Urbanisasi tidak hanya
berimbas pada kepadatan penduduk, namun juga pada tingginya kebutuhan makam.
Sayang, minimnya lahan di Ibu Kota menyebabkan kasus jual beli makam kedaluwarsa
kian marak. Di Blad 32, Blok AA1 TPU Karet Bivak, Tanah Abang, salah satu makam
fiktif berhasil ditemukan oleh Dinas Pertamanan dan Pemakaman Jakarta Pusat.
Sebelum dibongkar,
Sumarti adalah nama yang tercantum di batu nisan. Ternyata nama ini berbeda
dengan nama jenazah yang terdaftar pada izin penggunaan tanah makam (IPTM),
yakni Yusuf. Setelah ditelusuri, pemesanan makam fiktif dilakukan seseorang
dengan maksud menyiapkan lahan makam jika suatu hari dirinya meninggal.
Penyediaan makam
sebelum waktunya menandakan bahwa masyarakat Indonesia memerlukan “rumah
abadi”. Rumah inilah yang kelak tetap menghubungkannya dengan kolega, kerabat,
dan handai tolan. Dalam diri manusia terbentuk kesadaran bahwa interaksi dan
intensitas komunikasi tidak boleh terputus meski oleh kematian. Tak heran jika nyekar
merupakan tradisi turun-temurun yang hingga saat ini tetap dilestarikan.
Dalam masyarakat Jawa,
kuatnya tradisi itu, antara lain, ditandai bahwa mereka yang sebentar lagi
mempunyai gawe (hajatan) besar, terlebih dahulu dianjurkan mengunjungi
makam orang tua yang telah tiada. Ngunduh mantu (pesta pernikahan) atau
khitanan seolah melibatkan ruh. Restu para pendahulu turut menentukan
sukses-tidaknya acara yang akan berlangsung. Dengan demikian, sebelum gawe
digelar, shohibul hajat (orang yang mempunyai gawe) biasanya
menyempatkan diri untuk nyekar. Tersebar keyakinan bahwa tanpa izin para
leluhur, bahaya atau musibah bakal melanda diri dan keluarganya.
Ada sepenggal cerita
unik mengenai hal di atas. Sebelum melangsungkan khitanan buah hati, seseorang
disibukkan dengan persiapan dan berbagai hal yang berhubungan dengan acara. Ini
membuatnya lupa nyekar ke makam ayah dan ibu. Ketika gawe
diselenggarakan, muncul peristiwa aneh di dapur, tempat menyiapkan hidangan
para tamu. Selama berjam-jam, beras yang dinanak belum matang. Padahal,
normalnya, waktu memasak tidak terlalu panjang. Bingung dan cemas, para koki
akhirnya memberanikan diri untuk memberitahukan kejadian non-logis tersebut
kepada shohibul hajat.
Tuan rumah lantas
berpikir mengenai persyaratan yang harus dipenuhi sebelum seseorang menggelar
khitanan. Ia menyimpulkan, kejadian aneh di rumahnya lantaran ia belum nyekar
di makam orang tua. Tanpa pikir panjang, ia pergi ke kuburan dan meminta restu
keduanya. Tak berselang lama, sesampai di rumah, para koki mengaku bahwa beras
di atas tungku matang dengan sendirinya.
Harmonisme Transendental
Masyarakat Indonesia
senantiasa menghormati para leluhur dengan berkunjung ke makam. Usai
memanjatkan doa, mereka biasanya menaburkan kembang di atas pusara. Kembang tersebut
dipercaya menyumbang kedamaian bagi ruh. Implementasi dari sikap menghormati
juga mereka tunjukkan dengan senantiasa merawat makam dan membersihkannya.
Kemuliaan makam
menuntut para peziarah memahami tata krama nyekar. Mereka dilarang
melangkahi kuburan, berbicara kotor, dan berlaku sembrono. Kepada para
pendahulu, sopan santun harus senantiasa dipelihara. Itulah mengapa, sebelum
masuk kuburan, setiap peziarah Muslim disunnahkan mengucap salam.
Makam menjadi sarana
“menghidupkan kembali” nenek moyang. Betapa pohon kebaikan yang mereka tanam menjanjikan
buah yang senantiasa dinikmati semua orang. Itulah mengapa, meski telah
berpindah alam, mereka seolah masih hidup dan berumur panjang. Luthfy (2016)
menilai bahwa itulah yang menjadi dasar masyarakat Tionghoa menggelar ritual
Ceng Beng (baca: Qing Ming = cerah dan cemerlang) dengan berkunjung,
membersihkan, serta menghiasi makam leluhur.
Ceng Beng bermakna waktu
pencerahan memori terhadap anggota keluarga yang telah tiada. Saat perayaan
Ceng Beng, momentum ini diperingati dengan merenung di makam dengan mengingat
kembali kebaikan orang-orang yang telah meninggal. Bagaimanapun juga, mengenang
hal serba baik bisa mengundang energi positif yang menuntun setiap manusia
menggapai chai shen (pelita dewa rezeki)
dan menjauhkan jiong (musuh nasib).
Penghormatan di atas
menggambarkan harmonisme antara yang hidup dan yang mati. Sebagaimana orang
hidup, orang-orang yang tinggal di dalam kuburan juga diperlakukan secara
manusiawi. Celakanya, hal ini dinodai dengan munculnya kasus makam fiktif oleh
orang-orang yang terbius rasionalisme sekularistis.
Harga Diri
Pada umumnya, kuburan
ditandai dengan ukiran nama, tanggal lahir, serta mangsa wafat siapa yang
berada di dalamnya. Hal ini dilengkapi dengan gundukan tanah yang menjulang
agak tinggi. Lebih dari itu, orang-orang desa menata batu bata di selingkar
kuburan. Di samping memudahkan mereka saat nyekar, langkah ini sebagai
usaha membentengi kuburan dari segala macam ancaman.
Dalam hal memberi tanda
bagi orang yang sudah meninggal, masyarakat urban melakukannya secara
berlebihan. Mereka membelikan batu nisan berbahan keramik, marmer, bahkan kristal. Dalam taraf tertentu,
fenomena ini adalah representasi persaingan martabat, identitas, dan harga
diri. Demi menunjukkan kewibawaan masing-masing keluarga atau ahli waris
menyediakan batu nisan besar, mahal, dengan tampilan eksotis. Pada waktu nyekar,
sambil berdoa mereka tentu bisa “membusungkan dada”.
Makam memuat martabat,
gengsi, dan prestis. Status sosial bisa dilihat dari tempat manusia
dikebumikan. Dahulu kala, Taman Pemakaman Umum (TPU) Petamburan, Jakarta Pusat,
merupakan makam favorit sebagian orang sebab bergaya arsitektur modern jengki.
Kejayaan salah satu makam tertua, terunik, dan bersejarah ini dapat dilihat
dari bentuk nisan yang artistik: berukirkan dua naga terbang disertai
patung-patung singa. Sejumlah makam berbahan teraso atau batu granit dengan
atap beton.
Kemegahan dan kemewahan
TPU Petamburan terwakili mausoleum keluarga tuan tanah Bogor, OG Khouw, yang terletak
di tengah makam. Selain berukuran besar, kubahnya terbuat dari bongkahan marmer
hijau dari Australia (Joga dan Antar, 2009: 30).
Pada masa sekarang,
boleh jadi persaingan harga diri manusia ditunjukkan dengan maraknya kasus
makam fiktif. Dengan corak pandang konsumerisme materialistis, seseorang
leluasa memesan makam dengan letak strategis. Bahkan, agar dikenang sebagai
nasionalis, ia bisa “mengapling” tanah di samping makam pahlawan. Alamak……
Bojonegoro, 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar