Lantaran diduga
mencabuli santrinya, seorang kiai di Desa Kasilir, Kecamatan Wuluhan, Kabupaten
Jember digeruduk 50 orang. Massa menuntut pertanggungjawabannya setelah
mengetahui bahwa si santri genap mengandung 4 bulan. Apabila dugaan tersebut
benar, maka tentu apa yang diperbuat telah menjatuhkan kehormatan, kewibawaan,
serta kharisma kiai.
Bagi masyarakat
perdesaan, ulama atau kiai adalah sosok yang dimuliakan, dihormati serta
dianggap mempunyai banyak kontribusi. Sejak dahulu hingga sekarang, orang desa
senantiasa mengakui eksistensi kiai. Betapa khazanah peradaban negeri ini genap
diwarnai dengan posisi dan fungsi kiai dalam ruang publik. Fondasi Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) semakin dikukuhkan dengan hadirnya kiai
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Penentang
Kolonialisme
Hengkangnya penguasa
kolonial dari bumi pertiwi berutang budi pada kiai. Sikap, perilaku, serta
sepak terjang kiai merupakan ancaman nyata bagi penjajah Belanda dalam ikhtiar
menyelundupkan misi kolonialisme. Hasrat menundukkan, menguasai, serta mengeruk
kekayaan Nusantara memperoleh tantangan serius dari kiai. Dengan berbagai cara,
kiai menebarkan bibit-bibit perlawanan rakyat, supaya tiang kolonialisme di
negeri ini roboh. Nafsu berkuasa kaum kolonial ternyata diimbangi dengan
militansi kebangsaan yang ditunjukkan oleh kiai.
Perlawanan yang
tersusun secara rapi pertama kali tercipta pada penghujung abad ke-19. Pada
tahun 1895, berdasarkan catatan Kuntowijoyo, pihak Belanda kerap mencurigai
Kiai Semantri atau Kiai Lanceng yang diduga menghembuskan perasaan anti
kolonial kepada penduduk desa Prajan, subdistrik Darmacamplong, Sampang,
Madura.
Kecurigaan menjadi
alasan pemerintah Belanda menugaskan sejumlah orang untuk beberapa kali
menangkapnya, meskipun akhirnya menerima kenyataan pahit. Dalam berbagai
kesempatan, masyarakat desa nekat mengulurkan perlindungan terhadap Kiai
Semantri sekaligus mengusir utusan Belanda tersebut. (Komaruddin Hidayat dan
Putut Widjanarko [peny.], 2008: 446).
Patriotisme
dan Nasionalisme
Tumbuhnya jiwa
patriotisme di negeri ini tak luput dari getolnya kiai dalam meniupkan semangat
perjuangan pada generasi muda. Bagaimanapun, rasa cinta terhadap tanah air
mesti dibuktikan dengan jiwa dan raga. Demi menegakkan martabat dan harga diri
negara (nation), kiai mewariskan nilai,
prinsip, serta etos mulia. Upaya mempertahankan kedaulatan negara dari cabikan
musuh diwujudkan melalui konsep nasionalisme. Selain peneguhan jatidiri dan identitas
kebangsaan, harapannya agar ikatan kebersamaan dalam diri setiap warga negara
senantiasa terpelihara.
Patriotisme dan
nasionalisme semakin menggema ketika Resolusi Jihad terbit. Mengutip buku Traditionalist Muslims in A Modernizing
World: The Nahdlatul Ulama and Indonesia’s New Order Politics, Factional
Conflict and The Search for a New Discourse karangan Martin van Bruinessen
(1999: 60), imbas Resolusi Jihad cukup terasa di Jawa Timur. Keluarnya resolusi
ini direspons secara langsung dengan pembentukan pasukan non-reguler bernama
Sabilillah.
Pada 10 November 1945,
kaum muda NU terlibat aktif dalam pemberontakan massal. Mengenakan jimat
pemberian kiai desa, mereka melancarkan perlawanan terhadap tentara Inggris
yang mendarat di Surabaya. Secara tidak langsung kiai desa berandil besar dalam
memompa motivasi para pejuang dan memantik heroisme Arek-arek Suroboyo.
Berdasarkan pengamatan Martin, aksi menggerakkan massa di medan juang juga tak
terlepas dari sumbangsih kiai. Sebelum menyampaikan “pidato perjuangan” dalam
salah satu siaran radio, Bung Tomo ternyata terlebih dahulu mengunduh nasehat
Kiai Hasyim Asy’ari.
Figur
Sentral
Kiai menduduki peran
sentral dalam kehidupan sehari-hari. Terutama bagi para pengikut Nahdlatul
Ulama (NU), kiai dinilai memiliki kharisma, kewibawaan, serta kepribadian luar
biasa. Kaum nahdliyin dikenal sebagai kelompok masyarakat yang sangat
tergantung pada kepemimpinan “kiai panutan”. Menyitir pernyataan Masdar F.
Mas’udi, “Mereka bergantung pada kiai, bukan saja saat hendak memilih jalan
(ibadah) untuk menuju Tuhannya, melainkan juga saat memilih jalan (politik)
untuk membangun dunianya, membangun masyarakat dan negaranya”. (Khamami Zada
dan A. Fawaid Syadzili [ed.], 2010: 9).
Kiai memenuhi unsur
kepemimpinan lokal yang senantiasa mengantongi kepercayaan publik. Dalam banyak
hal, orang desa bersandar dan berpegang teguh kepadanya. Pandangan-pandangannya
seolah selalu dinanti dalam merespons beragam problematika kehidupan. Merujuk Paradigma
Islam: Interpretasi untuk Aksi, kepemimpinan
komunitas Islam di wilayah perdesaan biasanya berasal dari elite agama, yaitu
guru, haji, dan kiai.
Penulis buku ini,
Kuntowijoyo (2008: 205) mensinyalir bahwa meskipun bercorak informal,
kepemimpinan elite agama mesti bisa mengurusi pendidikan agama, melaksanakan
ritual-ritual keagamaan, serta memberikan pelayanan sosial, semisal melontarkan
petuah, menempuh arbitrase dalam perselisihan sosial, bahkan mengobati orang
sakit. Mereka juga merupakan simbol solidaritas sekaligus pembela kepentingan
umat.
Bojonegoro, 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar