Minggu, 31 Juli 2016

Makam Fiktif dan Tradisi Nyekar (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Jawa Pos" edisi Minggu, 31 Juli 2016)

Urbanisasi tidak hanya berimbas pada kepadatan penduduk, namun juga pada tingginya kebutuhan makam. Sayang, minimnya lahan di Ibu Kota menyebabkan kasus jual beli makam kedaluwarsa kian marak. Di Blad 32, Blok AA1 TPU Karet Bivak, Tanah Abang, salah satu makam fiktif berhasil ditemukan oleh Dinas Pertamanan dan Pemakaman Jakarta Pusat.
Sebelum dibongkar, Sumarti adalah nama yang tercantum di batu nisan. Ternyata nama ini berbeda dengan nama jenazah yang terdaftar pada izin penggunaan tanah makam (IPTM), yakni Yusuf. Setelah ditelusuri, pemesanan makam fiktif dilakukan seseorang dengan maksud menyiapkan lahan makam jika suatu hari dirinya meninggal.
Penyediaan makam sebelum waktunya menandakan bahwa masyarakat Indonesia memerlukan “rumah abadi”. Rumah inilah yang kelak tetap menghubungkannya dengan kolega, kerabat, dan handai tolan. Dalam diri manusia terbentuk kesadaran bahwa interaksi dan intensitas komunikasi tidak boleh terputus meski oleh kematian. Tak heran jika nyekar merupakan tradisi turun-temurun yang hingga saat ini tetap dilestarikan.
Dalam masyarakat Jawa, kuatnya tradisi itu, antara lain, ditandai bahwa mereka yang sebentar lagi mempunyai gawe (hajatan) besar, terlebih dahulu dianjurkan mengunjungi makam orang tua yang telah tiada. Ngunduh mantu (pesta pernikahan) atau khitanan seolah melibatkan ruh. Restu para pendahulu turut menentukan sukses-tidaknya acara yang akan berlangsung. Dengan demikian, sebelum gawe digelar, shohibul hajat (orang yang mempunyai gawe) biasanya menyempatkan diri untuk nyekar. Tersebar keyakinan bahwa tanpa izin para leluhur, bahaya atau musibah bakal melanda diri dan keluarganya.
Ada sepenggal cerita unik mengenai hal di atas. Sebelum melangsungkan khitanan buah hati, seseorang disibukkan dengan persiapan dan berbagai hal yang berhubungan dengan acara. Ini membuatnya lupa nyekar ke makam ayah dan ibu. Ketika gawe diselenggarakan, muncul peristiwa aneh di dapur, tempat menyiapkan hidangan para tamu. Selama berjam-jam, beras yang dinanak belum matang. Padahal, normalnya, waktu memasak tidak terlalu panjang. Bingung dan cemas, para koki akhirnya memberanikan diri untuk memberitahukan kejadian non-logis tersebut kepada shohibul hajat.
Tuan rumah lantas berpikir mengenai persyaratan yang harus dipenuhi sebelum seseorang menggelar khitanan. Ia menyimpulkan, kejadian aneh di rumahnya lantaran ia belum nyekar di makam orang tua. Tanpa pikir panjang, ia pergi ke kuburan dan meminta restu keduanya. Tak berselang lama, sesampai di rumah, para koki mengaku bahwa beras di atas tungku matang dengan sendirinya.

Harmonisme Transendental
Masyarakat Indonesia senantiasa menghormati para leluhur dengan berkunjung ke makam. Usai memanjatkan doa, mereka biasanya menaburkan kembang di atas pusara. Kembang tersebut dipercaya menyumbang kedamaian bagi ruh. Implementasi dari sikap menghormati juga mereka tunjukkan dengan senantiasa merawat makam dan membersihkannya.
Kemuliaan makam menuntut para peziarah memahami tata krama nyekar. Mereka dilarang melangkahi kuburan, berbicara kotor, dan berlaku sembrono. Kepada para pendahulu, sopan santun harus senantiasa dipelihara. Itulah mengapa, sebelum masuk kuburan, setiap peziarah Muslim disunnahkan mengucap salam.
Makam menjadi sarana “menghidupkan kembali” nenek moyang. Betapa pohon kebaikan yang mereka tanam menjanjikan buah yang senantiasa dinikmati semua orang. Itulah mengapa, meski telah berpindah alam, mereka seolah masih hidup dan berumur panjang. Luthfy (2016) menilai bahwa itulah yang menjadi dasar masyarakat Tionghoa menggelar ritual Ceng Beng (baca: Qing Ming = cerah dan cemerlang) dengan berkunjung, membersihkan, serta menghiasi makam leluhur.
Ceng Beng bermakna waktu pencerahan memori terhadap anggota keluarga yang telah tiada. Saat perayaan Ceng Beng, momentum ini diperingati dengan merenung di makam dengan mengingat kembali kebaikan orang-orang yang telah meninggal. Bagaimanapun juga, mengenang hal serba baik bisa mengundang energi positif yang menuntun setiap manusia menggapai chai shen (pelita dewa rezeki) dan menjauhkan jiong (musuh nasib).
Penghormatan di atas menggambarkan harmonisme antara yang hidup dan yang mati. Sebagaimana orang hidup, orang-orang yang tinggal di dalam kuburan juga diperlakukan secara manusiawi. Celakanya, hal ini dinodai dengan munculnya kasus makam fiktif oleh orang-orang yang terbius rasionalisme sekularistis.

Harga Diri
Pada umumnya, kuburan ditandai dengan ukiran nama, tanggal lahir, serta mangsa wafat siapa yang berada di dalamnya. Hal ini dilengkapi dengan gundukan tanah yang menjulang agak tinggi. Lebih dari itu, orang-orang desa menata batu bata di selingkar kuburan. Di samping memudahkan mereka saat nyekar, langkah ini sebagai usaha membentengi kuburan dari segala macam ancaman.
Dalam hal memberi tanda bagi orang yang sudah meninggal, masyarakat urban melakukannya secara berlebihan. Mereka membelikan batu nisan berbahan keramik,  marmer, bahkan kristal. Dalam taraf tertentu, fenomena ini adalah representasi persaingan martabat, identitas, dan harga diri. Demi menunjukkan kewibawaan masing-masing keluarga atau ahli waris menyediakan batu nisan besar, mahal, dengan tampilan eksotis. Pada waktu nyekar, sambil berdoa mereka tentu bisa “membusungkan dada”.
Makam memuat martabat, gengsi, dan prestis. Status sosial bisa dilihat dari tempat manusia dikebumikan. Dahulu kala, Taman Pemakaman Umum (TPU) Petamburan, Jakarta Pusat, merupakan makam favorit sebagian orang sebab bergaya arsitektur modern jengki. Kejayaan salah satu makam tertua, terunik, dan bersejarah ini dapat dilihat dari bentuk nisan yang artistik: berukirkan dua naga terbang disertai patung-patung singa. Sejumlah makam berbahan teraso atau batu granit dengan atap beton.
Kemegahan dan kemewahan TPU Petamburan terwakili mausoleum keluarga tuan tanah Bogor, OG Khouw, yang terletak di tengah makam. Selain berukuran besar, kubahnya terbuat dari bongkahan marmer hijau dari Australia (Joga dan Antar, 2009: 30).
Pada masa sekarang, boleh jadi persaingan harga diri manusia ditunjukkan dengan maraknya kasus makam fiktif. Dengan corak pandang konsumerisme materialistis, seseorang leluasa memesan makam dengan letak strategis. Bahkan, agar dikenang sebagai nasionalis, ia bisa “mengapling” tanah di samping makam pahlawan. Alamak……

Bojonegoro, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar