Globalisasi yang merangsek ke berbagai pelosok negeri berimbas pada
terciptanya sistem, mekanisme, serta pola perekonomian bercorak modern. Hal ini
antara lain ditandai dengan menjamurnya mal hingga wilayah pedalaman. Selain
berdampak positif, fenomena tersebut rupanya juga mengundang bermacam ekses
negatif.
Kehadiran mal genap meluluhlantakkan sendi-sendi pasar tradisional yang
menampung toko-toko sederhana penyedia bermacam kebutuhan masyarakat.
Bagaimanapun, kios-kios kecil yang awalnya memiliki pelanggan tetap pasti kalah
bersaing dengan mal mewah dan elegan. Padahal, dari sumber perekonomian dengan
hasil cupet inilah orang desa mampu
bertahan hidup.
Berdirinya mal juga menyebabkan lahan pekerjaan di desa menyempit.
Selain sebagian besar mal berada di bawah kepemilikan orang luar, beberapa
karyawannya juga bukan masyarakat setempat. Sejumlah data di lapangan menggambarkan
bahwa mereka yang dipekerjakan justru orang-orang tanpa “hubungan psikologis”
dengan lokasi mal. Sehingga, penduduk asli merasa direndahkan bahkan
dinihilkan.
Penghormatan terhadap siapa saja yang berhak menjadikan tempat
kelahirannya selaku sarana mengais rejeki seolah hilang. Orang desa yang
semestinya dapat bekerja di tanah kelahiran akhirnya terpaksa merantau ke luar
daerah. Karena sumber penghasilan di desa kurang tersedia, mereka menjadi
pekerja serabutan atau buruh perusahaan. Dalam konteks inilah, kawasan urban
menjanjikan alternatif saat desa tak lagi menyuguhkan solusi.
Kerukunan Sosial
Gaya hidup, image, serta citra
positif yang ditawarkan oleh mal menyebabkan pasar tradisional semakin “sepi
pengunjung”. Kondisi yang bersih dan rapi serta tampilan meyakinkan ternyata
menjadikan pusat-pusat perbelanjaan masa kini lebih diminati. Para konsumen tak
lagi mempersoalkan harga barang. Bagi mereka, kenyamanan dan pelayanan
memuaskan merupakan prioritas utama.
Padahal, secara tidak langsung, merebaknya mal hingga kawasan perdesaan
turut mengukuhkan nilai-nilai individualisme. Lantaran harga barang sudah
dibandrol sedemikian rupa, tak ada proses tawar-menawar dalam semua transaksi.
Di sinilah tingkat interaksi manusia selaku makhluk sosial mengalami
kemerosotan. Komunikasi yang terjalin di antara mereka hanya berdasar kehendak
dan kepentingan sesaat. Dalam taraf tertentu, hubungan penjual dan pembeli
terputus setelah barang yang dibeli genap melewati proses pembayaran.
Hal di atas berbeda dengan pasar tradisional yang senantiasa memuat
komunalisme. Betapa setiap transaksi menyimpan prinsip-prinsip kebersamaan.
Mengutip Heri Priyatmoko (2018), corak pasar tradisional bukanlah “transaksi
bisu” sebagaimana dijumpai pada mal. Proses tawar-menawar yang dikonsepsikan
Clifford Geertz dengan istilah sliding
price (harga luncur) tersebut sebenarnya meneguhkan kerukunan sosial secara
alami.
Proses-proses yang dilalui oleh penjual dan pembeli di sana berlangsung
guyub, rukun, serta saling menghormati. Dalam berbagai kesempatan, etos
kekeluargaan berusaha dijunjung tinggi oleh semua pihak. Uniknya, sering pula
transaksi terjadi antarpenjual. Di samping mengulurkan pertolongan, munculnya
transaksi sesama penjual juga bertujuan memberikan motivasi. Dorongan semacam
ini sangat penting bagi keberlangsungan usaha mereka. Bagaimanapun, semangat
berburu rupiah turut dipupuk oleh para pelaku usaha dalam mencapai
kesejahteraan bersama.
Langkah Strategis
Apa yang berlaku di pasar tradisional berperan memangkas perilaku
egoistis dalam diri manusia. Bertolak belakang dengan mal yang merefleksikan
diraihnya kepentingan pribadi, eksistensi pasar tradisional mencerminkan
tercapainya hajat hidup bersama. Itulah mengapa, perlu adanya revitalisasi
pasar tradisional sebagai usaha mengokohkan fondasi harmonisme.
Apalagi, pemanfaatan pasar selaku medium terselenggaranya pembangunan
kawasan perdesaan genap digariskan dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 83
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa pembangunan
kawasan perdesaan salah satunya meliputi “pemberdayaan masyarakat desa untuk
meningkatkan akses terhadap pelayanan dan kegiatan ekonomi.”
Pasal 19 undang-undang yang sama juga menyebutkan beberapa kewenangan
yang dimiliki desa, antara lain kewenangan lokal berskala desa. Kewenangan ini
digunakan untuk mengatur dan mengurus kepentingan di level akar rumput (grass root), mulai dari tambatan perahu,
pasar, tempat pemandian umum, saluran irigasi, sanitasi lingkungan, pos
pelayanan terpadu, sanggar seni dan belajar, perpustakaan, embung, hingga
jalan.
Revitalisasi pasar tradisional membutuhkan setidaknya dua langkah
strategis. Pertama, melalui pengaturan regulatif. Baik Peraturan Desa (Perdes)
maupun Peraturan Daerah (Perda) harus menetapkan norma-norma pendirian mal.
Ketentuan ini penting guna membatasi jumlah mal dalam suatu wilayah. Fakta
menunjukkan bahwa hancurnya ekosistem, rendahnya ikatan sosial, serta
tergusurnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dikarenakan membludaknya mal
dan tergerusnya pasar tradisional.
Kedua, melalui kebijakan yang progresif dan futuristik. Pemerintah desa
bisa bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam upaya mewujudkan “pasar millenial”
dengan tetap menampung aneka kearifan lokal, etos gotong royong, serta semangat
persaudaraan. Pengelolaan pasar dengan menampilkan “wajah lama” barangkali
memang kurang relevan. Bagi generasi masa kini, pasar cenderung dianggap
terbelakang.
Apalagi, tersebar opini publik bahwa pasar identik dengan bangunan kuno,
kumuh, disertai aroma kurang sedap. Persepsi inilah yang layak diluruskan. Ke
depan, pasar mesti dihadirkan dalam tampilan yang enak dipandang serta
mempunyai fasilitas memadai. Lahirnya nilai-nilai baru dalam kehidupan manusia
meniscayakan interpretasi ulang terhadap realitas. Dengan demikian, modernisasi
dalam segala aspek kehidupan tidak serta-merta menonjolkan hal-hal yang datang
belakangan sekaligus mengubur warisan pemikiran nenek moyang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar