manusia (SDM) di pedesaan semakin
berkurang. Mereka yang didaulat sebagai aktor utama pembangunan desa justru
tergiur dengan peluang kerja serta tingginya gaji di perkotaan. Generasi muda dengan
mentalitas urban telah tercerabut dari akar kehidupan tradisional, sebab hanya berburu
status sosial dan kehormatan.
Hak-hak anak di desa
akan terus tergadaikan, selama ketimpangan pendidikan masih berlangsung. Oleh
sebab itulah, perubahan paradigma pendidikan merupakan keniscayaan. Pendidikan
harus melihat bagaimana kehidupan pedesaan diangkat dan diberdayakan. Para
pemangku kebijakan, stakeholder, serta
semua elemen masyarakat juga harus mengagendakan revitalisasi desa, demi memangkas
regenerasi anak-anak yatim piatu sosial.
Bojonegoro, 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar