Beragam respons negatif
lahir setelah Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan bahwa penyandang
disabilitas mental dapat menyumbangkan suara pada saat Pemilihan Umum (Pemilu)
2019 digelar. Meskipun KPU menjelaskan bahwa “orang gila” yang menggunakan hak
pilihnya di Tempat Pemungutan Suara (TPS) harus disertai surat rekomendasi atau
keterangan dari dokter, tetapi suara sumbang mengenai ketentuan tersebut terus
bermunculan.
Bentuk penghormatan dan
perlindungan pemerintah terhadap penyandang disabilitas mental selaku warga
negara dilakukan dengan menyetarakan mereka dengan orang waras. Padahal,
ditempuhnya langkah ini justru rentan mengesampingkan keberadaan warga negara
lainnya. Siapa saja yang dianggap sehat rohani boleh jadi merasa tersinggung
lantaran telah disamakan dengan orang gila. Dalam konteks ini, ikhtiar
menghargai hak warga negara rupanya diwujudkan dengan mengebiri hak warga
negara lainnya.
Jabatan
Publik
Di negeri ini,
pembicaraan tentang keikutsertaan penyandang disabilitas mental dalam aktivitas
kewarganegaraan memang selalu menarik perhatian khalayak. Bagaimanapun, siapa
saja yang berpenyakit kejiwaan layak memperoleh perlakuan khusus. Ketentuan ini
genap dikukuhkan oleh pemerintah melalui produk hukum. Norma-norma hukum
mengatur mereka secara berbeda dibanding orang normal. Mengingat, dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, pembedaan keduanya merupakan
suatu keniscayaan.
Merujuk catatan
historis, pihak kerajaan pernah mengeluarkan larangan penyandang disabilitas
mental menjadi kepala desa. Apabila peraturan perundang-undangan belakangan
menentukan syarat-syarat kepala desa, maka peraturan perundang-undangan dahulu
kala menetapkan orang-orang yang tak diperkenankan terpilih menjadi kepala
desa. Sebagian normanya mengatur bahwa orang gila tak pernah diizinkan
memperoleh jabatan publik.
Dalam buku Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat
Mangkunegaran, Wasino (2008: 131) menulis ketentuan yang digariskan dalam Rijksblad Mangkunegaran Nomor 10 Tahun
1917. Peraturan yang dimaksud menyebutkan siapa saja yang tidak boleh diangkat
menjadi kepala desa, yaitu: (1)
Perempuan, (2) Orang yang belum mencapai usia dewasa, (3) Mantan kepala desa
dan pejabat yang diberhentikan secara tidak hormat, (4) Para penggemar judi, pamadad, atau pecandu minuman keras, (5)
Orang-orang yang dianggap kurang mampu menjalankan tugasnya sebagai kepala desa
karena sakit, berusia lanjut, lemah fisik atau mental, serta alasan lain yang
dinilai kurang sesuai bagi kepentingan publik, (6) Orang-orang yang pernah menerima
hukuman selain denda uang dalam vonis yang dijatuhkan tanpa mengantongi grasi atau
ampunan, (7) Orang yang tidak bermukim di desa bersangkutan, kecuali dalam
keadaan mendesak atau darurat.
Namun demikian,
penyetaraan orang gila dengan orang normal pernah termaktub dalam lembaran
sejarah. Bagaimanapun, pemerintah dalam sejumlah hal pernah menyejajarkan
keduanya. Ternyata sikap ini sejak lama genap mengundang atensi publik. Salah
satu sasaran kritik pada waktu itu adalah apa yang digariskan dalam Inlandsche Gemeente Ordonnantie (IGO) dan
Inlandsche Gemeente Ordonnantie
Buitengewesten (IGOB). Oleh sebagian kalangan, sejumlah ketentuan di
dalamnya dinilai merendahkan harga diri, kehormatan, serta martabat perempuan.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan tentang desa yang terbit pada masa
kolonial tersebut, kaum Hawa dikategorikan sederajat atau setingkat dengan
anak-anak dan lelaki bodoh atau gila, sehingga tidak berhak menjadi kepala
desa.
Itulah mengapa, Gerakan
Wanita Indonesia (Gerwani) menyuarakan pencabutan IGO/B yang melarang perempuan
selaku kepala desa. Kampanye tersebut digencarkan dalam rangka menolak adanya
pengorbanan hak perempuan dalam ranah publik. Betapa selain tradisi yang
berkembang, kaum Hawa juga direndahkan sedemikian rupa oleh kebijakan pihak
penjajah. Perlawanan yang dilancarkan oleh Gerwani terhadap kaum kolonial
antara lain disulut terbitnya larangan perempuan menduduki kursi pemimpin lokal
tersebut. Pada bulan Agustus 1957, seorang perempuan pertama terpilih sebagai
kepala desa di Buloh, Blora, Jawa Tengah. Ia merupakan anggota PKI bernama Siti
Hartini (kemudian bernama Sri Darningsih). Sayangnya, setelah mengantongi
kepercayaan publik, ia justru dilarang menduduki jabatannya. (Saskia Eleonora
Wieringa, 2010: 241).
Mantra
Kegilaan merupakan
ancaman yang cukup menakutkan bagi setiap orang. Celakanya, penyakit tersebut
ternyata dapat ‘dipanggil’ melalui ritual tertentu. Memanfaatkan mantra jaran goyang, misalnya, seorang
perempuan leluasa dibuat tergila-gila atau gila (dalam arti sebenarnya). Apa
yang terjadi pada kalangan suku Using di Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan
bahwa objek pembacaan mantra tersebut sengaja ditundukkan atau ditaklukkan.
Tujuannya adalah menjadikan sasaran tiba-tiba jatuh cinta pada subjek. Dalam
konteks ini, mantra jaran goyang
versi tertentu berdampak lebih buruk dan besar ketimbang versi-versi lainnya.
Pada versi pertama, orientasi
atas keadaan tergila-gila tertera pada larik 9-11, yang menyebutkan “kalau gila
tidak gila” (Kadhung edan sing edan),
“kalau sinting tidak sinting” (Kadhung
gendheng sing gendheng), serta “kalau teler tidak teler” (Kadhung bunyeng sing bunyeng). Semuanya
menjelaskan adanya “kondisi-antara” (kondisi di tengah-tengah), yakni kondisi
antara gila dan tidak gila, antara sinting dan tidak sinting, serta antara
teler dan tidak teler. (Heru S.P. Saputra, 2007: 160-161).
Mengutip sumber yang
sama, pada versi kedua, orientasi atas keadaan tergila-gila ditemukan pada larik
13, yang mencantumkan “kalau gila tidak gila” (Kadhung edan sing edan). Sebagaimana versi pertama, kutipan tersebut
juga menunjukkan adanya “kondisi-antara”, yakni kondisi antara gila dan tidak gila.
Pada versi ketiga, orientasi atas keadaan gila tercantum pada larik 13, yang
berbunyi “kalau gila jadi gila” (kadhung
edan sida edan). Hal tersebut menegaskan bahwa melalui beberapa versi
mantra jaran goyang, penderitaan yang
dialami oleh objek bukan hanya tergila-gila, melainkan juga gila ‘sungguhan’.
Dalam penelitiannya
berjudul Fungsi Sosial Tari Jaran Goyang
Aji Kembang pada Masyarakat Using Kabupaten Banyuwangi, Ewinda Sukma Dewi (2014:
37-38) mengutip petikan salah satu versi mantra ajian jaran goyang yang dimaksud: Bismillahirrahmanirrahim/
Niat isun matek aji Jaran Goyang/ Sun goyang ring tengah latar/ Sun sabetake
gunung gugur/ Sun sabetake lemah Bangka/ Sun sabetake segara asat/ Sun sabetake
ombak sirep/ Sun sabetake atine jebeng beyine/ Kadhung edan sing edan/ Kadhung
gendheng sing gendheng/ Kadhung bunyeng sing bunyeng/ Aja mari-mari/ Kadhung
sing isun hang nambani/ Sih-asih kersane Gusti Allah/ La illaha illahllah muhammadur
rasullullah.
Terjemahan bebasnya: Bismillahirrahmanirrahim/ Aku berniat
menerapkan keampuhan jaran goyang/ Kuterapkan
di tengah halaman/ Kucambuk tanah menjadi gersang/ Kucambuk laut air hilang/ Kucambuk
ombak menjadi jinak/ Kucambuk hati kekasih/ Jika gila, jangan gila dalam arti
sebenarnya/ Jika sinting, jangan sinting dalam arti sebenarnya/ Jika mabuk,
jangan mabuk dalam arti sebenarnya/ Jangan pernah sembuh/ Jika bukan aku yang
menyembuhkan/ Jatuh cintalah berkat kekuatan Gusti Allah/ La illaha illallah muhammadur rasulullah.
Senjata
Dalam taraf tertentu,
rupanya kegilaan menjadi senjata ampuh yang digunakan kalangan pribumi melawan
kebengisan dan kebiadaban pihak penjajah. Suku Samin yang menunjukkan sikap,
perilaku, serta tabiat orang gila menjadikan pemerintah kolonial menyerah
lantaran tak mampu mengatasi mereka. Perlawanan tanpa kekerasan yang
ditunjukkan oleh Suku Samin cukup tampak ketika suatu hari patih menuntut
seorang petani untuk membayar pajak.
Jurnal Prisma edisi 8 Agustus 1983 mengabadikan
percakapan antara keduanya. Patih yang dimaksud bertanya, “Apa kamu gila atau
pura-pura gila?” “Saya tidak gila atau pura-pura gila,” jawab si petani. “Kamu
biasanya bayar pajak, kenapa sekarang tidak?” cecar patih. “Dulu itu dulu,
sekarang itu sekarang, kenapa negara tak habis-habisnya minta uang?” si petani
bertanya balik.
Pegawai kolonial tersebut
lantas berkata, “negara mengeluarkan uang juga untuk penduduk pribumi. Kalau
negara tak mempunyai cukup uang, tak mungkin merawat jalan dengan baik.” Karena
tiada jalan yang diaspal memakai uang pemerintah di kampungnya, si petani bertukas,
“kalau menurut kami keadaan jalan-jalan itu tidak mengganggu kaki, kami akan
membetulkan sendiri,” jawabnya. Patih yang tak sabaran itu lalu membentak, “jadi
kamu tak mau bayar pajak?” “Wong Sikep tak kenal pajak," tegas si petani.
Taruhan Bola Pasaran Terbaik
BalasHapus