Koran
Jakarta edisi 31 Oktober 2016 menurunkan tulisan Ir
Sumaryono, MM berjudul “Memberdayakan Ekonomi Desa.” Di antara pekerjaan rumah
terbesar pemerintah, mengentaskan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Sayang,
sampai hari ini, belum ada terobosan berarti. Atas dasar inilah, ditawarkan
konsep ekonomi rakyat yang dipinjam dari gagasan Sumodiningrat sebagai “cara
membangun dari, oleh, dan untuk rakyat.” Mulai dari diri sendiri untuk
mencukupi kebutuhan hidupnya.
Dalam upaya mewujudkan
ekonomi rakyat, penulis tidak menyebutkan langkah konkret. Jadi, mestinya tidak
hanya teoritis, namun juga praktis. Demi melengkapi tulisan tersebut, kolom ini
disajikan. Konsep ekonomi rakyat meniscayakan aspirasi, daya cipta, dan potensi
masyarakat perdesaan. Sejak dini, orang desa harus berani menentukan dan
memperjuangkan nasib. Dalam berbagai momentum, mereka dapat menyampaikan
inisiatif, gagasan, dan prakarsa. Dengan demikian, masyarakat tidak terjebak
pada status quo. Progresivitas
masyarakat ditunjukkan dengan kemampuan menyelesaikan beragam permasalahan.
Mentalitas dibentuk
dalam rangka membentuk karakter dan tidak bergantung pada bantuan. Kemandirian
sebagai salah satu tanda masyarakat modern memudahkan mengambil keputusan. Kedewasaan
berpikir membuat kebutuhan terlindungi. Meskipun demikian, pemenuhan kebutuhan
hidup tidak lantas mengesampingkan tanggung jawab sosial.
Mereka tetap
berkewajiban memegang teguh “hasrat kolektif.” Dengan bekerja bersama,
kolektivitas orang desa tetap terpelihara berdasar prinsip gotong-royong.
Keintiman, kedekatan, serta keakraban lahir dari suasana informal. Orang desa
tidak memerlukan situasi resmi atau formal demi mengekalkan jalinan
persahabatan dan kekerabatan.
Ilustrasi keberhasilan
pemerintah desa membangun kemandirian terlihat dalam “Desa Idiot”
Karangpatihan, Balong, Ponorogo, Jatim. Musim paceklik membuat warga terhimpit
ekonomi. Mereka kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Upaya pemerintah desa dalam
meningkatkan kesejahteraan mendirikan Balai Latihan Kerja guna meningkatkan
keterampilan warga. Inisiatornya Kepala Desa Karangpatihan Eko Mulyadi.
Eko Mulyadi mampu
meningkatkan sumber daya manusia (SDM) dengan membuat kebijakan, memberdayakan,
serta mengubah image “Desa Idiot” menjadi “Desa Mandiri.” Kreativitas,
ketekunan, dan kegigihan Eko Mulyadi membungkam orang-orang yang selama ini
merendahkan desanya. Di antara pemimpin lokal dia sanggup menularkan motivasi
kepada warga. Terpuruknya ekonomi desa tidak membuatnya patah semangat. Dia berusaha
sekuat tenaga membangkitkan masyarakat dengan mengganti pesimisme menjadi
optimisme.
Eko Mulyadi
mengidentifikasi masalah infrastruktur, persepsi masyarakat, ketergantungan
pada bantuan, dan keterampilan. Ini menjadi landasan merencanakan dan mengimplementasikan
kebijakan ekonomi, kesehatan, infrastruktur, dan pendidikan.
Pemberdayaan masyarakat
dimulai dengan identifikasi masalah yang meliputi permasalahan dalam kapasitas
SDM, prioritas, mental masyarakat dan sumber daya. Pemerintah desa lalu meningkatkan
kapasitas masyarakat, kualitas BLK, serta mengembangkan jaringan. Strategi
perubahan citra desa idiot menjadi desa mandiri dengan mengubah persesi
masyarakat tentang keterbelakangan mental dan meningkatkan kemandirian desa.
Dana
Desa
Kemandirian warga
terwujud karena kedaulatan pemerintahan
desa. Penopangnya sumber daya material dan manusia. Kesuksesan program-program
desa sering kali bergantung pada pendapatan dan upaya maksimal. Kemajuan
sejumlah desa dilatarbelakangi besaran anggaran perangkat desa dan ikhtiar
memanfaatkannya dengan baik. Tak sedikit desa yang ingin maju dan berkembang,
terkendala dana dan lemahnya manajerial.
Kemandirian
pemerintahan desa tecermin pada kemampuan membiayai kegiatan. Kebijakan desa
bisa terwujud lantaran adanya sumber dana dan daya. Sebuah penelitian
menyebutkan, kemandirian desa sulit terwujud karena keterbatasan jenis dan
hasil sumber daya.
Dalam konteks inilah,
dana desa sangat urgen. Bagi masyarakat perdesaan, pengucuran dana merupakan
kabar gembira untuk mengembangkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Peningkatan kucuran dana desa cukup tajam dari 20,7 triliun rupiah (2015)
menjadi 113 triliun rupiah (2016). Tapi, sistem distribusinya perlu diperbaiki
karena kurang merata, sehingga memicu ketimpangan pendapatan antarpenduduk
desa.
Bagong Suyanto (2015)
mengungkapkan, beragam kebijakan
pemerintah lebih bersifat meritokratis. Dalam tataran praktis,
keputusan-keputusan pemerintah terlihat adil dan kompetitif bagi semua.
Padahal, kenyataannya, hanya kelompok
elite yang diuntungkan. Jika ini terus terjadi, elitisme membuat jurang
ketimpangan semakin dalam.
Akhir-akhir ini,
terdapat kecenderungan para pemimpin lokal Sumatera Barat mengubah bentuk
nagari ke pemerintahan desa agar memudahkan terserapnya dana desa. Padahal,
nagari terbukti mampu memperkuat identitas lokal di hadapan budaya global yang
begitu dominan. Maka, rencana pemberangusan nagari demi memperoleh kucuran dana
desa patut disayangkan.
Agar dana desa dapat
dimanfaatkan maksimal, perlu dilakukan beberapa langkah. Pemerintah
menginisiasi perubahan struktur masyarakat. Dalam pandangan Bagong, pemerataan
kesejahteraan dan kompetisi yang adil hanya bisa terwujud bila struktur
masyarakat diubah. Struktur masyarakat yang menggambarkan piramida dengan orang
miskin berada di lapisan terbawah mesti dirombak dalam bentuk belah ketupat, di
mana golongan menengah sebagai mayoritas.
Pemerintah mempermudah
prosedur pencairan dana desa dengan segera menerbitkan peraturan
perundang-undangan terbaru. Hingga kini, banyak desa belum menerima dana karena tertahan di tingkat kabupaten.
Birokratisasi telah mempersulit masyarakat perdesaan menjemput hak mereka. Alur
dan langkah ribet membuat pemerintah
desa enggan berurusan dengan pemerintah lebih tinggi.
Pemerintah harus
berprinsip, pertanggungjawaban dana desa bukan prioritas utama. Dalam upaya
membangun Indonesia dari pinggiran, pemerintah semestinya lebih menitikberatkan
pada pemanfaatan dana desa daripada mempertanyakan penggunaan dana tersebut.
Pemerintah dituntut memiliki kepercayaan besar terhadap orang-orang desa.
Dengan demikian, kedewasaan dan kepercayaan kembali tumbuh.
Bagaimanapun,
terserapnya dana desa selama ini terganjal
kekhawatiran kepala desa beserta aparaturnya. Besarnya dana desa belum
diimbangi hasrat memanfaatkannya sebagai
pembangkit perekonomian perdesaan. Mereka takut
suatu saat KPK mempermasalahkannya. Banyak pihak mencemaskan lahirnya
“raja-raja kecil” dan koruptor di desa. Mereka bisa saja menghabiskan dana desa
demi kepentingan pribadi dan golongan.
Pemerintah
memaksimalkan peran pendamping desa yang wajib mengawal kepala desa beserta
aparaturnya dalam membelanjakan anggaran. Mereka bertugas membantu penyusunan
laporan keuangan dana desa serta penggunaannya. Pendamping desa dipercaya
memfasilitasi aparatur agar dana dibelanjakan sesuai keperluan dan tidak
menimbulkan masalah hukum di kemudian hari.
Yogyakarta, 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar