Dalam catatan Dinas
Kesehatan DIY, sepanjang 2015 tercatat 976 remaja hamil di luar pernikahan.
Jika ditelisik lebih jauh, ternyata angka kehamilan di luar nikah merata di
lima kabupaten/kota di Yogya: Bantul (276 kasus), Kota Yogyakarta (228 kasus),
Sleman (219 kasus), Gunungkidul (148 kasus), dan Kulon Progo (105 kasus).
Banyaknya remaja yang hamil di luar nikah menyebabkan mereka nekat melakukan
aborsi. Dalam kondisi fisik dan mental yang belum siap, boleh jadi orang tua
nekat mengakhiri anaknya sendiri dengan berbagai cara.
Aborsi merupakan
problematika usang dalam dunia kesehatan yang selalu menimbulkan perdebatan
sehingga menimbulkan pro dan kontra. Bagi sejumlah pakar, pengakhiran kehamilan
sebelum janin dapat tumbuh di luar tubuh ibunya merupakan tindakan
kontroversial. Corak pemikiran tradisional menganggap bahwa upaya menggugurkan
kandungan dinilai bertentangan dengan norma sosial, budaya, agama, dan hukum.
Adapun pola pikir modern membuka kemungkinan diperbolehkannya aborsi dalam situasi
tertentu dan dengan berbagai catatan.
Sejumlah kasus aborsi
di negeri ini menggambarkan “fenomena gunung es”. Apa yang disajikan ke hadapan
publik lewat beragam media cetak maupun online
belum sebanding dengan realitas yang terjadi. Klinik pengobatan dan panti pijat
tak jarang membuka layanan praktik aborsi. Praktik aborsi dilakukan oleh
berbagai kalangan masyarakat, mulai artis hingga wong cilik. Itulah mengapa, data-data kuantitatif menunjukkan bahwa
angka kasus tersebut terbilang tinggi dan menunjukkan peningkatan signifikan
dari tahun ke tahun.
Selain membahayakan
janin, aborsi juga mengancam kehidupan ibu. Berdasarkan prediksi WHO, 10-50%
kasus aborsi tidak aman (unsafe abortion)
berakhir dengan kematian ibu. Diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar 20 juta
aborsi tidak aman di seluruh belahan dunia. Dari jumlah ini, 26% praktik aborsi
tergolong legal dan lebih dari 70.000 aborsi tidak aman di negara berkembang
berakhir dengan kematian ibu (Tutik, 2011).
Dua
Pandangan
Problem utama yang
berkaitan dengan kasus aborsi adalah status moral janin. Dalam khazanah
intelektual, muncul para pemikir dengan beberapa pandangan, di antaranya
pandangan liberal dan pandangan konservatif. Kaum liberal diwakili oleh Judith
Jarvis Thomson. Pemikir ini beranggapan bahwa aborsi masih bisa dibenarkan
secara praktis dalam berbagai situasi. Bagaimanapun, janin tidak mampu hidup
melainkan dengan bantuan tubuh sang ibu. Maka, seorang ibu berhak melakukan
aborsi terutama dalam kasus perkosaan, di mana kehamilan dinilai membahayakan bagi
kehidupan ibu.
Berbeda dengan pola
pikir kaum liberal, kaum konservatif justru beranggapan bahwa janin memiliki
kedudukan moral yang tinggi sehingga berhak untuk bernafas. John Noonan sebagai
wakil dari kelompok ini menegaskan bahwa adanya berbagai risiko tidak lantas
menggugurkan perlindungan terhadap keselamatan janin. Hak hidup berlaku tanpa
pengecualian, entah sang janin merupakan hasil korban perkosaan atau karena mengindap
kelainan-kelainan serius. John Noonan berpendapat, pada dasarnya aborsi adalah tindakan
membunuh. Upaya penyelamatan sang ibu atau janin merupakan bentuk kompromi atas
legalisasi pembunuhan.
Munculnya dua pandangan
di atas membuat para dokter dan tenaga medis menghadapi suatu dilema. Di satu
sisi, mereka ingin menjunjung tinggi profesionalitas dengan melayani permintaan
pasien. Di sisi lain, mereka juga harus menanggung konsekuensi. Ancaman moral
dan sanksi sosial telah menanti jika mereka berani menghilangkan nyawa
seseorang. Dalam keadaan demikian, barang tentu mereka mengalami konflik batin
yang mencekam.
Mutual Connection
Baik menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer),
tindakan aborsi tidak diperbolehkan meski dengan berbagai alasan. Siapa saja dilarang
melakukannya. Seseorang yang terbukti melakukan atau sekadar membantu praktik
aborsi akan dikenai pemberatan pidana. Ketentuan ini dapat dilihat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 283, 299, 346, 348, 349, 535, dan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) Pasal 2 dan 1363.
Belakangan ini,
larangan terhadap praktik aborsi dibatasi oleh sejumlah pengecualian. Mengingat
bahwa dalam mengeluarkan putusan, hakim seharusnya tidak hanya mengunakan
argumen hukum. Kasus-kasus aborsi setidaknya memuat mutual connection antara prinsip hukum dengan nilai moral. Belum
lagi, dalam hukum pidana positif Indonesia, ketentuan mengenai hukum aborsi diatur
dalam hukum umum (lex generalis)
berupa KUHP dan KUHPer dan hukum khusus dalam bentuk Undang-Undang Kesehatan (lex spesialis). Untuk yang terakhir,
misalnya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang melegalkan
aborsi.
Meskipun demikian, Stanislaus
Atalim (2011: 318) menilai bahwa aborsi merupakan bentuk lain dari “pembunuhan
yang keji atas nyawa yang tak berdosa”. Nilai sosial, budaya, dan agama yang
mengakar dalam keyakinan masyarakat Indonesia menjadikan aborsi sebagai aib
sosial dan dosa berat.
Yogyakarta,
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar