Berusaha
membangkitkan kepedulian sejarah di kalangan muda, 23 anggota Forum Pemuda
Peduli Sejarah Karawang (FPPSK) bersama-sama membersihkan kantor bekas
Kewedanaan Rengasdengklok, Jawa Barat. Bangunan bersejarah yang berdiri pada
tahun 1920-an tersebut kurang terawat. Padahal, dia menjadi tempat berkibarnya bendera merah putih untuk pertama
kali.
Boleh
jadi, secara arsitektural, bangunan ini kurang istimewa, tapi menjadi “tinta emas” yang mengabadikan riwayat
panjang kebudayaan bangsa. Sejarah kemerdekaan berkaitan dengan Rengasdengklok.
Penyusunan teks proklamasi memanfaatkan rumah seorang Tionghoa bernama Djiaw
Kie Siong di sebuah kecamatan di Kabupaten Karawang tersebut.
Wilayah
yang dulu merupakan kecamatan Rengasdengklok (Raya) ini menjadi saksi bisu penculikan Soekarno dan Hatta oleh
sejumlah pemuda, antara lain Soekarni, Wikana dan Chaerul Saleh dari
perkumpulan Menteng 31. Mereka menginginkan agar proklamasi dilaksanakan
secepatnya tanpa melalui PPKI yang dituduh sebagai boneka Jepang.
Peristiwa 16 Agustus 1945 ini memancing kesepakatan
antara antara golongan tua yang diwakili Soekarno, Hatta, serta Subardjo
dengan kaum muda tentang waktu proklamasi. Orang muda khawatir kemerdekaan dianggap sekadar pemberian
Jepang. Mereka yang sebelumnya berunding di salah satu lembaga bakteriologi di
Pegangsaan Timur Jakarta memutuskan, pelaksanaan kemerdekaan dipisahkan dengan
segala janji kemerdekaan dari Jepang.
Berdasar
kesepakatan inilah, keesokan harinya, pada tanggal 17 Agustus 1945, proklamasi
dikumandangkan. Teks diketik Sayuti Melik menggunakan mesin ketik kantor Kepala
Perwakilan Angkatan Laut Jerman. Akhirnya kedaulatan Indonesia atas segala
bentuk kolonialisme dan imperialisme dikukuhkan.
Penelantaran
situs-situs bersejarah sungguh disesalkan karena menunjukkan bahwa bangsa tidak
peduli dan seolah berpaham anti-kebudayaan. Bangunan-bangunan yang turut
menguatkan sendi-sendi peradaban berantakan, dilahap waktu. Akibatnya, sejumlah peninggalan lambang kebesaran peradaban terbengkalai,
bahkan tidak berbekas.
Contoh,
Wisma Samudera di Toboali, Bangka Selatan
sangat memprihatinkan. Kondisi
persinggahan Soekarno ini terbengkalai. Atap rusak dan dinding kotor.
Catnya juga terkelupas. Aksi vandalisme membuat gedung yang pernah menjadi
kantor pemerintah Belanda tersebut penuh coretan. Bahkan, beberapa tahun silam,
seorang pengusaha nekat menjadikannya sebagai sarang burung walet. Hal ini
memperlihatkan bahwa gedung-gedung bersejarah belum sepenuhnya dimanfaatkan.
Padahal, di balik fisik bangunan yang sebagian sudah hancur dan rusak,
tersimpan nilai-nilai yang perlu dilestarikan.
Kemudian,
pencurian empat benda artefak purbakala berlapis emas raib dari Museum Nasional
atau Museum Gajah, Jakarta Pusat, dua tahun lalu. Benda-benda tersebut
merupakan temuan abad ke-10 dan ke-11 warisan Kerajaan Mataram Kuno. Keempat
artefak bernilai puluhan miliar rupiah ini berupa lempengan emas, lempeng bulan
sabit beraksara, wadah berbentuk cepuk, serta lempeng harihara yang tersimpan
di lemari kaca di ruang Khasanah lantai dua gedung lama museum.
Yang
tak kalah serius, raibnya beragam manuskrip seperti lontara, babad, tambo,
hikayat, dan naskah keagamaan abad ke-16 hingga
18 dalam jumlah yang relatif besar setiap tahun. Benda-benda pustaka
tersebut merupakan khazanah pengetahuan yang menjadi bahan kajian beberapa
universitas dan lembaga ilmu pengetahuan
dunia. Ironisnya, di negeri sendiri, benda-benda berharga ini tak
diurus (Paeni, 2014).
Hilangnya
aset-aset budaya menunjukkan, bangsa
kurang menghargai warisan pejuang. Kesadaran historis rendah,
sehingga situs-situs bersejarah
diabaikan. Kekayaan peradaban bangsa
dalam tata nilai, etika dan
ekspresi budaya berserak di mana-mana.
Rekonstruksi
Selama
ini, situs-situs bersejarah tak terawat karena tak ada manajemen dan konservasi koleksi. Keamanan
dan database lemah. Ini sejalan ketidakseriusan negara memperhatikan masa depan peradaban. Banyak
program dan kebijakan yang diluncurkan cenderung sekadar perayaan (celebration).
Bebagai kasus penistaan terhadap aset bersejarah di Tanah Air tidak pernah
menjadi pelajaran. Masyarakat juga kurang
empati pada situs-situs bersejarah.
Jika
tidak ada upaya penyelamatan, situs-situs bersejarah dikhawatirkan menjadi
puing-puing tidak bernilai. Pemerintah
hendaknya mengagendakan konservasi warisan peradaban yang telah rusak.
Pemugaran
secara bertahap terhadap koleksi cagar budaya perlu dilakukan demi
menyelamatkan peradaban. Warisan budaya yang bersifat kebendaan seperti cagar,
bangunan, situs, maupun kawasan budaya jangan sampai punah. Warisan tersebut
memiliki arti dan kontribusi penting perkembangan sejarah, ilmu pengetahuan,
pendidikan, agama, serta kebudayaan itu sendiri.
Jejak-jejak
peradaban nenek moyang harus dihargai seperti
mengelola deposit bangsa. Eksistensi peradaban dalam suatu wilayah
komunal-regional jangan sampai tergadai pada
modal yang menjadikannya barang dagangan demi kepuasan sesaat. Warisan
budaya jangan jatuh ke tangan kaum pragmatis yang menilai segala sesuatu dalam
bingkai komoditas ekonomis.
Sebaliknya,
ikhtiar pelestarian peninggalan bersejarah mesti diwujudkan dengan
mengedepankan kolektivitas yang telah menjadi etos laku para pendahulu. Dengan
demikian, budaya difungsikan sebagai medium transformasi nilai-nilai luhur,
kearifan, dan kebijakan yang menjadi penguat ikatan sosial masyarakat.
Upaya
rekonstruksi sejarah harus digenapi dengan pendokumentasian peninggalan fisik dan karya pemikiran dalam
bentuk media digital dan buku referensi. Dengan mengetahui sejarah, niscaya
karakter kebangsaan bisa terbentuk. Jangan sampai situs bersejarah tidak
bermakna bagi generasi mendatang, apalagi sekadar menjadi bagian dari masa lalu
(a thing of the past) lantaran kegagalan pemerintah memeliharanya.
Artefak-artefak
kuno berjasa penting bagi perkembangan arkeologi Indonesia. Maka yang
tersisa selayaknya difungsikan sebagai objek wisata. Selain mewariskan
pengetahuan, akan memperkuat ikatan
emosional warga, sehingga semua lapisan masyarakat memiliki cara berpikir
historis (berkesadaran sejarah). Dengan demikian, peluang ditegakkannya tiang
negara-bangsa (nation-state) semakin terbuka lebar.
Sebuah
bangsa yang besar, mengutip Endang (2013), senantiasa mencurahkan apresiasi
terhadap warisan sejarahnya. Kesadaran sejarah bangsa terbentuk dari ruang dan waktu di mana pemahaman
hakiki masa lalu berkontribusi
besar dalam membangun masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar