Dalam kalender Hijriyah,
Muharram merupakan bulan pertama. Khalifah Umar bin Khattab menetapkan Muharram
sebagai permulaan tahun Hijriyah. Kalender Hijriyah digunakan oleh umat Islam,
terutama dalam penentuan waktu ibadah dan hari-hari penting. Berbeda dengan
kalender Masehi yang memanfaatkan peredaran matahari sebagai acuannya, kalender
yang penyebutannya berdasarkan peristiwa hijrah Rasulullah dari Makkah ke
Madinah tersebut menggunakan peredaran bulan.
Maka, seolah ada yang
kurang jika kita membicarakan Muharram tanpa menyebut bulan. Itulah mengapa, dalam
menggelar perayaan tahun baru Islam terdapat upaya memberikan legitimasi
terhadap eksistensi bulan.
Sumber
Sejarah
Sebelum muncul banyak
sarana hiburan, nenek moyang kita gemar bercengkerama di halaman rumah. Di atas
tikar, mereka mendongakkan kepala sambil memandangi bulan. Ikatan
kekeluargaan, jalinan kekerabatan, dan interaksi sosial pada masa lampau dikukuhkan
oleh cahaya bulan. Berjalannya kehidupan manusia “berutang budi” pada keindahan
bulan. Harmonisme, toleransi, dan gotong-royong tercipta karena adanya bulan.
Bulan menyajikan suasana damai dan
menyejukkan. Cahaya yang berpendar ke segala penjuru semesta
memberikan kegembiraan dan ketenangan hati. Di samping menyimpan kehendak,
harapan dan semangat manusia menghadapi hari esok, ia juga menghadirkan
kehebatan, kebijaksanaan, serta kesempurnaan Tuhan.
Ketika kehidupan manusia masih
dilingkupi mitos dan tahayul, hadirnya bulan merupakan pemandangan luar biasa.
Ia menampilkan “hiburan purba” yang menyentuh perasaan dan sisi-sisi humanis
paling dalam. Sayangnya, setelah televisi, radio, tape recorder,
gawai, dan jaringan internet memenuhi rumah-rumah di perkotaan dan perdesaan,
bulan semakin ditinggalkan. Tiada lagi anak kecil yang menghabiskan waktu di
luar rumah untuk sekadar menengok bulan.
Bulan juga berperan
sebagai sumber sejarah. Bagi para pakar, bulan turut memuluskan aksi penggalian
sejarah. Bulan memupuk optimisme dalam menyibak tabir kehidupan. Masuknya agama
Islam ke India ditandai dengan peristiwa terbelahnya bulan. Suatu malam, Raja
Valiyathampuram dari Kodungallur di Central Kerala bersama istrinya berada di
atas istana. Tiba-tiba keduanya dikejutkan dengan fakta bahwa bulan terbelah
menjadi dua bagian. Melalui informasi para pengembara dan pedagang mancanegara,
sang raja akhirnya mengetahui bahwa peristiwa langka tersebut merupakan salah
satu mukjizat Nabi Muhammad SAW.
Setelah melihat
kejadian tersebut, hatinya bergetar hebat. Sang raja lekas membagikan harta
kerajaaan dan mengangkat putranya menjadi gubernur. Ia juga menyerahkan
tanahnya kepada para pemimpin lokal sebagai jaminan atas kesejahteraan singgasana.
Tak lama kemudian sang raja menghadap Rasulullah SAW.
Pada awal abad ke-7, seseorang
yang merupakan keturunan dari Raja Cheraman Perumal tersebut memeluk Islam dengan
disaksikan oleh Abu Bakar dan berganti nama menjadi Tajuddin. Penggunaan nama
ini sebagai bentuk “revolusi mental” dalam dirinya sekaligus lambang hijrahnya
pada kebenaran. Sayangnya, sang raja menghembuskan nafas terakhir dalam
perjalanan pulang ke India dan dimakamkan di tepi Laut Arab.
Pemantik Imajinasi
Bulan menampilkan
sejuta keindahan. Tak heran jika banyak karya sastra, baik puisi, cerpen,
maupun novel, memuat kata “bulan”. Penyair Sitor Situmorang dalam puisinya yang
masyhur “Malam Lebaran” menulis Bulan di Atas Kuburan. Adapun cerpenis
Is Mujiarso mengekalkan kumpulan cerpennya dalam buku bertajuk “Rahasia Bulan”
(GPU, 2006).
Para sastrawan dan
penulis menjadikan bulan sebagai tamsil atas kebaikan, kecantikan, dan
kesempurnaan. Cahayanya yang dipantulkan ke muka bumi membuat manusia menangkap
representasi indahnya Tuhan. Dalam taraf tertentu, bulan menjanjikan kreativitas,
daya berpikir, dan geliat berkarya bagi manusia.
Dalam bulan terkandung
kekuatan besar yang tak boleh diremehkan. Itulah mengapa, bagi para penyair,
sering kali bulan menjadi pemantik atas lahirnya sejumlah karya sastra yang
bernas dan orisinal. Semisal Joko Pinurbo (Jokpin), yang rajin “meminjam” bulan
untuk puisi-puisinya.
Bulan,
aku mau Lebaran. Aku ingin baju baru,
tapi
tak punya uang. Ibuku entah di mana sekarang,
sedangkan
ayahku hanya bisa kubayangkan.
Bolehkah,
bulan, kupinjam bajumu barang semalam?
Bulan
terharu: kok masih ada yang membutuhkan
bajunya
yang kuno di antara begitu banyak warna-warni
baju
buatan. Bulan mencopot bajunya yang keperakan,
mengenakannya
pada gadis kecil yang sering ia lihat
menangis
di persimpangan jalan. Bulan sendiri
rela
telanjang di langit, atap paling rindang
bagi
yang tak berumah dan tak bisa pulang.
Dari puisi “Baju Bulan”
(GPU, 2013) di atas, terselip pesan serta kritik sosial yang pedas. Dalam kelakarnya
tersemat ekspresi, interpretasi, dan filosofi mendalam tentang kehidupan. Saat
mengabadikan baris-baris kata pada puisi, tersemat upaya yang sungguh-sungguh
dalam memaknai kehidupan. Tidak sekadar main-main atau bahkan menertawakan
kehidupan itu sendiri. Hal ini mengantarkan puisi-puisinya memungut label nakal
sekaligus cerdas, bukan sekadar puisi mbeling
yang dangkal dan asal-asalan.
Lebih dari itu, dengan
memakai kata “bulan”, Jokpin mampu memoles puisi dengan tampilan eksklusif
sekaligus merakyat. Karyanya bermodal alur bahasa sederhana serta balutan
kalimat yang mudah dipahami. Ritual trial
and error yang genap dijalani dalam durasi waktu cukup lama ternyata
menghasilkan karya eksotis, yang mengandung nilai estetika tiada tara. Cara
berpikirnya yang ketat turut membentuk puisi berkarakter, unik, dan tidak
cengeng. Melalui berbagai eksperimen estetis, ia mampu mengawal puisi menjelma
karya yang adiluhung.
Metafora yang disajikan
pun terasa sangat berbeda, bahkan ganjil, bila dibandingkan dengan puisi-puisi
pada umumnya. Jokpin menganggit puisi-puisi humor dengan menawarkan
metafora-metafora baru dan segar. Ia mengatasi kejenuhan pembaca terhadap mainstream sastra yang berkembang. Puisinya
merupakan wujud nyata dari konsep budaya tanding yang dianggap mampu bertahan
menghadapi perubahan zaman. Dalam karyanya terdapat konsep perlawanan kultural terhadap
tatanan yang sudah mapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar