Lantaran termakan usia,
beberapa Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Kabupaten Aceh Tenggara (Agara) dalam
kondisi memprihatinkan. Rusaknya bangunan antara lain ditandai dengan
langit-langit yang pecah, lantai yang retak, serta cat yang mengelupas. Adapun
minimnya fasilitas bisa dilihat dari sebagian meja dan kursi yang tak layak
pakai. Keadaan demikian tentu mengganggu aktivitas belajar dan mengajar di sekolah.
Tingginya semangat para murid dalam menuntut ilmu kurang seimbang dengan sarana
dan prasarana yang ada.
Motivasi mereka dalam
mengejar cita-cita justru direspons dengan minimnya kepedulian pemerintah terhadap eksistensi lembaga pendidikan.
Padahal, pada masa kolonialisme Belanda, berdirinya “sekolah desa” di Aceh
menunjukkan atensi pemerintah terhadap bidang pendidikan, meski coraknya
ambivalen dan kontradiktif. Di satu sisi, lahirnya sekolah desa turut
mengurangi angka buta huruf. Namun, di sisi lain, kehadirannya juga menunjukkan
bahwa kaum kolonial sekadar berhasrat menyuguhkan citra positif di hadapan rakyat
jajahan.
Persamaan
Hak
Eksistensi sekolah desa
di Aceh menggambarkan fenomena menarik. Langkah penguasa kolonial menghadirkan lembaga pendidikan pada daerah
dengan adat-adat lokal yang begitu kuat tersebut ternyata disertai dengan
dikenalkannya paradigma gender. Budaya patriarki yang didukung oleh tokoh-tokoh
Islam diimbangi dengan dimasukkannya persamaan hak laki-laki dengan perempuan.
Selain itu, ikhtiar mengupayakan pendidikan bagi orang-orang kecil senantiasa
melahirkan pihak pro dan kontra. Uniknya, perbedaan pandang ini tidak hanya
menimpa pihak kolonial, tetapi juga masyarakat setempat.
Pada tahun 1907,
Gubernur Van Daalen memprakarsai kelahiran sekolah desa di Aceh. Lembaga
pendidikan bagi anak-anak perempuan dibangun pertama kali di Ulee Lheue pada
tanggal 1 Mei 1910. Di bawah pemerintah Gubernur Swat, sekolah desa cukup
berkembang. Istri pejabat-pejabat tinggi Belanda turut berkontribusi dalam
upaya meningkatkan kualitas pendidikan kaum perempuan Aceh. Bagi orang-orang kampung
yang terpandang dan anak-anak pegawai rendahan dibangun sekolah rendah lima
tahun (Inlandsche School atau Sekolah
Melayu), di mana para lulusan sekolah desa tiga tahun boleh melanjutkan
studinya ke sekolah ini. Proses pembelajaran mengalami hambatan, lantaran
guru-gurunya yang berasal dari suku Batak dan Minangkabau tidak bisa berbahasa
Aceh, sedangkan rakyat di desa-desa tidak mampu berkomunikasi dengan bahasa
Melayu.
Melalui buku Menuju Sejarah Sumatra: antara Indonesia dan
Dunia, Anthony Reid (2011: 334-335) menjelaskan bahwa pada waktu sekolah
desa dibuka pada awal tahun 1900-an, bahasa pengantar yang dipakai adalah
bahasa Melayu. Tepatnya pada tahun 1932, saat mengkhawatirkan rakyat Aceh yang
mengombinasikan sikap anti-asing dengan nasionalisme Indonesia, pemerintah
kolonial mengganti bahasa pengantar dengan bahasa Aceh. Lantaran mencurigai
bahwa kebijakan ini merupakan siasat politik Belanda untuk mengisolasi Aceh,
banyak elite terpelajar dari daerah serambi Mekah tersebut merasa keberatan.
Perbedaan
Sikap
Lahirnya
sekolah-sekolah dukungan Belanda direspons dengan munculnya kelompok fanatik
dan kelompok luwes. Lantaran tidak mampu memprediksi hasilnya, kelompok pertama
pada awalnya bersikap kaku terhadap pendidikan model Barat tersebut. Bagi
mereka, lembaga pendidikan agama tradisional, yaitu dayah atau deah, sudah
cukup memadai. Sikap ini dikukuhkan dengan mengeluarkan isu bahwa siapa saja
yang belajar di sekolah-sekolah tersebut dianggap kafir. Muncul pula keengganan
penduduk menyekolahkan buah hati, dikarenakan kepercayaan mereka terhadap
pendapat bahwa tangan orang yang pandai menulis huruf latin bakal dipotong di
akhirat. Berangkat dari asumsi inilah, sekolah desa mereka sebut dengan sikula deesa (sekolah dosa). Adapun
kelompok yang luwes justru mengekor langkah pemimpin-pemimpin adat dengan
mendaftarkan buah hati pada sekolah-sekolah bikinan Belanda. (Muhammad Ibrahim,
dkk., 1991: 159-160).
Munculnya respons
positif dan negatif sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa
masyarakat Aceh berbeda dalam menyikapi keadaan. Dipeliharanya nilai-nilai lama
dan diterimanya nilai-nilai baru dalam kehidupan menjadikan mereka tidak selalu
seragam dalam menghadapi realitas. Orang-orang yang berjiwa responsif dan
dinamis akan menerima kehadiran sekolah desa. Adapun mereka yang memegang teguh
tradisi leluhur cenderung menolak keberadaannya. Sekolah desa merupakan
institusi baru yang muncul belakangan setelah masyarakat menaruh kepercayaan
besar terhadap lembaga pendidikan agama. Sejak lama, mereka tumbuh bersama
doktrin dan ajaran yang disampaikan oleh tokoh-tokoh agama melalui institusi
tradisional. Melalui sistem pendidikan yang diterapkan pada dayah atau deah, mereka sangat teguh merawat tradisi.
Berdasarkan buku Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh
(1991: 186), perkembangan sejarah menunjukkan bahwa sekolah desa bukanlah
satu-satunya lembaga pendidikan yang pernah “hidup” di Aceh. Pada akhir
penjajahan Belanda telah muncul beragam jenis pendidikan, baik pendidikan umum
maupun pendidikan swasta. Pendidikan umum dilaksanakan oleh pemerintah mulai
dari sekolah desa (Volkschool) yang
berdiri di kawasan pedesaan hingga MULO yang ada di Kutaraja (Banda Aceh).
Adapun lembaga pendidikan yang diselenggarakan pihak swasta antara lain yaitu
Muhammadiyah dan Taman Siswa serta sekolah-sekolah rintisan masyarakat
setempat, semisal Pasuka Peurelak, Rumah Perguruan Kita, dan Rumah Perguruan
Murid di Takengon.
Bojonegoro, 2018