Minggu, 03 Juli 2016

Idiot (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian “Lampung Post” edisi Minggu, 3 Juli 2016)

Aku merawatnya sepenuh hati. Meskipun jauh dari sempurna, ia tetaplah darah dagingku. Ia, dengan segala kekurangannya, adalah anugerah terindah yang dititipkan Sang Pencipta untuk senantiasa kupelihara. Maka, luapan kasih sayang adalah nutrisi terpenting agar ia bisa terhindar dari segala bahaya.
Tapi, tidak dengan Mas Anton. Sejak kelahiran anak kami yang pertama (dan mungkin satu-satunya), Mas Anton merasa begitu terpukul dan kecewa. Tujuh tahun penantian disertai kesabaran ternyata berbanding terbalik dengan kenyataan. Tidak habis pikir ia, mengapa keluarga kami yang harus menanggung cobaan yang begitu berat ini. Maka, guna menumpahkan kekesalan, bukan Dira saja yang terkena imbas, akupun tertimpa getahnya.
Hari-hariku yang mulanya ungu berubah kelabu. Tiada lagi kecupan hangat mendarat di kening dan pipi. Tiada lagi belaian lembut bagi rambutku yang mulai kusut. Tiada lagi pelukan mesra sepulang ia bekerja. Tiada lagi ucapan selamat malam sebelum kami sama-sama memejamkan mata.
“Bukan. Ia bukan anakku!” Suatu kali, ketika melihat Dira bermain ayunan, Mas Anton berujar demikian.
“Ya Allah. Istighfar, Mas!”
Aku selalu mengingatkan Mas Anton agar ia menyesali kata-kata yang menyembul dari lidahnya. Bukannya diam atau menunjukkan penyesalan, ia justru menghujaniku dengan tamparan dan pukulan. Aku pun terhuyung dengan mata berat, membendung genangan air yang ingin tumpah.
Kali lain, saat pekerjaannya menumpuk hingga membuatnya jarang tidur, sekali lagi ia melantur, meratapi kehadiran sang buah hati.
“Dira berbeda jauh denganku. Apa kau……?”
“Jangan berkata yang bukan-bukan, Mas. Dari dulu aku selalu setia padamu.”
Hatiku seperti tersayat. Mas Anton tidak hanya enggan mengakui Dira sebagai anaknya, melainkan juga menuduhku telah melanggar ikrar seiya-sekata dalam mendayung bahtera rumah tangga.
“Tapi, nyatanya. Lihatlah! Muka, kulit, rambut, hingga perangainya pun sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia adalah pewaris darahku.”
Membisu. Jawaban hanya akan menerbitkan kemarahan. Lantas kuperhatikan wajah Mas Anton yang kian lama kian menawarkan arti kebencian.
***
Lelah. Sangat lelah. Setiap hari, usai menyiapkan sarapan Mas Anton, aku harus meluangkan waktu untuk mengantar Dira ke SLB (Sekolah Luar Biasa). Bagaimana tidak? Saban kali kumohon kepadanya untuk membawa serta Dira bersamaan dengan keberangkatannya, ia selalu menggeleng. Padahal, jalan menuju kantornya dan sekolah Dira searah. Barangkali ia merasa malu jika memiliki anak dengan keterbelakangan mental yang tentu sangat berbeda dengan anak-anak lain seusia Dira. Bahkan, pernah sewaktu salah seorang koleganya berkunjung ke rumah kami, Mas Anton mengaku belum dianugerahi anak dan menganggap Dira sebagai anak asuh. Mungkin Tuhan belum menghendaki. Begitulah celetuknya. Mendengar ucapan Mas Anton, aku langsung berlari ke ruang belakang sambil sesenggukan. Aku hanya mampu memprotes dalam hati, jika tidak ingin tindak kekerasan dan kebrutalan menghantam tubuhku bertubi-tubi.
Rasa benci Mas Anton pada istri juga anaknya menyebabkannya jarang sekali memberi uang, sehingga aku harus menguras otak demi membiayai pendidikan Dira. Dan, ketika membaca iklan pada sebuah media, muncullah ide menjadikan sekolah selain loka mengejar cita-cita Dira juga sebagai ladang berburu rupiah. Bermodal uang sisa pemberian Mas Anton, aku memutuskan untuk berjualan asesoris wanita di hadapan ibu-ibu yang mendampingi anak mereka.   
Barangkali sebab menaruh kasihan, mereka satu persatu bersedia membeli. Yang berlangganan rata-rata adalah istri pejabat dan pengusaha sukses. Hal inilah yang membuatku senang, karena selain barang-barangku dibayar kontan, tak jarang aku juga menerima pesanan. Sedikit demi sedikit aku mampu mengais rizki serta menyimpannya. Namun demikian, tak jarang aku pun menerima cercaan. Secara terang-terangan, mereka menganggap bahwa aku adalah perempuan yang tak bisa menjaga kehormatan keluarga. Berkesimpulan demikian, sebab salah seorang dari mereka mengerti bahwa aku memiliki suami yang bekerja di perusahaan ternama. Jadi, mustahil jika untuk menyekolahkan anak saja, aku harus ikut serta membanting tulang.
Aku selalu berusaha bertahan. Jangan sampai hanya karena gunjingan dari sejumlah orang, semangatku berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Untunglah, motivasiku bertambah ketika Dira berprestasi dengan menempati urutan delapan besar di kelas. Hal ini lekas kubocorkan pada Mas Anton yang justru ditanggapi sekenanya.
“Begitu dibanggakan. Saingannya saja anak-anak dungu. Dengar! Kalau ia bisa waras dalam waktu singkat, aku baru bangga.”
Astaghfirullahal’adzim….. Dira anak kita, Mas!”
Plak! Kulit bertemu kulit.
Ia pun segera berlalu tanpa bertanya mengapa butir-butir kegembiraan mulai lenyap dari wajahku.
***
Satu hal yang kubingungkan dari sikap Mas Anton adalah meskipun jamak kali menyakitiku, namun tak sekali pun ia pernah menyentuh Dira. Entahlah. Boleh jadi saking jijiknya, atau karena memang ia masih memiliki rasa empati. Oleh dasar itulah, tak henti-hentinya aku bersyukur dengan mengucap alhamdulillahirabbil’alamin sebanyak-banyaknya. Siang malam kusanjung-sanjung nama-Nya. Di setiap waktu kuresapi tanda-tanda kebesaran-Nya. Hingga suatu sore aku terkesiap saat mendapati kamar Dira kosong. Padahal, biasanya, menjelang senja, Dira sudah berpakaian rapi, berkopiah, bersiap-siap menuju mushalla.
Cepat-cepat kuayunkan kaki ke kamar sebelah. Di sana, di kamar Mas Anton, kutemukan celana Dira bergelantungan di sofa. Celana yang di beberapa bagiannya terdapat bercak merah. “Tapi, anakku kemana?” Batinku memekik.
Sepemakan sirih kemudian, Mas Anton muncul dengan sumringah. Sinar yang terpancar di wajahnya seakan mengembalikan kebahagiaan sewaktu ia mengecup keningku kali pertama. Rasanya, baru itu kali aku menemukan kembali kebahagiaan yang sudah lama terkubur dalam dirinya.
“Kau pasti mencari anakmu.”
Mengangguk. Seperti anak kecil yang belum bisa berbicara, aku pun diam seribu bahasa.
“Asal kau tahu….”
Tiba-tiba suaranya meninggi seiring dengan angin yang menerobos masuk melalui lubang jendela.
“Ia baru saja merusak dokumen-dokumen perusahaan. Dikiranya mainan. Dasar goblok! Padahal, sebentar lagi aku naik jabatan. Kalau seperti ini, pasti gagal. Semua gara-gara anak terkutuk itu!”  
“Apa yang kau lakukan pada Dira, Mas?”
“Tenanglah! Kini, ia sedang bertamasya bersama bidadari di surga.”
Mendengar jawaban Mas Anton, aku menjerit histeris sambil menutup muka dan tak sanggup lagi membukanya.

Yogyakarta, 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar