Pada 13 Oktober lalu, Akademi
Swedia mengumumkan bahwa hadiah Nobel Sastra tahun ini jatuh pada penyanyi
sekaligus pencipta lagu terkenal asal Amerika Serikat, Bob Dylan. Oleh panitia,
ia dinilai mampu menciptakan gaya ekspresi baru dalam berpuisi sebagai tradisi
musik Amerika Serikat.
Oktober menjadi saksi atas hiruk-pikuk
semesta literasi. Oktober menampilkan profil calon penerima penghargaan Nobel
Sastra. Setiap awal Oktober, media cetak dan online kerap menampilkan siapa yang digadang-gadang menjadi pemenang
ajang paling bergengsi dalam jagat sastra tersebut.
Uniknya, selain wartawan dan
akademisi, bandar judi juga turut meramalkan siapa yang berjaya dalam panggung
sastra. Kabar dari rumah-rumah judi selalu ditunggu oleh pegiat literasi,
khalayak pembaca, dan publik sastra. Bagaimanapun, terdapat keterkaitan antara
literasi dengan spekulasi. Berdasarkan nama-nama yang beredar, sejumlah situs
judi mengeluarkan prediksi.
Salah satunya Ladbrokes, poker dengan
peringkat teratas di dunia dalam lalu lintas perjudian online. Memiliki lebih dari 2.400 kantor ritel, agen taruhan tersebut
menyediakan platform olahraga, kasino,
bingo, poker, backgammon, dan
permainan judi lainnya. Ladbrokes dipercaya sebagai situs yang sanggup mengatrol
omset bisnis perjudian beberapa perusahaan ternama.
Berdasarkan lansiran tirto.id, situs judi Inggris tersebut menyatakan
bahwa peluang Haruki Murakami memperoleh penghargaan sastra terbesar sejagat
tahun ini adalah 5/1, penulis Kenya Ngugi Wa Thiong'o (7/1), serta penulis
Amerika Serikat Philip Roth (8/1). Beberapa tahun sebelumnya, portal yang sama
juga mengutip Ladbrokes tentang siapa saja yang berpeluang memperoleh medali
elektrum 18 karat berbalut emas 24 karat, sertifikat, dan 8 juta kronor Swedia
(setara Rp 12 miliar rupiah).
Cerminan
Popularitas
Bandar judi telah mendaulat Murakami
sebagai salah satu favorit. Pengarang asal Jepang tersebut dikenal lewat buku-bukunya
yang cukup populer di kalangan pembaca remaja dan dewasa di seluruh dunia. Hary
B.K. (2013) menilai, Murakami genap menyedot perhatian publik lewat beberapa
karyanya, antara lain Norwegian Woods
dan 1Q84. Hampir di semua karyanya,
Murakami menyinggung absurditas dan kesunyian manusia dalam kehidupan modern.
Alih-alih memberikan penilaian yang
orisinil, “ramalan” situs judi sekadar cerminan popularitas para sastrawan di
mata para petaruh. Orang-orang yang terlibat di dalamnya tentu memiliki bias
terhadap sastra dunia dan cenderung mengangkat penulis terkenal. Dalam setiap
nama terkandung muatan kepentingan dan motivasi pragmatis. Bermodal uang, kaum
kapital berusaha mengeruk keuntungan (benefits).
Mereka menangkap peluang bisnis dengan memproduksi desas-desus. Tak heran jika banyak
pihak meragukan nama-nama dalam shortlist.
Apalagi, unsur politik boleh jadi mendapat porsi besar dalam proses kurasi
penghargaan yang dimulai pada 1901 dan digagas oleh Alfred Nobel tersebut.
Namun demikian, dalam taraf
tertentu, geliat literasi berutang budi pada situs judi. Bandar judi berperan
memelihara bahkan menyemarakkan kultur literasi. Mereka mempunyai andil besar dalam
memompa semangat manusia agar senantiasa melihat perspektif, menyebarkan wacana,
serta membuka “jendela dunia”. Di dalam sepak terjangnya terkandung ikhtiar,
motivasi, sekaligus kiat agar buku senantiasa dihormati.
Secara tidak langsung, situs judi
di sejumlah negara menyimpan misi agar buku-buku sastra lebih digdaya, bermartabat,
dan bergengsi. Menanggapi mewabahnya aktivitas perjudian dalam jagat sastra, Daniel
D'Addario di majalah Time edisi 08
Oktober 2014 menulis, “Mungkin karena lebih banyak orang yang membaca buku
ketimbang mengikuti perkembangan ilmu kimia. Mungkin karena manusia gemar
berjudi, dan berjudi soal sastra terasa lebih mencerahkan daripada pergi ke
pacuan.”
Cara Instan
Pernyataan D'Addario di atas tentu
jauh berbeda dengan realitas di negeri ini. Judi selalu identik dengan
kebiasaan buruk yang mengundang sanksi hukum dan reaksi sosial. Sebagian
masyarakat menganggap bahwa aktivitas perjudian merupakan jalan pintas menuju
kesuksesan. Penggelontoran uang besar-besaran secara sporadis dilakukan oleh
orang-orang yang ingin menggapai mimpi melalui cara instan.
Aktivitas perjudian menjadi sarana
pertaruhan nasib wong cilik. Maraknya
kasus perjudian belakangan ini dilatarbelakangi oleh alasan sosiologis dan
pragmatis. Tingginya angka pengangguran, rendahnya pendapatan, serta sempitnya
lahan pekerjaan membuat mereka tergiur untuk bergabung di meja judi. Kegiatan
berjudi menjanjikan bahwa angan dan cita-cita dapat segera terwujud. Pelarian
dari himpitan ekonomi diwujudkan dengan mengadu peruntungan lewat jalan haram.
Celakanya, pemerintah Orde Baru turut
memrakarsai munculnya istilah lotre, porkas, Sumbangan Dana Sejahtera Bersama
(SDSB), dan sinonim-sinonim lainnya. Atas dorongan penguasa, pemain judi senantiasa
menempatkan uang sebagai faktor utama dalam siklus kehidupan. Dengan menggelontorkan
rupiah, mereka berani bertaruh untuk memastikan kemenangan. Mereka tidak pernah
khawatir terhadap hari esok, selama berada dalam rasio costs-benefits yang menggiurkan.
Aktivitas perjudian masyarakat
Indonesia modern bertolak belakang dengan masa silam. Saat menyaksikan
perhelatan adu ayam (tajen) di Bali
pada awal April 1958, Clifford Geertz menuangkan pengalamannya melalui tulisan
“Deep Play: Notes on the Balinese Cockfighting” (termuat dalam Intrepetation of Cultures). Karya antropolog
asal Amerika Serikat yang menelurkan konsep santri, abangan, dan priayi
tersebut mengupas aspek antropologis perjudian. Geertz mengungkap, perjudian menjadi
simbol maskulinitas bagi mayoritas lelaki Bali (Hanggoro, 2012).
Pada saat ini, sekalipun seseorang menang di meja judi, sebenarnya
ia tetap kalah dalam realitas. Karena merasa lemah, ia tidak sanggup
memenangkan rivalitas yang berlangsung. Di hadapan kolega judi, ia bisa
mendongak ke atas, meski di tengah masyarakat ia terpaksa menundukkan kepala
serendah-rendahnya.
Yogyakarta, 2016