Dari tahun ke tahun, kita
terlalu sibuk mencari kelemahan Ujian Nasional (UN). Mulai dari soal yang bocor
di internet, kecurangan panitia dan pengawas, hingga tertundanya hajatan
tahunan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) tersebut di sejumlah
sekolah lantaran kesalahan teknis. Kita terlalu memfokuskan perhatian pada
apa-apa yang terjadi saat UN digelar. Celakanya, jarang sekali kita mengamati
segala hal yang datang setelah UN. Padahal, evaluasi semestinya tidak terbatas
pada penyelenggaraan UN, melainkan juga dampak bawaannya.
Kita enggan berpikir
bahwa diselenggarakannya UN ternyata melahirkan kesenjangan sosial (social gap), baik antar sekolah maupun
pengawas. Sekolah yang tergolong high
class dapat memberikan pelayanan ekstra kepada pengawas dengan
menghidangkan sajian serba mewah. Ruang tempat mangkal pengawas dipermak dengan
beragam hiasan dan pengharum ruangan. Meja, pintu, jendela, dinding dicat.
Toilet dan wastafel dibersihkan. Sekolah tiba-tiba berubah menjadi hotel dengan
pelayanan dan fasilitas memuaskan. Sementara itu, sekolah berkategori low class hanya sanggup menghidangkan makanan dan
minuman seadanya. Di dalam gedung yang hampir roboh, usai menyampaikan sambutan
dan ucapan selamat datang kepada pengawas, kepala sekolah dengan rendah hati
bertutur “mohon maaf, sekolah kami tidak bisa memberikan hal yang berarti”.
Meskipun dana bantuan
operasional UN, seperti belanja alat tulis kantor, ruangan, dan honor pengawas,
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sekolah kategori
pertama masih bisa memanfaatkan kas sekolah. Tak ayal, pengawas-pengawas UN di
sana lebih sejahtera dibanding di sekolah kategori kedua, karena selain
menikmati fasilitas cukup memadai, mereka menerima honor lebih tinggi. Situasi
seperti ini rentan menjatuhkan mental guru-guru yang menjadi pengawas di
sekolah kategori kedua.
Munculnya konsensus tak
tertulis: “semakin bagus pelayanan, semakin besar peluang keberhasilan UN”
menyebabkan sekolah-sekolah saling berlomba memanjakan para pengawas. Uang
transport, uang lelah, maupun uang tanda terima kasih sengaja diselipkan
sebagai upaya ‘pengondisian’. Maka, kecurangan-kecurangan selama UN
berlangsung, semisal kerja sama antar peserta, ditemukannya handphone di ruang ujian, dan
disembunyikannya kunci jawaban di bagian tubuh tertentu, di antaranya
disebabkan kurang maksimalnya pengawas mengemban tugas.
Belum lagi ketimpangan
sosial antar para guru honorer. Bagi mereka, UN merupakan hajatan besar yang
dinanti-nanti. Alasannya sederhana: honor kerja tiga hari menyamai, atau bahkan
melebihi, gaji sebulan. Maka, berbanggalah mereka yang mengantongi Surat Keputusan
(SK) sebagai pengawas di sekolah high
class. Adapun yang ditakdirkan menjadi pengawas sekolah low class hanya bisa gigit jari. Barang
tentu hal ini membawa pengaruh disharmoni lingkungan pendidikan.
Kenyamanan dan
keguyuban yang sebelumnya dirasakan oleh para guru berubah menjadi kecemasan,
kecurigaan serta iri hati. Konstruksi harmoni yang sudah lama terbentuk hancur
berkeping-keping. Teologi kerukunan yang mereka bangun roboh dengan sendirinya.
Dengan demikian, ada kecenderungan hegemonisasi yang terintrodusir secara
sistematis di bawah payung materi. Kondisi ini memperkuat tesis Pierre
Bourdieu, bahwa pendidikan cenderung menjadi instrumen reproduksi kelas dan
bukannya instrumen mobilitas sosial.
Makelar
Pilkada
Wacana penghapusan UN dimanfaatkan
oleh oknum yang tak bertanggung jawab untuk memanfaatkan guru dengan tingkat
ekonomi rendah. Mereka dapat membaca bahwa dihapusnya UN berimbas pada
hilangnya pendapatan guru pada agenda tahunan tersebut. Menjelang pemilihan
kepala daerah (Pilkada) banyak siasat yang ditempuh para simpatisan, relawan,
dan tim sukses untuk mengantar seseorang meraih tampuk kekuasaan. Di antaranya,
mereka menggandeng guru untuk aktif berpartisipasi dalam kampanye. Tugas guru
yang strategis sangat potensial dijadikan boneka politik. Guru dapat
difungsikan sebagai penggiring para pemilih pemula untuk menjatuhkan
keputusannya.
Momentum konstitusional bagi rakyat
untuk memilih pemimpin yang jujur, bersih, dan kompeten terkontaminasi oleh
hal-hal yang tak diinginkan. Sarana penentu aktor-aktor pengemudi bangsa
mendapat ancaman serius dari para pembajak ruang publik yang berhasrat mengeruk
keuntungan baik politis, sosial, maupun finansial.
Berdalih mengarahkan siswa pada
“pilihan” yang paling baik dan tepat, guru leluasa memanfaatkan posisinya dalam
mewujudkan ekspresi politik siswa. Guru bisa saja meletakkan identitas siswa
dalam bingkai politik. Di sinilah tercipta jejaring politis yang membentuk
relasi antar berbagai aktor dalam panggung politik. Mobilisasi massa
berlangsung demi meramaikan drama dan sandiwara politik. Dengan demikian,
secara sadar maupun tidak, guru telah menjadi korban politisasi.
Parahnya, politisasi guru tidak
hanya berhenti sampai sini. Beragam modus lahir dengan tujuan menyeret guru ke
dalam pusaran arus kepentingan. Antara lain penyelenggaraan pertemuan guru
dengan tim sukses, upaya menjadikan guru sebagai alat sosialisasi, alih fungsi
Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), kapitalisasi program-program pendidikan,
serta mobilisasi dukungan melalui Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pendidikan.
Modus-modus ini sengaja dimunculkan
demi melempar iming-iming dan janji busuk bagi para guru. Bukan mustahil,
sebagai guru PNS, ada yang berniat menambah pundi-pundi kekayaan melalui jalur
politis. Seberapa pun gaji yang diterima, jika dalam diri guru tersimpan hasrat
“kemaruk”, maka mereka akan menempuh berbagai jalan, termasuk menjadi bagian
dari kampanye.
Belum lagi guru honorer yang terkesan
kurang fokus pada profesinya. Di luar jam mengajar, mereka kerap “nyambi” dalam
berbagai bidang pekerjaan lain. Hal ini dilakukan bukan lantaran kurangnya
kepedulian mereka terhadap masa depan siswa dan perkembangan dunia pendidikan
pada umumnya, melainkan karena kebutuhan hidup yang mendesak. Bagaimana pun,
gaji rendah tak cukup memenuhi kebutuhan seabrek. Tipe guru semacam ini juga
tak luput dari incaran tim sukses. Dengan sekuat tenaga, tim sukses berusaha
mendekati guru honorer.
Gayung pun bersambut. Di tengah
sulitnya membuat dapur terus mengepul, mereka bersedia melancarkan misi
politis. Dalam konteks ini, problem ekonomi dan sosial yang membelit guru
honorer berhasil dimanfaatkan oleh calon kepala daerah guna memperoleh dukungan
sebanyak mungkin.
Yogyakarta, 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar