Sesekali jam dinding yang
tergantung di atas pintu dilirik dengan beberapa kedip. Genap dua jam ia hanya
mematung, memandangi kain putih tulang yang terbentang empat puluh senti meter
di depan hidungnya. Diteguknya lagi kopi hitam-pekat-kental yang dari tadi
belum tandas. Adapun halilintar, tanpa ditemani hujan, menghunjamkan tombak lancipnya
ke pepohonan, seakan menertawakan dirinya yang tengah dirundung gamang.
Dengan kuas mungil yang
dipegangnya, ia mencoba menorehkan cat biru muda ke atas lahan kosong. Nafasnya
kembang kempis. Dari sudut pelipisnya merembes keringat sebiji jagung. Ini kali
ia tidak boleh keliru menempatkan warna. Lukisan wanita asal Eropa yang akan
dikerjakan adalah pesanan sahabatnya, Kasim Mudrik. Jadi, sebisanya hasil goresan
tangannya mendekati sempurna.
Ia, pelukis berjari tangan
sembilan itu, merasa ada yang lain ketika bermaksud untuk segera merampungkan
lukisan. Jemarinya gemetaran, dadanya berdegup kencang, fokus perhatiannya
tiba-tiba buyar ditelan keraguan. Padahal, agar konsentrasinya tidak terpecah,
dua pesanan dari Jepara sengaja ia tolak mentah-mentah, meskipun si pemesan
berani menebus keahliannya dengan ongkos di atas rata-rata: tiga kali lipat
dari harga biasa.
Memperhatikan foto di telapak
kirinya, lelaki bernama Kamaruddin Thabrani itu memainkan ludah sambil
menelengkan kepala. Wow, sungguh wanita yang cantik lagi memesona!
Sepemakan sirih
kemudian, kedua matanya memindai pot bunga di sudut kamar. Hal itulah yang
rutin dilakukan guna meningkatkan daya konsentrasi. Namun, nampaknya ia gagal.
Bukannya bentuk dan gambar burung merpati di pot yang ia dapatkan, malah
bayangan Kasim Mudrik yang datang.
Mengaitkan geraham, ia
tendang botol-botol cat di kolong meja seraya mengumpat sekenanya. Sungguh, ia
tidak mungkin berjanji bahwa dua bulan lagi, ia akan menyerahkan sebuah lukisan
kepada pemuda yang paling dekat dengannya. Pemuda yang menyelamatkannya dari
amukan warga, juga mereka yang mengaku penjunjung tinggi ‘nasionalisme buta’.
***
Untuk makan saja, mati-matian
Kamaruddin Thabrani mencari uang. Ia hijrah ke negara yang selama ini cuma
mampir di telinga, demi memaksa lambungnya bertahan. Syukurlah, di rumah
kontrakan baru, ia sanggup melanjutkan hidup. Kurang lebih tiga bulan lalu, Kasim
Mudrik membawanya ke rumah kusam dengan dua kamar yang kecil. Di rumah itulah
ia ingin melepaskan diri dari bantuan Kasim Mudrik. Terus terang, ia menanggung
malu karena telah lama menumpang. Dan, di rumah itu pula ia akan meneruskan mata
pencahariannya sebagai pelukis.
Tak habis pikir ia,
mengapa alur kehidupannya dilalui dengan sulit. Melalui lukisannya, ia dianggap
telah menghina tokoh ternama di Rusia, sehingga memaksanya kabur dari Malaysia.
Adapun ia sendiri tidak mengenal profil yang ia abadikan di atas kanvas.
Mengingat, ia cenderung lebih suka mengakrabi kuas dan botol cat ketimbang
acara atau berita televisi yang baginya kurang bermanfaat.
Sebenarnya, ia hanyalah
korban. Seorang wanita asing pernah memesan lukisan berukuran 1,5 x 2 meter bergambar
lelaki berseragam militer, berkumis rancung, memakai baret merah yang ditembus sepasang
tanduk. Dari giginya yang runcing menempel sekerat daging manusia dengan darah
kental menetes deras. Jadi, sesiapa memandangnya, pastilah melanting kesimpulan
bahwa itu adalah gambar tentara iblis sedang menikmati tumbal.
Dipilihnya Indonesia sebagai
loka pelarian. Keadaan yang kian menjepit, lantaran sejumlah interpol
mengejarnya, membuat otaknya enggan menakar banyak pertimbangan. Meskipun
demikian, dalam hati kecilnya, ia menabung keraguan. Teman sesama pelukis dulu
bilang bahwa Soekarno, presiden Indonesia pertama yang sangat disegani di seluruh
dunia, pernah memekik lantang: “ganyang Malaysia!”.
Tanpa perbekalan
memadai, ia menunggangi pesawat bertarif murah, lalu mendarat di Jakarta. Kakaknya
yang penyair memberi alamat seorang kenalan asal Indonesia.
Kasim Mudrik menampung
pelukis malang itu di rumahnya. Awalnya, selama berbulan-bulan, tiada gangguan
atau ancaman berarti. Bahkan, Kamaruddin Thabrani merasa cukup nyaman, sebab
lelaki pekerja kebudayaan yang kerap terbang ke berbagai negara itu amat ramah.
Ia dianggap seperti saudara kandung sendiri, sampai-sampai segala kebutuhannya tercukupi
tanpa mengeluarkan uang sepeser pun.
Melalui jasa Kasim
Mudrik, ia kembali menekuni pekerjaan yang genap mengantarnya menjadi buronan. Sesungguhnya,
agak jera ia memulai lagi kegemarannya dulu menjelang senja: menuang dengan
lembut berwarna-warni cat di wadah oval guna ditumpahkan ke kanvas. Akan
tetapi, karena dorongan dan bujukan Kasim Mudrik, kepercayaan dirinya memulih. Apalagi,
dengan bakat melukis, ia berniat memungut rupiah. Tujuannya, agar lambat laun,
ia sanggup mandiri dan meringankan beban Kasim Mudrik. Syukur-syukur, bisa membalas
segenap jasanya.
Berkat lelaki berumur
tiga puluhan tahun berwajah tirus itu, ia memperoleh pesanan lukisan dari sejumlah
pejabat dan pengusaha. Semangatnya bermekaran bak bunga melati di kebun Bu
Johar (tetangga Kasim Mudrik yang memiliki hobi memelihara bunga). Untuk sementara,
ia boleh melupakan bahwa dirinya seorang penjahat, yang sedang diburu di tanah
kelahirannya. Hingga suatu hari, ketika kata ‘aman’ masih tersimpan rapi dalam brangkas
kepalanya, sekonyong-konyong ia dikeroyok oleh orang-orang tak dikenal sehabis
membeli peralatan lukis di pasar. Ia tidak tahu persis alasan kenapa jadi
bulan-bulanan. Yang pasti, malam hari sebelum kejadian adalah malam di mana
Indonesia ditekuk 3-0 oleh Malaysia dalam pertandingan sepakbola. Wajahnya pasti
bonyok, tulang-belulangnya remuk, darahnya muncrat di sana-sini, jikalau tak
berhasil meloloskan diri. Untungnya, ketika ada celah sedikit, ia menggunakannya
dengan baik. Karena bertubuh kerempeng, ia berlari gesit, lalu sampai di rumah
Kasim Mudrik dengan selamat. Meskipun demikian, jari kelingking kirinya harus diamputasi,
setelah menerima gencetan keras dari lelaki berkaos klub sepakbola asal Jakarta—yang
ikut mengeroyoknya secara membabibuta.
Kamaruddin Thabrani menceritakan
pengalaman pahitnya dengan mata berkaca-kaca. Lututnya menggigil, ketika mengatakan
bahwa jarak antara kematian dengan dirinya begitu dekat. Bermacam-macam benda—apa
saja—mudah dimanfaatkan guna mencungkil nyawanya; tongkat, batu, palu, pecahan
kaca, tabung elpiji, atau kunci inggris sekalipun. Andaisaja ia memilih diam waktu
dihakimi oleh kira-kira lima belas orang, barang tentu ia sudah berbaring di
kuburan.
Jangkap menyimak kisahnya,
Kasim Mudrik mengambil keputusan: mencarikan tempat baru yang dapat menjauhkan aroma
tubuh Kamaruddin Thabrani dari penciuman para pemangsa.
***
Senyumnya mengembang, saat
memindai lukisan. Berkali-kali menyentuh kulit kanvas yang telah dipadukan
dengan berbagai warna itu, membuatnya terkagum-kagum; bercecap-cecap lidah sambil
mengulum ujung jakun. Di antara ratusan karya yang dilahirkan, baru lukisan
inilah yang benar-benar membuatnya puas. Ia banyak berterima kasih kepada
Tuhan, sebab doa yang menyembul dari katup mulutnya selepas sembahyang lima
waktu dikabulkan: mampu merampungkan pesanan dalam tenggat dua bulan. Sungguh, ia
tidak mau, hanya gara-gara gagal menyelesaikan, atau mengalami sedikit keterlambatan,
hubungan antara dirinya dengan Kasim Mudrik merenggang.
Lukisan wanita cantik
berambut pirang sebahu bernama Martina Stella itu dipajang dengan gagah. Kamaruddin
Thabrani bermaksud meletakkan kedudukannya sedikit lebih tinggi di atas karya-karya
lainnya. Tiap kali menatap tajam lukisan itu, otaknya langsung memutar
kata-kata Kasim Mudrik di suatu sore yang mendung, “Kau tahu, sahabatku? Ialah satu-satunya
wanita yang memaksa dinding jantungku bergetar, ketika pertama kali menemukan
wajahnya. Ialah wanita yang mampu membelai perasaanku, waktu bercakap-cakap
dengannya. Ialah wanita yang kukenal di Amerika, ketika kami sama-sama menghadiri
undangan perhelatan budaya seluruh dunia. Ialah wanita yang setengah mati
kucintai, tapi tidak bisa kumiliki.”
Ketika itu pula, dua
pipi Kamaruddin Thabrani dibanjiri air mata. Betapa antara keduanya, ia dan Kasim
Mudrik, terbentang kenangan yang saling bertautan. Kenangan yang terlalu pahit dan
getir untuk disimpan di ceruk hati terdalam. Kenangan tentang bagaimana lelaki
harus memendam perasaan sebab terpenggal janji untuk menikah dengan wanita
pribumi, juga kenangan bagaimana lelaki harus mengubur dendam dalam-dalam
karena terasing di negeri orang.
***
Pagi bertudung embun, Kasim
Mudrik menerima lukisan terbungkus kain beludru hijau menyala yang diantar oleh
seorang kurir. Hati-hati sekali rupanya ia ketika membuka lukisan yang hendak
dipampang di ruang tamunya itu.
Sedikit demi sedikit, ia
menyibak lukisan persembahan karibnya. Kau bakal menjadi kenangan terakhir sebelum
aku melangsungkan pernikahan dengan anak wali kota. Begitulah batinnya berdesis.
Lantas melihat di bagian bawahnya tertulis “Bunga Terakhir Eropa”, bibirnya menyungging.
O, alangkah tepatnya sang pelukis menancapkan judul pada karyanya!
Raut muka yang mulanya cerah,
tiba-tiba berganti muram. Hamparan keningnya dipadati gumpalan awan hitam, saat
menelanjangi lukisan berbingkai kayu jati bersepuh warna emas itu. Di depannya
berdiri sosok wanita Eropa cantik dengan pistol berasap di genggaman tangan
kanan. Seolah puas menembak orang yang paling dibenci, wanita dalam lukisan tersebut
terlihat jauh dari kata ‘anggun’. Bahkan, terkesan garang. Pun lebih pantas dipanggil
si jalang, daripada disebut wanita pemegang teguh nilai-nilai moral dan kesopanan.
Kini, Kasim Mudrik barulah
mengerti bahwa wanita asing yang menyebabkan karibnya mengunyah penderitaan
luar biasa dan hidup terlunta-lunta adalah Martina Stella, yang selesai dilukis
begitu sempurna.
Yogyakarta, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar