Aku merawatnya sepenuh
hati. Meskipun jauh dari sempurna, ia tetaplah darah dagingku. Ia, dengan segala
kekurangannya, adalah anugerah terindah yang dititipkan Sang Pencipta untuk
senantiasa kupelihara. Maka, luapan kasih sayang adalah nutrisi terpenting agar
ia bisa terhindar dari segala bahaya.
Tapi, tidak dengan Mas
Anton. Sejak kelahiran anak kami yang pertama (dan mungkin satu-satunya), Mas
Anton merasa begitu terpukul dan kecewa. Tujuh tahun penantian disertai
kesabaran ternyata berbanding terbalik dengan kenyataan. Tidak habis pikir ia,
mengapa keluarga kami yang harus menanggung cobaan yang begitu berat ini. Maka,
guna menumpahkan kekesalan, bukan Dira saja yang terkena imbas, akupun tertimpa
getahnya.
Hari-hariku yang
mulanya ungu berubah kelabu. Tiada lagi kecupan hangat mendarat di kening dan
pipi. Tiada lagi belaian lembut bagi rambutku yang mulai kusut. Tiada lagi
pelukan mesra sepulang ia bekerja. Tiada lagi ucapan selamat malam sebelum kami
sama-sama memejamkan mata.
“Bukan. Ia bukan anakku!”
Suatu kali, ketika melihat Dira bermain ayunan, Mas Anton berujar demikian.
“Ya Allah. Istighfar, Mas!”
Aku selalu mengingatkan
Mas Anton agar ia menyesali kata-kata yang menyembul dari lidahnya. Bukannya diam
atau menunjukkan penyesalan, ia justru menghujaniku dengan tamparan dan pukulan.
Aku pun terhuyung dengan mata berat, membendung genangan air yang ingin tumpah.
Kali lain, saat
pekerjaannya menumpuk hingga membuatnya jarang tidur, sekali lagi ia melantur,
meratapi kehadiran sang buah hati.
“Dira berbeda jauh
denganku. Apa kau……?”
“Jangan berkata yang
bukan-bukan, Mas. Dari dulu aku selalu setia padamu.”
Hatiku seperti
tersayat. Mas Anton tidak hanya enggan mengakui Dira sebagai anaknya, melainkan
juga menuduhku telah melanggar ikrar seiya-sekata dalam mendayung bahtera rumah
tangga.
“Tapi, nyatanya.
Lihatlah! Muka, kulit, rambut, hingga perangainya pun sama sekali tidak
menunjukkan bahwa ia adalah pewaris darahku.”
Membisu. Jawaban hanya
akan menerbitkan kemarahan. Lantas kuperhatikan wajah Mas Anton yang kian lama
kian menawarkan arti kebencian.
***
Lelah. Sangat lelah. Setiap
hari, usai menyiapkan sarapan Mas Anton, aku harus meluangkan waktu untuk mengantar
Dira ke SLB (Sekolah Luar Biasa). Bagaimana tidak? Saban kali kumohon kepadanya
untuk membawa serta Dira bersamaan dengan keberangkatannya, ia selalu
menggeleng. Padahal, jalan menuju kantornya dan sekolah Dira searah. Barangkali
ia merasa malu jika memiliki anak dengan keterbelakangan mental yang tentu
sangat berbeda dengan anak-anak lain seusia Dira. Bahkan, pernah sewaktu salah
seorang koleganya berkunjung ke rumah kami, Mas Anton mengaku belum dianugerahi
anak dan menganggap Dira sebagai anak asuh. Mungkin Tuhan belum menghendaki.
Begitulah celetuknya. Mendengar ucapan Mas Anton, aku langsung berlari ke ruang
belakang sambil sesenggukan. Aku hanya mampu memprotes dalam hati, jika tidak
ingin tindak kekerasan dan kebrutalan menghantam tubuhku bertubi-tubi.
Rasa benci Mas Anton
pada istri juga anaknya menyebabkannya jarang sekali memberi uang, sehingga aku
harus menguras otak demi membiayai pendidikan Dira. Dan, ketika membaca iklan
pada sebuah media, muncullah ide menjadikan sekolah selain loka mengejar
cita-cita Dira juga sebagai ladang berburu rupiah. Bermodal uang sisa pemberian
Mas Anton, aku memutuskan untuk berjualan asesoris wanita di hadapan ibu-ibu
yang mendampingi anak mereka.
Barangkali sebab
menaruh kasihan, mereka satu persatu bersedia membeli. Yang berlangganan
rata-rata adalah istri pejabat dan pengusaha sukses. Hal inilah yang membuatku
senang, karena selain barang-barangku dibayar kontan, tak jarang aku juga menerima
pesanan. Sedikit demi sedikit aku mampu mengais rizki serta menyimpannya. Namun
demikian, tak jarang aku pun menerima cercaan. Secara terang-terangan, mereka
menganggap bahwa aku adalah perempuan yang tak bisa menjaga kehormatan
keluarga. Berkesimpulan demikian, sebab salah seorang dari mereka mengerti
bahwa aku memiliki suami yang bekerja di perusahaan ternama. Jadi, mustahil
jika untuk menyekolahkan anak saja, aku harus ikut serta membanting tulang.
Aku selalu berusaha
bertahan. Jangan sampai hanya karena gunjingan dari sejumlah orang, semangatku
berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Untunglah, motivasiku bertambah
ketika Dira berprestasi dengan menempati urutan delapan besar di kelas. Hal ini
lekas kubocorkan pada Mas Anton yang justru ditanggapi sekenanya.
“Begitu dibanggakan. Saingannya
saja anak-anak dungu. Dengar! Kalau ia bisa waras dalam waktu singkat, aku baru
bangga.”
“Astaghfirullahal’adzim….. Dira anak kita, Mas!”
Plak! Kulit bertemu
kulit.
Ia pun segera berlalu
tanpa bertanya mengapa butir-butir kegembiraan mulai lenyap dari wajahku.
***
Satu hal yang kubingungkan
dari sikap Mas Anton adalah meskipun jamak kali menyakitiku, namun tak sekali
pun ia pernah menyentuh Dira. Entahlah. Boleh jadi saking jijiknya, atau karena
memang ia masih memiliki rasa empati. Oleh dasar itulah, tak henti-hentinya aku
bersyukur dengan mengucap alhamdulillahirabbil’alamin
sebanyak-banyaknya. Siang malam kusanjung-sanjung nama-Nya. Di setiap waktu kuresapi
tanda-tanda kebesaran-Nya. Hingga suatu sore aku terkesiap saat mendapati kamar
Dira kosong. Padahal, biasanya, menjelang senja, Dira sudah berpakaian rapi, berkopiah,
bersiap-siap menuju mushalla.
Cepat-cepat kuayunkan
kaki ke kamar sebelah. Di sana, di kamar Mas Anton, kutemukan celana Dira bergelantungan
di sofa. Celana yang di beberapa bagiannya terdapat bercak merah. “Tapi, anakku
kemana?” Batinku memekik.
Sepemakan sirih
kemudian, Mas Anton muncul dengan sumringah. Sinar yang terpancar di wajahnya seakan
mengembalikan kebahagiaan sewaktu ia mengecup keningku kali pertama. Rasanya,
baru itu kali aku menemukan kembali kebahagiaan yang sudah lama terkubur dalam
dirinya.
“Kau pasti mencari
anakmu.”
Mengangguk. Seperti
anak kecil yang belum bisa berbicara, aku pun diam seribu bahasa.
“Asal kau tahu….”
Tiba-tiba suaranya
meninggi seiring dengan angin yang menerobos masuk melalui lubang jendela.
“Ia baru saja merusak dokumen-dokumen
perusahaan. Dikiranya mainan. Dasar goblok! Padahal, sebentar lagi aku naik
jabatan. Kalau seperti ini, pasti gagal. Semua gara-gara anak terkutuk itu!”
“Apa yang kau lakukan
pada Dira, Mas?”
“Tenanglah! Kini, ia sedang
bertamasya bersama bidadari di surga.”
Mendengar jawaban Mas
Anton, aku menjerit histeris sambil menutup muka dan tak sanggup lagi
membukanya.
Yogyakarta, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar