Alvine menolak lamaran
Jippo, ksatria tampan dari kota Hule. Sudah ratusan kali ia melakukan hal
serupa. Lobire, ayahnya, miskin kuasa membujuknya. Gadis berlesung pipit itu
memang berbeda dengan gadis pada umumnya.
“Apa yang kau
kehendaki, anakku?” Sore itu, ayahnya kehilangan kesabaran.
“Kau mau, melihat
ayahmu ini tak pernah menggendong cucu?” Sambungnya ketus.
Alvine hanya membatu,
menyimak kemarahan yang hinggap di wajah ayahnya. Ia sadar, kalau sang ayah
begitu kecewa dengan keputusan konyolnya. Namun, ia sendiri mengantongi alasan untuk
menjauhkan diri dari makhluk yang disebut lelaki.
Mohus, ibunya, tak
habis pikir, mengapa putrinya bersikap demikian. Padahal, ribuan perawan
mengidam-idamkan supaya bisa mendampingi Jippo di kursi pelaminan. “Gadis yang
aneh”. Gumamnya lirih.
Apa yang dilakukan
Alvine bukan tanpa alasan. Ia urung mengulang kisah pahitnya dalam asmara. Kisah
singkat yang pernah ia rajut dengan Forhene 5 tahun silam. Kisah seuntai yang
pada akhirnya mengantarnya sebagai gadis yang berhati remuk-redam. Usai menelan
kisah tersebut, ia membenci setengah mati lelaki dengan segala yang menempel di
tubuh dan pikirannya. Kepercayaan pada kaum berkumis dan bercambang itu layak
sirna. Di mana mereka berhasrat mengoyak perasaan perempuan dan melihatnya
menangis berlarat-larat. Tak lebih dari itu. Ia terlanjur menaruh keyakinan, di
serata semesta, hanya ayahnya sajalah pejantan yang mampu menerapkan cinta. Ya,
hanya ayahnya.
Hingga kini, sebutir rahasia
tetap terkunci rapat dalam lidah Alvine. Tiada seorangpun menduga bahwa ia memiliki
kenangan buruk tentang cinta. Betapa tidak. Ketika nekat menadah cinta Forhene,
ia merenggut petaka; pemburu kijang di hutan Tobhe itu raib entah ke mana. Raib
dengan terlebih dahulu mencicipi keperawanan Alvine.
Alvine menganggap bahwa
dirinya tercipta guna mengalirkan air mata. Benar. Hanya untuk itulah ia lahir
ke dunia. Maka, tiada salah jika kesedihannya tumpah kala teringat Forhene. Kepedihannya
kian menggumpal tatkala ia memegang isi panah di meja kamarnya. Benda
tersebutlah yang mengakibatkan ia menyesal seumur hidup. Sungguh. Memorinya
masih sangat kuat untuk sekadar merekam peristiwa menyesakkan hati itu. Ya.
Siang itu. Siang berlangit pekat itu, seperti biasa, ia mencari keindahan bunga
Kein di belantara Tobhe. Bunga yang harumnya terendus hingga tanah Vornia. Kala
memungut dan memandangi kecantikan Kein, Alvine mendapati sebiji panah tertancap
di pohon Lorra. Dengan sigap, ia mengambilnya. Bila ada biji panah, tentu ada
pemburu di selingkar tempat itu. Pikirnya.
Berlari-lari kecil,
Alvine menyusuri rimba Tobhe. Ingin sekali ia jumpai seorang pemburu. Sebab, ketika
masih balita, kakeknya kerap mewartakan dongeng pemburu Goffer yang baik dan
lembut perangainya. Ialah satu-satunya orang yang rela berburu kijang,
membakarnya, kemudian membagi-bagikannya kepada para fakir yang kelaparan. Ia
jua yang mencarikan kayu bakar buat Nenek Siumm, perempuan renta yang ditinggal
mati anak dan suaminya.
Dalam kepala Alvine, pemburu
adalah seseorang yang berkata halus serta berulah laiknya malaikat. Ringan
tangan dan benci menerima pujian. Begitulah, saking nafsunya bertembung dengan pemburu,
ia memirsa semua keadaan sekeliling. Barangkali pemburu itu ada di situ.
Sepemakan sirih
kemudian, ia menemukan bayangan di balik semak belukar. Dengan hati-hati, ia
mendekat—bagai anak ingusan yang hendak menangkap capung di mulut sungai Liche.
Hatinya mengayuh gembira karena memindai lelaki yang meletakkan busur panah di
bahunya.
“Inilah pemburu yang
ada dalam dongeng kakek”. Desisnya.
Sekonyong-konyong lelaki
itu membalik badan dan langsung menatapnya. Alvine terkesima. Ah, tepatnya
terpana menyaksikan lengan dengan otot yang bermekaran, menyiratkan keperkasaan
empunya. Kakinya. Ya, kaki lelaki itu tegap berdiri, seolah mengindikasikan
pemburu yang memiliki langkah kuat guna mengejar satwa buruan. Terakhir—ini
yang mendesak jantung Alvine berdentum-dentum—ia tergiur oleh matanya. Mata
yang rimbun cahaya. Mata dengan rona hitam sedikit kebiru-biruan. Biru yang teduh.
Biru yang mengatakan bahwa ia lelaki jujur. Elok tabiat pula.
Seolah paham dengan kehendak
masing-masing, keduanya saling bertukar nama. Lantas mereka menggelesot santai
di bawah rindang tumbuhan Biett. Ditemani kicau burung Gomu, Forhene membuka
pembicaraan. Ia menceritakan kesukaannya meringkus kijang. Berbekal panah, ia berusaha
menyergap binatang berkulit halus itu, sejak surya menampakkan batang hidungnya
hingga petang bertandang. Hasil tangkapannya—berapa pun jumlahnya—didermakan kepada
orang-orang terlantar yang bermukim di gunung Sebe.
“Ya. Benar. Kaulah
pemburu itu.” Katup mulut Alvine bocor.
“Apa kau bilang?”
“Maaf, aku tak bilang
apa-apa.”
Mendengar urita panjang
dari Forhene, Alvine bergeming. Seakan suaranya diikat dari dalam.
“Hari sudah senja. Aku mau
pulang. Orang-orang menungguku. Kalau ingin mengikuti ceritaku lagi, sepertinya
besok kau harus hadir di tempat ini. Pada waktu yang sama.”
Begitulah. Seolah
tersihir oleh kaul Forhene, esoknya Alvine berkunjung lagi ke tempat sejuk itu.
Tempat di mana ia membuntuti celoteh Forhene. Sebelumnya, ia berjanji tidak
akan berdiam diri lagi. Waktu layak dimanfaatkan sebaik-baiknya. Nian rugi,
jika ia hanya menyunggi dagu sambil memelototi bulir kata yang menyembul dari
bibir Forhene. Semisal Forhene, perawan beralis kepak burung camar itu hendak pula
menuturkan hobinya. Betapa senang ia, punya sahib yang dengan setia bersedia berbagi
kegembiraan. Sesuatu yang musykil ia dapati di rumah, sebab Alvine adalah anak
semata wayang. Bertahun-tahun ia menanti hadirnya seorang adik. Baginya, laki
atau perempuan sama saja; asal mudah diajak bergilir cerita. Walakin,
harapannya kandas, kala mengetahui perut ibunya mustahil mengandung janin. Ya. Rahim
perempuan berumur enam puluh tahun tak mungkin mengolah sperma suami menjadi orok.
Begitu iri ia dengan anak-anak tetangga yang ramai dan riang karena leluasa saling
menuturkan sesuatu yang disukai.
Janji cuma janji. Apa
yang diucap dalam hati sukar tercapai. Karena, nyatanya, Alvine belum sempat
ambil bagian. Alangkah kagumnya ia pada sosok Forhene. Sampai-sampai, lupa meminta
paruh Forhene berhenti sesaat guna mendengarkan buah kalam Alvine.
Matahari pulang ke
peraduan. Saat itulah, Alvine baru sadar bahwa sebentar lagi Forhene berpamit. Sedang,
ia belum menyembulkan sepatah kata pun. Dari tadi, ia menggigit bibir dan
sesekali menghidangkan senyum pada Forhene.
“Maaf, Alvine. Aku harus
pulang. Kau tahu, kan? Aku akan mengemban tugas lainnya. Mau kau besok ke sini
lagi?” Alvine mengangguk.
Setiba di rumah, Alvine
tampak semringah. Orang tuanya ikut senang. Akan tetapi, dalam benak Lobire dan
Mohus, Alvine bergembira sebab menjumpai bunga Kein yang semerbak baunya, lebih
besar tangkainya, lebih hijau daunnya, serta lebih merah warnanya.
Berbaring di atas
tikar, Alvine kembali melempar janji. Esok, ia tak boleh lengah. Wajib ia buka
mulut dan mulai bercerita. Aduhai senangnya, menyampaikan apa yang disuka
kepada Forhene. Segelintir kegembiraan yang pasti melebihi kegembiraan-kegembiraan
lain.
Di siang berkabut tebal,
Alvine datang lebih awal. Sengaja ia cawiskan diri agar terlihat tidak canggung
menghadapi Forhene. Dengan harapan, kata-katanya akan meluncur ringan. Sayangnya,
lagi-lagi ia melanggar janji. Pesona Forhene membuat Alvine bungkam.
Keesokan harinya,
kembali Alvine memamah ulah sejenis. Hal tersebut dilakukan berulang darab. Lagi,
lagi, dan lagi.
Itulah yang dialami
Alvine dari hari pertama bertemunya dengan Forhene hingga hari ke 70. Ada saja
alasan yang mendesak untuk mematung. Lebih-lebih, sebab terbius oleh Forhene
sekaligus cerita kegemarannya dalam berburu.
Dan pada hari ke 71, ia
bukan hanya diam. Tapi juga merintih. Merasakan dengus nafsu yang tengah
berpacu. Sama sekali tak terbesit dalam angannya, jikalau pemburu itu, pemburu
yang baik dan bertingkah bak malaikat itu, akan membentur-benturkan kepalanya, mengupas
pakaiannya, dan menindih tubuhnya yang lemah. Sekali lagi, Alvine membisu,
merintih. Pun mengunyah sembilu.
***
Kegusaran Lobire tiada
sanggup terbendung. Celakanya, bukan cuma gusar, namun juga berang. Ya. Ia
berang kepada Alvine; di mana pada usia ke 36, belum sudi bersuami. Padahal, bujang
peminatnya silih berganti. Datang lalu pergi. “Dasar anak kurang mengerti balas
budi!” Sesalnya.
Betapa selaku tetua
suku, Lobire benar-benar menanggung malu luar biasa. Buah gunjingan rajin
dilemparkan kepadanya. Maklumlah, rata-rata penduduk Yomuha menikahkan putri
mereka di usia 18 tahun—separo dari umur Alvine.
Dengan amarah
meluap-luap, Lobire memungut isi panah yang tergeletak di kamar Alvine. Di tangan
sendiri, nyawa putrinya bakal melayang. Alvine enggan menghindar. Ia boleh mati,
sekiranya tidak dengan isi panah Forhene. Isi panah yang saat mencerapnya, netra
Alvine meleleh seketika.
Lobire kalap; abai
dengan permohonan putrinya. Ia memasang isi panah itu pada busurnya lalu
secepat kilat melepaskannya ke arah Alvine. Dan……..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar