Menjelang
pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019,
desa layaknya
pasar yang sangat ramai. Tersedia banyak barang dagangan bagi siapa saja yang berkunjung
ke sana. Sebagai calon pembeli, orang desa tak bosan-bosannya menerima berbagai
tawaran yang cukup menggiurkan.
Kaum
elite politik yang memosisikan diri selaku penjual membujuk, menggiring, atau
sekadar meyakinkan orang desa untuk memborong barang dagangannya. Dengan
bermacam intrik, upaya merebut atensi masyarakat bakal terus digencarkan selama
transaksi belum genap berjalan.
Zoon
Politicon
Saat
seseorang menukarkan kepercayaan dengan apa yang tersaji di hadapannya inilah elite
politik bertepuk dada. Bagaimanapun, mereka merasa berhasil melancarkan
misinya. Di sinilah proses jual beli kerap berlangsung kurang transparan dan tidak
berimbang lantaran konsumen seringkali dirugikan. Adanya alasan-alasan tertentu
membuat elite politik enggan memberitahukan kondisi komoditas sebenarnya. Kiat
menyembunyikan fakta dilakukan dengan menyajikan beraneka bentuk manipulasi.
Padahal,
saat itulah kejujuran, integritas, serta harga diri manusia sebagai makhluk
sosial (zoon politicon) dipertaruhkan.
Apabila nekat mengorbankannya, mereka benar-benar jauh dari label mulia, bahkan
layak dicap hina. Sehingga, transaksi yang semestinya menjadi domain kedua
belah pihak atas dasar “suka sama suka” cenderung berada di bawah kendali
penjual. Imbasnya, orang desa menjadi korban penipuan karena kualitas barang
dagangan tidak sesuai dengan harga yang dibandrol.
Sejak
lama, desa menjadi lapak strategis untuk menampilkan komoditas dalam bungkus program-program
jangka pendek, menengah, atau panjang. Kepentingan-kepentingan politik dikemas cukup
menawan dalam aktivitas-aktivitas seremonial yang mampu memancing simpati
publik. Aksi sosial digelar demi menggaet dukungan penuh dari tokoh setempat, stakeholder, kawula muda, serta pihak
lainnya. Motif-motif individu dihidangkan melalui wajah-wajah sejuk, bijak,
alim, santun, sederhana, dermawan, serta Pancasilais. Untuk menampilkan
karakter sesuai yang diinginkan, beberapa topeng telah disiapkan.
Citra Positif
Desa
menampung ambisi-ambisi temporer orang-orang yang bernafsu mengeruk keuntungan
sesaat. Desa dipenuhi dengan keinginan-keinginan materialistis mereka yang merindukan
kebesaran dan kemuliaan bercorak artifisial. Betapa impian dan cita-cita
dangkal tentang kehidupan digantungkan pada desa. Demi meraih tujuan ini, orang
desa sengaja disilaukan dengan berbagai penampilan meyakinkan, tetapi
sesungguhnya menyesatkan.
Oleh
elite politik, usaha menampakkan citra positif ditempuh dengan memasang baliho,
spanduk, serta poster di sejumlah titik dan sudut desa. Kiat memancing
perhatian khalayak dilakukan dengan mengumbar slogan dalam beberapa kegiatan formal
maupun informal. Desa menjadi ajang pertarungan politik berbiaya murah dengan
hasil memuaskan. Mereka yang bertarung di atas gelanggang politik menilai orang
desa mudah dikelabui lantaran tingkat pendidikan mereka lebih rendah dibanding
orang kota.
Dalam
taraf tertentu, kampanye yang sukses selalu melibatkan desa. Janji-jani politik
senantiasa menjadikan orang desa selaku obyeknya. Waktu kampanye digunakan sebaik
mungkin oleh elite politik untuk blusukan
ke wilayah terpencil serta jauh dari berbagai kebisingan. Keberhasilan para
calon pemimpin dan pemegang jabatan publik menebar image antara lain dikarenakan mereka mampu mendekati sekaligus
mempengaruhi orang desa.
Siapa
saja yang bermukim di wilayah pedalaman menjadi sarana tercapainya hasrat berkuasa.
Mengaku sebagai pembela hak-hak warga desa, elite politik giat menebar pesona
demi meraup suara. Celakanya, setelah elite politik menduduki kursi kekuasaan,
orang desa segera dilupakan dan kembali mengakrabi penderitaan. Untuk ke sekian
kalinya warga desa menjadi korban manisnya janji politik yang terlanjur
diobral.
Sikap Kritis
Pemilihan
Umum (Pemilu) yang diselenggarakan lima tahun sekali seharusnya menjadikan
orang desa semakin dewasa. Jangan sampai pengalaman-pengalaman buruk sebelumnya
kembali dialami oleh rakyat kecil dalam momentum serupa. Satu periode kepemimpinan
atau masa jabatan presiden dan anggota legislatif semestinya memberikan waktu yang
lebih dari cukup bagi orang desa untuk mengevaluasi pilihannya.
Dalam
konteks inilah, pertimbangan matang tentang siapa yang berhak dipercaya pada
ajang demokrasi tersebut merupakan keniscayaan. Orang desa dituntut untuk
selalu berpikir kritis dan reflektif tentang siapa yang layak menjadi nahkoda
negeri ini. Jangan sampai pilihan jatuh kepada para perompak yang bukannya mendatangkan
keselamatan, namun justru menabur benih-benih kesengsaraan.
Bojonegoro, 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar