Di kawasan pedesaan
Jawa, sebutan kiai biasanya melekat pada diri seseorang dengan “darah religius”.
Tak heran jika anak atau cucu kiai, ketika sudah waktunya, juga menjadi seorang
kiai. Identitas ini kerap diwariskan lantaran orang Jawa berpegang teguh pada
peribahasa kacang ora ninggal lanjaran.
Kiai memiliki pengaruh
yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Kekuasaan kiai berasal dari pribadinya (personal
power). Dalam kehidupan desa, kekuasaan ini benar-benar diakui. Ketokohan
kiai mendapat afirmasi dari masyarakat. Munculnya simpati terhadap kiai lebih
karena apa yang ada dalam diri kiai. Dengan demikian, kehormatan, kemuliaan,
dan kewibawaan kiai muncul dari dalam dirinya. Meskipun demikian, di beberapa
tempat, besarnya pengaruh kiai tidak sama. Barang tentu, antara desa yang satu
dengan desa lainnya, kekuasaan para kiai dalam kadar yang berbeda.
Dahulu kala, kiai
memiliki banyak peran dan fungsi dalam kehidupan desa-desa Jawa. Kiai memosisikan
diri dalam bidang agama, sosial, ekonomi, budaya, serta politik. Kiai dianggap
berilmu luas sehingga mampu menyelesaikan segala problematika kehidupan. Pengetahuan
dan kharisma yang dimiliki kiai menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadapnya.
Tak heran, jika selain memberikan pedoman kepada masyarakat dalam pelaksanaan
ibadah dan ritual keagamaan, kiai juga dipercaya sanggup membantu menyelesaikan
persoalan sehari-hari.
Posisi Sentral
Beberapa studi sosial
mengenai pemimpin-pemimpin Islam di Indonesia, seperti yang dilakukan Clifford
Geertz, menyimpulkan bahwa kiai adalah tokoh dengan posisi strategis dan
sentral dalam masyarakat. Sebab memegang kepemimpinan informal, kiai diyakini
penduduk desa memiliki otoritas yang sangat besar sekaligus kharismatik.
Mayoritas kiai di Jawa menganggap pesantren ibarat kerajaan kecil. Adapun kiai
merupakan sumber kekuasaan dan kewenangan dalam lingkungan pesantren (Hamdi,
2014: 66).
Namun demikian,
belakangan, fungsi kiai sering diambil alih oleh pakar sosial, politikus,
dokter, budayawan, serta ahli ekonomi. Ini berarti, kepercayaan terhadap kiai sebagai pemimpin umat semakin menurun. Merosotnya
simpati masyarakat terhadap kiai berlatar belakang bahwa orang desa kerap
menghindarkan diri dari sikap “patuh membabibuta” kepada kiai. Mereka mulai
mampu berpikir logis dan rasional.
Ini berarti, peran dan
tugas kiai semakin ringan. Kedewasaan berpikir membuat penduduk desa dapat
memutuskan urusan pribadi. Apa yang mampu mereka tangani tidak perlu ditanyakan
kepada kiai. Mereka sudah bisa membedakan mana urusan yang harus diatasi
sendiri dan mana yang layak dikonsultasikan dengan kiai. Kepercayaan mereka terhadap
kiai kian memudar seiring tersebarnya informasi dan pengetahuan, baik dari
buku, koran, majalah, televisi, radio, atau internet.
Sudah banyak penduduk
desa-desa Jawa melek teknologi. Kemampuan ini mereka gunakan untuk berselancar
di dunia maya. Pertanyaan-pertanyaan yang semula dilemparkan kepada kiai, kini
beralih ke internet. Gelar sarjana yang diraih pemuda-pemuda desa juga membuat
mereka enggan “berpangku tangan” kepada kiai. Kurikulum dari perguruan tinggi
membentuk mereka lebih mandiri dalam menentukan sikap.
Lunturnya Sakralitas
Feodalisme kiai sedikit
demi sedikit runtuh oleh sikap kritis orang desa. Sakralitas kiai luntur seiring dengan kedewasaan masyarakat Jawa. Ditambah
lagi dengan fakta bahwa nama kiai tercoreng lantaran ulah beberapa
oknum. Beberapa kiai di sejumlah desa Jawa memanfaatkan kehormatannya untuk
berbuat asusila, menarik uang partai, atau berbohong demi kepentingan pribadi. Di
antara mereka bahkan dijebloskan dalam jeruji besi, sebab terlibat
persekongkolan atau tindakan lancung dan culas yang menodai perasaan umat. Melihat
para kiai bertipe demikian, masyarakat memilih untuk “mencabut” kepercayaan
yang terlanjur melekat pada diri kiai.
Sebagai akibatnya, muncul
pembatasan terhadap tugas kiai selaku pengemban amanat agama. Para kiai
merepresentasikan elit keagamaan yang berperan membentuk masyarakat yang
religius (Moesa, 2007: 1). Kini, orang desa lebih selektif dalam menentukan
siapa yang pantas disebut kiai. Di samping sepak terjang calon kiai, terutama
dalam masalah agama, background diri dan pendidikannya juga turut
mengukuhkan alasan mengapa masyarakat menyerahkan urusan agama kepadanya.
Di desa-desa Jawa, rata-rata
kiai merupakan lulusan pondok pesantren tradisional atau modern. Sukar
ditemukan kiai berijazah SMP, SMA, atau kampus umum, meskipun tidak menutup
kemungkinan bahwa mereka yang mengenyam bangku “sekolah umum” juga dapat
menjadi kiai. Ketentuan di atas berimbas pada rendahnya pengaruh kiai, di mana kekuasaannya
terutama diperoleh dari masyarakat.
Bojonegoro, 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar