Judul:
Dari Seberang Perbatasan (Cerpen Pilihan Riau Pos 2012)
Penulis:
Hasan Junus, dll
Editor:
Purnimasari
Terbit:
November 2012
Penerbit:
Yayasan Sagang, Riau
Tebal:
vi + 240 halaman
Judul buku ini dipetik
dari tulisan Hasan Junus yang terbit pada 1 April 2012. Selain karena karyanya
memang patut diapresiasi, Hasan Junus merupakan sastrawan Riau yang sangat
berpengaruh. Dari kata pengantarnya disebutkan bahwa ia adalah pewaris darah
Raja Ali Haji. Sedangkan ayahnya, Raja Haji Muhammad Yunus Ahmad, dianggap sebagai
anggota pengarang Rusyidah Klab, perkumpulan pengarang Riau yang meletakkan
fondasinya pada penghujung abad ke-19 dan berjaya pada awal abad ke-20.
Menurut UU Hamidy, di
antara keunggulan Hasan Junus yaitu kemampuannya merambah kegiatan kreatif para
pengarang dunia dan berhasil membukakannya kepada pengarang muda di Riau.
Berbekal pena, tokoh yang berpulang pada Jum’at, 30 Maret 2012 ini menghidangkan
tulisan mengenai pengarang-pengarang dari berbagai belahan dunia, baik Eropa,
Amerika, Timur Tengah, bahkan Amerika Latin. Sehingga, muncul seloroh bahwa
jika ada pengarang Riau tidak mengenalnya, maka akan diragukan
kepengarangannya. (halaman v-vi)
23 cerpen yang
terkumpul dalam buku ini merupakan pilihan dari 36 cerpen yang terbit di Riau
Pos (rubrik Pujangga) setiap hari Minggu sejak Januari hingga September 2012.
Beberapa nama terbilang produktif mengirimkan karyanya, semisal Jefri al Malay,
M. Badri, dan Musa Ismail. Akan tetapi, dengan alasan keterwakilan penulis,
hanya satu cerpen dari masing-masing mereka yang dimuat dalam buku ini.
(halaman vi)
Berikut disajikan ulasan
ringkas sebagian di antara cerpen-cerpen yang dimaksud:
Buah tangan Chairil
Gibran Ramadhan “Si Gila” terbilang
unik dan ganjil. Cerpen ini mengisahkan tentang perempuan gila berumur lebih
dari 37 tahun. Gemar sekali ia berkeliaran di stasiun kereta dekat kantor wali
kota. Anehnya, setiap kali diberi makanan, ia justru membuangnya dan membentak si
pemberi. Oleh orang-orang, ia dijuluki dengan Mpok Sarap, Bu Beringas, dan Si Sangar,
karena kepada siapa saja ia nekat berbuat kasar. Bahkan, ia suka melemparkan
kotoran kucing ke kaca rumah terdekat dengannya. Akan tetapi, kebrutalannya
akhirnya harus berakhir, ketika suatu hari ia mati ditabrak kereta api.
Cerpen Khrisna
Pabichara bertajuk “Berhenti Merawat
Luka” diangkat dari secuplik memoar Dahlan Iskan. Reputasi Dahlan Iskan
yang semakin melesat karena pernah memegang jabatan Direktur Utama PLN dan kini
menjadi menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyebabkan banyak pengarang
tertarik untuk memotret perjalanan hidupnya dalam sebuah karya. Diceritakan
dalam cerpen ini, bahwa di tengah-tengah himpitan hidup, Dahlan kecil
mengidamkan sepasang sepatu dan sepeda. Demi mewujudkannya, sejak kelas 3 SR,
ia bekerja sebagai kuli nyeset. Ia giat menabung upahnya, agar suatu saat dapat
membeli dua mimpi terbesarnya. Namun, karena kebutuhan ekonomi begitu mendesak,
sebagian besar hasilnya diberikan kepada sang ibu. Pada suatu pagi, Dahlan sangat
terkejut ketika tidak menemukan nasi tiwul untuk dimakan. Padahal, biasanya
ibunya selalu menyediakan untuk sarapan. Lebih tergeragap lagi, waktu ia
menemukan ibunya berjongkok, terguncang-guncang menahan batuk, sambil memegangi
batang pisang. Sesaat kemudian, ibunya terjengkang dan dilarikan ke rumah sakit.
Meskipun demikian, Dahlan tetap tabah menghadapi cobaan. Di akhir cerita, ia
mengabadikan apa yang dialaminya dalam buku catatan. Menulis, baginya,
merupakan terapi mujarab dalam rangka mengurangi beban hidup.
Adapun M. Arman AZ,
melalui cerpen “Kota Tanpa Kepala”,
mempersembahkan cerita yang tergolong absurd dan menerjang batas-batas logika.
Bagaimana tidak? Dalam paragraf pembukanya, penulis mengenalkan sebuah kota
berpenghuni manusia-manusia tanpa kepala. Sesuai keyakinan yang beredar, awal
mula kelahiran kota tersebut adalah sejak pemimpinnya mati misterius. Lantas
diangkatlah pemimpin baru, guna menggantikan kedudukannya. Akan tetapi,
terbitlah penyesalan, karena setelah dipilih, ia tidak becus membenahi kesejahteraan
penduduk. Akhirnya mereka berbondong-bondong memprotes kebijakan sang pemimpin serta
mencaci namanya dan merobek-robek gambar dirinya di koran. Merasa jengah,
pemimpin itu membentuk pasukan khusus untuk mengamputasi kepala seluruh
penduduk. Tentu saja, anggota keluarga dan orang-orang kepercayaan sang
pemimpin luput dari bahaya tersebut. Setelah melaksanakan hasratnya,
kepala-kepala yang telah dipenggal dijadikan tumbal untuk bendungan, jembatan,
dan gedung pencakar langit di kota itu. Rupanya, seorang pemuda berhasil
menyelamatkan diri. Berlari ke tempat lain, ia membentuk perkampungan baru yang
indah. Tak lama kemudian, ia pun didapuk menjadi pemimpin. Namun sayang,
ternyata lambat laun ia menjadi ‘tangan besi’, yang memimpin dengan kejam. Dari
sinilah terbersit gambaran bahwa para tiran akan selalu lahir di muka bumi,
untuk melancarkan kebengisan dan melakukan penindasan.
Selain ketiga cerpen di
atas, masih banyak lagi cerpen yang patut dinikmati, seperti: “Kampung Surga” (Hermawan Aksan), “Pulang” (Isbedy Stiawan), “Tanah Merah” (Delvi Yandra), dan “Sekolah Babi” (Riki Utomi). Hal ini
dikarenakan para penulis sanggup memadukan berbagai macam karakter tokoh, persoalan,
serta alur dalam racikan kata-kata memesona. Lebih dari itu, pesan-pesan yang
disampaikan bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Buku ini layak
dimiliki, karena menyajikan beragam tema yang dikemas dalam cerita-cerita yang
renyah. Ditambah lagi dengan pemilihan warna cover yang pas dan kertas yang
berkualitas.