Senja hampir
turun. Wajah cakrawala di barat kampung Sidodadi bersiap-siap bersalin. Kuning
keemasan yang tadinya terlihat cerah akan segera didominasi warna merah. Namun,
beratus santri—putra dan
putri—masih tampak
asyik mencerap kalam dan wejangan sang kiai.
Kala itu, Kiai
Mutohar tengah membacakan al-Hikam; sebiji kitab yang menjadi referensi
utama dan bacaan wajib mayoritas pesantren di provinsi Kawukay. Lelaki
berjanggut tebal dengan sejumlah kerut di wajah itu amat betah menularkan ilmu
kepada para santri. Begitulah. Dalam sekali duduk, ia sanggup menghibahkan petuah-petuah
agama hingga lima jam.
Sederhana.
Berwibawa. Bijak. Lembut. Itulah di antara beberapa potong sifat Kiai Mutohar
yang dihafal santri-santrinya. Dalam membagikan keterangan, kiai yang satu ini dikenal
luwes dan tidak muluk-muluk, sehingga enteng dicerna. Terlebih, ia juga doyan
membubuhkan contoh. Baginya, penjelasan tanpa dilampiri contoh, bak sayuran
tanpa garam. Dan menyinggung tentang contoh, Kiai Mutohar tak akan lalai mengeja nama Sahri.
Ya, putra semata wayang yang benar-benar disayanginya. Demikian juga pada malam
Senin ketika mendaras kitab Riyadlu as-Shalihin di aula, saat beradu
kening dengan sekitar seribu orang yang berasal dari enam kampung.
Pantas, kalau kiai dengan tahi lalat yang menumpang
di hidung itu, selalu meruah namanya. Memang Sahri termuat mahasiswa
berprestasi. Ia juga kenyang mengantongi nilai cantik dan beraneka kejuaraan sejak
melungguh di bangku sekolah. Kecerdasannya terbilang di atas rata-rata
teman-temannya. Tak heran jika ia berpuluh kali menjadi delegasi dalam
olimpiade tingkat nasional. Yang terakhir di Barsupu, ia menggondol juara pertama
dalam bidang matematika.
***
Bosan meneguk liburan panjang, suatu pagi, Sahri
menggelesot di depan kamar sang ayah, yang tengah merapal ratib al-haddad
di hamparan sajadah. Ia hendak berpamitan, karena esoknya kupingnya kembali
dijejali ceramah dosen.
Selepas wirid, Kiai Mutohar menemui Sahri. Bibirnya
menyungging. Memirsa putranya, kebanggaan dan kebahagiaan merembes di dada. Sang
kiai memasang rencana; kelak, bila masa studi rampung, putranya itu yang bakal mengambil
alih posisinya.
Dan seperti biasa, sebelum Sahri beranjak, terlebih
dulu Kiai Mutohar tengadahkan kedua tangan untuk mendoakan darah dagingnya. Lantas
diiringi lambaian tangan Bu Nyai, Sahri bertolak bersama Azali, santri ndalem,
yang kebetulan hendak kulakan kitab kuning di Mangal, sekeping kota yang
berdempetan dengan Rusabaha.
Jarak dua bulan dari keberangkatan, beberapa
gelintir orang—saat membuka-buka koran di warung Mbok Jah—memetik
kabar mengejutkan; Sahri digelandang polisi saat bertransaksi sabu-sabu di sebuah
hotel. Mereka tidak lantas percaya; Sahri adalah bibit kiai yang amat
dita’zimkan semua orang. Apalagi ia juga dikenang pendiam dan tak jamak tingkah.
Karena kurang yakin dengan kabar miring tersebut, Bu Kusmiah langsung bersoal
kepada Bu Nyai.
“Ah, mungkin Sahri yang lain, Bu. Nama Sahri
kan banyak”
Bu Nyai mencoba melempar penjelasan. Bukannya
berkilah, namun berita terciduknya Sahri memang belum berlabuh di liang telinganya.
Dan, alangkah terperanjatnya Bu Nyai, tatkala
Kiai Mutohar muncul dari balik selambu dengan menenteng koran yang mengandung
kabar memalukan tersebut. Sesaat usai membacanya, leher Bu Nyai kaku, lisannya kelu,
pandangannya menerawang. Dalam batinnya, teronggok tanda tanya besar; bagaimana
masa depan putranya kelak. Selain ditundung dari kampus, pasti masyarakat juga
enggan menadah kehadirannya.
***
Bagai menudungi bangkai busuk, Kiai Mutohar dan
Bu Nyai merahasiakan kabar tertangkapnya Sahri. Sampai-sampai, saat Sahri mendengkur
di hotel prodeo, Kiai Mutohar sama sekali tak menyambangi. Selain khawatir terpergok
orang, ia sangat wirang dengan apa yang telah diperbuat putranya. Nama agungnya
tercoreng. Kewibawaannya merosot drastis. Predikat munafik juga sedang
gencar-gencarnya menguber. Sebab, dalam pengajian, tak henti-hentinya ia menantang
para jamaah agar merenggangkan diri dan keluarga dari perbuatan yang dilarang Tuhan.
Sedang Bu Nyai, ia lebih leluasa menengok
Sahri. Ini mengingat bahwa warga dan orang luar lebih mengenal Kiai Mutohar
dari pada istrinya. Meski demikian, naluri kemanusiaan dan keayahan masih mengendap
di otak Kiai Mutohar. Sesekali ia titipkan uang sekadar bila Bu Nyai hendak berkunjung.
Sebenarnya antara tega dan tidak, Kiai Mutohar memperlakukan
putranya seperti itu. Sebagai orang tua, hatinya selalu galau dan ingin bertatap
muka dengan bujangnya. Apalagi Sahri terlahir selagi usia Bu Nyai sudah berkepala
empat dan sulit menitiskan keturunan. Akan tetapi, lagi-lagi, rasa malunya
sebagai kiai kampung dan pengasuh pesantren lebih besar.
Dan ternyata, di luar dugaan, rasa sayang sebagai
ayah ditunjukkan dengan cara lain. Rasa sayang, yang bagi tokoh sepertinya, lebih
baik dikorbankan. Ya, dikorbankan. Setelah berembuk dengan kepala LP Gumahuk, keduanya
mufakat, bahwa Sahri akan lolos jika dicawiskan sogokan uang. Tentu dengan nominal
yang lumayan tinggi.
Kiai Mutohar kelimpungan. Stres. Batang-batang
rokok makin deras menggantung di bibir tebalnya. Sungguh, sebelumnya ia tak
berpikir masalahnya akan sepelik itu. Dalam benaknya, polisi yang berpunca dari
kampung Sukorejo dan pernah aktif menimbrung di pengajiannya itu bakal
membebaskan Sahri tanpa syarat.
Ke manakah ia akan mendapat uang? Padahal, sarwa
simpanan di bank terlanjur dicemplungkan buat biaya perluasan aula dan toilet
pesantren. Apalagi dalam kamusnya, ia urung mengutang. Karena utang hanya akan
menambah bobot pikiran.
Dan, alhasil, dalam hitungan hari, Kiai Mutohar
dengan mudah menjumpai tumpukan uang di sebuah loka. Tak jauh-jauh. Bahkan, sangat
dekat sekali. Hanya dengan mengayunkan kaki sepuluh meter dari pelataran rumah.
Ya, benar. Tempat yang dimaksud yaitu kantor Panitia Renovasi Pesantren (PRP). Di
sanalah ia bisa menemukan uang sejumlah empat puluh juta rupiah. Akhirnya, arta
sumbangan wali santri untuk membangun gedung baru itu digasak, tanpa seizin dan
sepengetahuan panita.
“Mudah-mudahan ini termasuk dalam kaidah: ad-dlaruuratu
tubiihu al-mahdzuuraat”
Katup rahang sang kiai mendesis pelan, kala
mewadahi segebok uang ke dalam karung bekas.
***
Warta tercekalnya Sahri cukup gesit meruap ke
hidung warga. Akan tetapi, Kiai Mutohar dan Bu Nyai cuci tangan, seolah tidak
terjadi apa-apa.
Apa yang dilakukan oleh santri dan jamaah Kiai
Mutohar? Mengendus urita kurang sedap, sekitar dua puluh santri hengkang dari
pesantren. Bukan lantaran tak percaya lagi kepada sang kiai. Namun lebih karena
dorongan orang tua yang jengah menitipkan anak kepada kiai dengan putra
bermasalah.
Pengajian yang lazimnya dihadiri seribu orang
itu juga terhantam imbas. Dua minggu pasca kabar itu berhembus, majelis yang
biasanya mengupas hadits-hadits Nabi tersebut hanya diikuti lima ratus orang. Adapun
separuh yang lain memilih absen dengan berbagai bentuk alasan. Yang sakitlah.
Yang sibuklah. Yang keluar kotalah. Yang sebentar lagi matilah.
Umumnya, santri dan jamaah yang bertahan,
menganggap hal itu sebagai cobaan yang harus dihadapi manusia sekaliber Kiai
Mutohar. Semakin tinggi pohon, semakin besar pula angin yang menerjang. Mereka juga
maklum. Sebagai makhluk biasa, pastilah Sahri menyandang kekurangan.
***
Kembali mereguk udara bebas, bukannya meredakan
ulah. Tiga bulan kemudian, Sahri terlibat lagi dalam penjualan narkoba. Malah,
ia selaku pemasok utama bagi pelanggan kafe-kafe mewah di Rusabaha. Keberuntungan
ringan dijinakkan. Jadi, beberapa bulan ia selamat. Ulahnya belum terendus
aparat.
Dalam tempo itu pula, Sahri menyempatkan
pulang. Malam menjadi satu-satunya pilihan. Hal ini dikarenakan, bila ia pulang
pada siang hari, pasti warga bakal mengusirnya dari kampung. Dan saat fajar
belum genap luntur, ia segera balik ke Rusabaha. Begitulah cara paling aman buat
sekadar bertembung dengan ayah dan ibunya.
Semasih mencongkong di rumah, di satu sisi, lidahnya
bisa tersenyum tipis tatkala menikmati terong bakar dan urap-urap bayam buatan sang
bunda. Walakin, di sisi lain, dua kupingnya harus tebal, ketika Kiai Mutohar bertukas-tukas
membuang ancaman:
“Jika menyentuh narkoba lagi, maka aku tak sudi
mengakuimu sebagai anak.”
Sebetulnya, Kiai Mutohar dikenal dengan sosok
yang sabar dan santun. Namun, selagi menghadapi Sahri, ia sulit mengendalikan diri.
Emosinya meletup-letup. Sehingga tak jarang, kemarahan yang dilampiaskan kepada
Sahri, terdengar juga oleh santri-santrinya.
***
Seperti keledai yang terjebak di lubang yang
sama; untuk kedua kalinya, Sahri tertangkap basah, saat bertransaksi narkoba di
kafe Mutiara. Ia sial. Apes. Rengsa. Ternyata mangsanya adalah polisi yang berperan
menjadi konsumen. Ini kali kasusnya lebih besar, sebab ia memapah 2 kilo gram
sabu-sabu.
Selincah kilat, berita tersebut terbang. Terbang
ke berbagai sudut dan ruang yang terbentang di kampung Sidodadi. Terbang dengan
sayap media elektronik maupun koran. Dan setangkas kilat pula, kepercayaan para
warga kepada sang kiai luntur. Hilang. Hangus. Sehingga menyebabkan seluruh santri
berbondong-bondong minggat dari pesantren. Sedang pengajian mingguan di aula
bubar. Para jamaah kabur tunggang-langgang. Hal ini diperparah dengan ucapan Muhsin,
ketua Panitia Rehabilitasi Pesantren (PRP), yang mencetuskan bahwa arta
sumbangan raib diganyang kiai. Dan semua sepakat, karena Kiai Mutoharlah satu-satunya
pembawa kunci lemari yang digunakan menampung dana pembangunan.
Semalam, sekitar jam sembilan, rumah dan
pesantrennya dibakar pemuda-pemuda kampung. Jasad Kiai Mutohar beserta istrinya
ikut terlalap. Sekarang keduanya tergolek di Unit Gawat Darurat rumah sakit Bemesda.
Rasanya, keduanya musykil bertahan lama. Serata tubuh tergigit api raksasa yang
meluap-luap.
Di mana Sahri? Ia tengah duduk di kursi pesakitan,
di depan hakim yang bersiap memutuskan berapa tahun ia bakal mendekam di penjara.
Atau bahkan, boleh jadi hukuman mati sedang menanti. Selain pengedar dan
penjual narkoba, ia juga terbukti menjadi pendana bagi beberapa aksi pengeboman
di dalam maupun luar negeri.
Yogyakarta, 2011
Catatan:
·
Ratib al-haddad = Dzikir-dzikir
nabawiyyah yang disusun oleh Habib Abdullah al-Haddad.
·
Santri ndalem = Santri yang mengabdikan diri pada kiainya.
· Ad-dlaruuratu tubiihu al-mahdzuuraat = Kaidah
fiqih yang berarti, hal darurat bisa memperbolehkan sesuatu yang terlarang
(dalam agama).