Dinas Kehutanan dan
Perkebunan (Dishutbun) DIY sedang gencar membentengi eksistensi hutan rakyat
dari ancaman alih fungsi lahan berupa pembangunan permukiman. Saat ini, luas
hutan rakyat di DIY mencapai 74.000 hektar yang tersebar di Gunungkidul,
Bantul, Kulonprogo dan Sleman. Hutan rakyat dikelola melalui 1.700 kelompok
tani dengan rata-rata kepemilikan sebesar 0,2 hektar.
Jika tidak dilakukan
langkah strategis, dikhawatirkan beberapa tahun ke depan lahan hijau berubah
fungsi menjadi area permukiman komersil. Apalagi, pengembang mulai melirik ke
sejumlah lokasi untuk dijadikan perumahan. Dengan berbagai cara, beberapa titik
ingin mereka jadikan sarana mengeruk keuntungan.
Ekses Negatif
Gencarnya alih fungsi
lahan pertanian menimbulkan ekses negatif. Apa yang dilakukan pengembang menyebabkan
terjadinya bencana alam dan merosotnya tanah sebagai sarana produksi pangan.
Sulistyo (2016) menyebutkan bahwa alih fungsi lahan pertanian merupakan
keniscayaan. Salah satu penyebabnya yaitu laju pertumbuhan penduduk yang membutuhkan
tempat tinggal.
Dalam pandangan
Sulistyo, lahan pertanian pangan harus benar-benar diproteksi agar tidak rentan
dialihfungsikan untuk perkembangan industri. Muncul kekhawatiran bahwa arus
modernisasi dan industrialisasi yang mengarah kepada daerah berkembang
dimanfaatkan untuk investasi jangka panjang oleh para pemodal. Konsekuensinya,
lahan pertanian terpaksa beralih fungsi.
Selain itu, ada
keterkaitan antara proteksi lahan dengan upaya menjaga stabilitas dan ketahanan
pangan. Luas lahan yang rawan alih fungsi harus benar-benar menjadi perhatian
serius Pemerintah Daerah DIY, apalagi jika lahan tersebut tergolong potensial
dan produktif.
Di samping meningkatnya angka pertumbuhan
penduduk, terjadinya alih fungsi lahan juga disebabkan minimnya kesadaran
bertani. Hal ini berimbas pada mudahnya masyarakat melepas lahan ke pengembang.
Dahulu kala, mata pencaharian orang Indonesia rata-rata adalah bertani. Profesi
ini digeluti karena pada waktu itu belum banyak pilihan pekerjaan. Kekayaan
alam, demografi, dan kondisi lingkungan mengharuskan mereka mengolah tanah
sebisa mungkin.
Saat globalisasi dan modernisasi
menyentuh hingga wilayah pedalaman, pertanian semakin ditinggalkan. Selain
karena munculnya berbagai alternatif berburu uang, anak muda lebih terobsesi
untuk bekerja sebagai buruh kota. Mereka merasa terpanggil untuk menjadi bagian
dari kehidupan urban. Saat perasaan ini begitu menggebu, mereka mengalami apa
yang disebut dengan “hasrat urban”. Gelimang cahaya perkotaan genap menyilaukan
mata pemuda desa. Muncul kepuasan tersendiri ketika mereka melepaskan identitas
kedesaan dan mulai disebut “orang kota”. Mereka ingin menjadi saksi atas
kemajuan kota-kota besar berikut eksesnya.
Langkah
Konkrit
Bagi mereka, berkutat pada tanah
liat bukanlah pekerjaan yang membanggakan. Petani hanya cocok bagi orang-orang
berumur dan remaja tanpa skill.
Keputusan menjadi petani diambil ketika kondisi seseorang benar-benar terjepit.
Sejak dini, dalam diri pemuda timbul kesadaran untuk “menjaga jarak” dari
cangkul dan sabit. Kurikulum pendidikan membentuk seseorang kurang peka
terhadap alam dan lingkungan. Buku-buku sekolah dan perguruan tinggi dirancang
demi melahirkan generasi yang abai terhadap nasib tanah kelahiran.
Atas dasar inilah,
harus ada langkah konkrit yang diambil Pemerintah Daerah DIY dalam rangka mempertahankan
lahan pertanian yang masih tersisa. Generasi muda harus didorong untuk memiliki
jiwa bertani. Bagaimanapun, di balik pertanian tersimpan keramahan, kesantunan,
dan keharmonisan. Proses tanam dan panen meniscayakan adanya hubungan timbal
balik antara pemilik tanah dan penggarap. Kultur pedesaan yang halus merupakan
imbas dari kehidupan pertanian, di mana fondasinya genap dikokohkan nenek
moyang berabad silam.
Di samping itu, guna membatasi
penggunaan lahan dan meminimalisasi alih fungsi lahan pertanian, Pemerintah
Daerah DIY bisa menerbitkan peraturan daerah (Perda). Melalui payung hukum ini,
sekuat mungkin lahan yang ada dalam suatu wilayah dipertahankan dan dijauhkan
dari tangan pengembang. Alih fungsi lahan semestinya berada dalam pengawasan
ketat. Bilapun terpaksa dilakukan, jumlahnya harus selalu dibatasi.
Yogyakarta, 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar