Menjelang Pemilihan
Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019, muncul beberapa
istilah dalam jagat politik yang segera menjadi bahan pembicaraan khalayak,
salah satunya ‘politik genderuwo’.
Lahirnya istilah ini
merupakan respons atas gencarnya sejumlah politisi yang gemar menakuti rakyat
dengan bermacam pernyataan ngawur,
irasional, dan cenderung bombastis. Padahal, bila ditinjau secara mendalam,
dilontarkannya pernyataan tersebut bukannya menyumbang pencerahan, tetapi
justru terkesan membodohi rakyat.
Bagaimanapun, kata-kata
yang dirangkai sebagai materi propaganda dapat mengancam keharmonisan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Narasi yang disusun menjadi
bahan provokasi rentan mengundang kekhawatiran, ketakutan, serta kecemasan tak
berdasar di kalangan akar rumput (grass
root).
Dengan demikian, di
samping optimisme publik terhadap fondasi kebangsaan bisa memudar, rakyat juga
mudah terpapar isu hoaks dan fitnah. Dicetuskannya pernyataan oleh sebagian
elite politik sebenarnya lebih pada upaya menjatuhkan lawan politik ketimbang
menyuguhkan data dan fakta sebagai bagian dari ikhtiar mencerdaskan bangsa.
Di negeri ini,
pembahasan mengenai genderuwo bukan
dianggap muskil. Mengingat, kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia tak
mungkin terlepas dari hal-hal transendental. Dalam taraf tertentu, apa yang
susah dicerna logika turut mewarnai sosiologi dan psikologi masyarakat sejak
masa silam. Kecenderungan ini terutama ditemukan pada kehidupan desa yang cukup
kental dengan perkara gaib.
Etos
Tradisional
Globalisasi dan
modernisasi yang menyentuh beragam bidang kehidupan manusia rupanya tidak
lantas menghilangkan etos tradisional. Ketika nilai-nilai usang dan warisan
pemikiran nenek moyang masih menyelimuti cara berpikir manusia, legitimasi
pemimpin lokal kerap dihubungkan dengan kehadiran makhluk astral.
Hal ini antara lain
terwujud dalam kepercayaan publik terhadap kelayakan seseorang menjadi kepala
desa. Diangkatnya seseorang menjadi pemimpin bertaraf lokal tersebut bukan
berdasarkan kompetensi atau kapasitas menyelenggarakan pemerintahan desa,
melainkan kemampuannya menggarap hamparan tanah yang berpenghuni makhluk gaib.
Merujuk Sadikin dan
Sofwan Samandawai (2007: 31-32), di lingkungan masyarakat Desa Pangur, Kebumen,
Jawa Tengah, tersebar cerita menarik tentang tanah bengkok yang dikhususkan
bagi kepala desa. Menurut masyarakat setempat, tanah jabatan tersebut dianggap wingit atau angker lantaran mempunyai
‘penunggu’. Bahkan, muncul keyakinan bahwa tanah bengkok ini hanya bisa digarap
oleh siapa yang layak menduduki kursi kepala desa. Orang yang tidak pantas
menjabat selaku kepala desa bakal merasa dihantui terus-menerus oleh makhluk
halus melalui mimpi atau penyakit.
Kuatnya kepercayaan
masyarakat terhadap eksistensi makhluk gaib turut menentukan pola, bentuk,
serta corak agraris di sejumlah daerah. Upaya para petani melindungi ladangnya
sekaligus menghasilkan panen berlimpah dilakukan dengan melibatkan dukun yang
berperan mengusir hantu-hantu yang berkeliaran di sekitar lokasi perkebunan.
Bagi masyarakat Desa Kundi, Sumatera Selatan, kepercayaan tersebut cukup
menonjol dalam upacara adat Ceriak Laut.
Orang-orang yang
bermukim di sekitar Pulau Bangka tersebut memegang teguh perkataan dukun laut
dalam ritual Ceriak Laut. Selain menyelamatkan sampan atau perahu yang melewati
Tanjung Tadah, penyelenggaraan ritual juga bertujuan untuk menghalau ‘setan
pengganggu’ ladang perkebunan yang datang dari seberang. Sebelum ritual
digelar, dukun laut terlebih dahulu menetapkan waktu yang tepat untuk diumumkan
kepada masyarakat setempat.
Menurut tradisi ini,
tiga hari menjelang pelaksanaan ritual, dukun laut bersama tiga orang pembantu
pergi ke Tanjung Tadah untuk tidur di tengah hutan. Di sana, mereka menanak
nasi kuning dan ketan hitam serta memanggang ayam. Aneka masakan tersebut
sengaja dipersembahkan kepada roh-roh nenek moyang dan keturunan leluhur dukun
laut. (Djoko Pramono, 2005: 147).
Bentuk
Penghormatan
Sejak lama,
kultur-kultur Jawa terikat erat dengan sikap manusia terhadap ‘makhluk nir
kasat mata’. Makhluk ini kerap dipandang oleh masyarakat Jawa selaku penghuni
semesta yang berhak diakui keberadaannya. Bahkan, banyak kegiatan bercorak
religi, terutama selamatan, diadakan
dalam rangka menghormatinya. Tak berlebihan apabila antropolog Clifford Geertz
menaruh perhatian besar terhadap genderuwo.
Hal ini menandakan bahwa persepsi masyarakat tentang makhluk astral dapat
menjadi objek kajian yang menarik.
Dalam buku Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam
Kebudayaan Jawa, Clifford Geertz menyebutkan bahwa genderuwo acap dijumpai pada malam hari, terutama di tempat-tempat gelap
dan sepi. Jenis memedi yang paling
umum ini pada umumnya menampakkan diri dalam wujud orangtua, kakek, anak, atau
saudara kandung, baik hidup maupun mati. Genderuwo
biasanya lebih senang mempermainkan ketimbang menyakiti manusia, semisal
menepuk pantat perempuan, mengambil pakaian seseorang dan membuangnya ke
sungai, melemparkan batu ke atap rumah, serta menunjukkan diri dengan wajah
menyeramkan dari balik pohon kuburan.
Namun demikian,
peneliti asal Amerika Serikat tersebut juga mencatat bahwa betapapun senangnya
dengan lelucon, genderuwo terkadang
perlu diwaspadai karena dinilai berbahaya. Dalam situasi tertentu, genderuwo bisa saja bertindak melampaui batas
dengan menyerupai suami seorang perempuan sebelum tidur dengannya.
Tentu saja penyamarannya
lolos dari pengetahuan manusia. Itulah mengapa, walaupun pada galibnya berpenampilan
‘baik’, tetapi genderuwo tak boleh
disepelekan oleh manusia. Alasan inilah yang melahirkan larangan bagi setiap
orang untuk membicarakannya. Bagaimanapun, aktivitas ini rentan diketahui oleh
makhluk halus sehingga menjadikannya murka.
Bojonegoro, 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar