Tekad
membujang sepadat hayat sudah membulat. Pedusi serta titisan hanya lekas
membatasi langkahnya dalam menabur nilai-nilai kehidupan. Alangkah repotnya,
jika ia harus meletakkan diri selaku tetua keluarga. Pun bukan main susahnya,
ketika waktu yang diyakini sebagai pedang itu lekas menebasnya, sebab mau tidak
mau, ia layak mengucurkannya demi membangun pondasi rumah tangga yang kokoh. Atas
dasar itulah, ia mengubur nafsu dalam-dalam dan bergiat mengkhidmatkan diri
kepada sesama manusia.
Ia
miskin pekerjaan tetap. Kerja apa pun ditenggak, asalkan lambung tersingkir
dari busuk. Janggalnya, hal tersebut bukanlah keterpaksaan, melainkan sebutir
pilihan yang genap menggumpal dalam kepalanya. Lelaki sepuh dengan misai abu-abu
itu memang menggandrungi rute kehidupan semisal demikian. Maka, kerap ia mencari
reranting kering di tengah belantara. Atau, suatu kali, ia tawarkan jasa kepada
tetangga untuk menjemput air bersih di sumur tua. Atau, pada kali lain, ia asuh
ratusan domba milik Toyer, saudagar terkaya dari daerah Juyi.
Sama
sekali ia tak tertarik dengan harta. Barangkali, dalam mindanya, harta adalah
sesuatu yang najis; ringan mengantar manusia berburu nista. Oleh sebab itulah,
ketika untuk sepekan masih bisa makan, maka ia berehat kerja; jadi penganggur
berat. Kerja dilakukan supaya bulir nafas mau bertiup dan bibir jantung masih
berdegup. Itu saja.
Horram
gemar ngeluyur ke serata kota. Tak luput pula daerah terpencil dengan penduduk
yang selalu kelaparan. Baginya, menularkan sebiji kebijaksanaan lebih mulia
dari sekadar ongkang-ongkang kaki seraya merenungi nasib dan menanti ajal.
***
Di
pagi setengah siang, kaum muda berbondong-bondong dengan menampakkan gemerigi
yang semringah. Usut punya usut, rupanya mereka hendak menyimak ceramah sang
guru, menelan habis wewejangnya, memperhatikan berbiji kata yang berhembus dari
lidahnya. Lima atau enam hari yang lalu, ketika tanpa sengaja memergoki lelaki
berumur seabad berbincang lembut dengan Rohat, Vino, dan Loppe di dekat pasar, mereka
terpesona dengan bahasanya yang mendayu-dayu serta gaya berpikir yang cemerlang.
Apalagi, apalagi didukung dengan penampilan yang terlampau bersahaja—berbusana
putih lusuh dan bertelanjang kaki—agaknya, ialah makhluk penebus dunia dari berbagai
ragam derita.
Sejak
itulah, mereka tertarik. Alun-alun kota dijelmakan pusat bagi Horram untuk menggumamkan
apa saja yang menurutnya baik. Mencerap pesan yang dihunjamkan, para mustamik
merasakan kesejukan luar biasa. Segesit kilat, jemari waktu menyebarkan kabar
hangat. Kabar mendaratnya manusia suci pembagul kebaikan. Manusia yang membekali
mereka dengan percikan kebajikan. Pun bakal menyelamatkan mereka dari jurang
kehancuran.
Di
hari kesekian, di antara kerumunan, teronggok pemuda berwajah cahaya. Berdiri tegap
dengan dada membusung serta tulang yang kuat. Tak mudah menemukan fisik manusia
seperti itu. Maklumlah. Sebagian besar warga kota itu bertubuh kerontang dengan
kulit kusut dan kaki layu. Kemujuran barangkali sedang menyapa. Berkat
kelihaiannya, berhasil ia menudungi fisik yang mendekati sempurna itu. Ialah Nohaja,
seseorang yang menggulirkan misi sebagai kaki tangan penguasa. Dari bibir raja,
sekaligus ayahnya, ia mengantongi perintah untuk mencari mafhum kegiatan apa
yang membuat para pemuda begitu bersemangat. Raja sangat geram. Hampir saban
hari, darahnya memanjat ubun-ubun. Gereja megah yang dibangun beberapa
dasawarsa silam, kini sepi pengunjung.
“Manusia
tercipta dari tanah. Maka, tidak sepatutnya ia congkak. Berdiri teguh di atas
tubuh manusia lainnya.” Kalam itulah yang melesat gesit dari katup mulut Horram.
Baru menadah sebaris kalimat saja, perut Nohaja mual-mual. Betapa makhluk buruk
rupa yang disanjung-sanjung itu telah menyindir pemerintahan sang ayah, yang
rajin menarik pajak seenaknya, menerapkan hukuman semaunya, juga menggiring semua
orang untuk beribadah di gereja yang didirikan. Namun, demi menggayuh tujuan, tekun
ia mengunyah nasihat Horram.
Sesetel
telinga Nohaja mendidih setiap kali menerima limpahan ajaran dari Horram. Pada
hari perdana, ia tampak lesu dengan berjamak kali mengernyitkan dahi dan mengaitkan
alisnya. Pulang ke istana, di sepanjang jalan, ia memekik “hazzez”. Umpatan paling jorok dalam bahasanya.
Esoknya,
terpaksa ia tunaikan lagi titah sang ayah. Mulai ia belajar kiat merawat
kesabaran. Sial! Usahanya nihil. Betapa pernyataan-pernyataan Horram selalu
memancing amarah, menusuk-nusuk dada, serta memporakporandakan kegigihan. Saat itulah,
ia memilih kabur dari jejeran pengunjung dengan terlebih dulu berpamitan kepada
Horram. Ada kewajiban lain yang harus segera dilaksanakan, begitulah dalihnya. Ahh…
Kekhawatiran mendesaknya mengalah. Lebih baik meloloskan diri dari kegelisahan ketimbang
menerbitkan suasana yang memanggil kecurigaan.
Siang
itu… siang berkalung awan itu, ia kembali mengikuti pertemuan yang baginya terlalu
membosankan. Jumlah pemuda yang datang kian membludak. Kini, pesertanya
merambah anak-anak dan orang-orang dewasa. Mereka berkerumun layaknya komplotan
lalat mengerubungi makanan. Diseruduk keadaan, batinnya protes, “di gereja ayah
saja, belum pernah berjejalan orang sebanyak ini. Rahasia apa yang dipendam
oleh si renta?” Berangnya berlipat tatkala Horram berkecek ringan, “Jadilah
kalian manusia merdeka! Jangan sekali-kali mudah digoyahkan oleh apapun,
termasuk kekuasaan.”
Walakin,
lambat laun, jejaka yang terbiasa menjalani hidup tanpa kekurangan tersebut oleng.
Kira-kira di hari kesembilan, hati mungilnya jangkap mengamini apa yang
dilontarkan Horram. Sungguh, pohon keyakinan yang ditanam ayah dalam dirinya
compang-camping, mengenaskan, dan hampir saja tumbang.
***
“Ayah,
bolehkah aku bersoal padamu?”
“Tentu,
Anakku. Tentu.”
“Adakah
yang ayah lakukan kepada rakyat selama ini sesuai dengan hati nurani?”
Raja
tergeragap. Seingatnya, tiada suah ia dicekoki pertanyaan rumit semacam ini. Tenggorokannya
serasa tersumpal, sehingga untuk mengeluarkan sepotong kata saja ia kesulitan.
Nohaja
mulai lagi mencubit kegalauan ayahnya. “Kenapa ayah? Kenapa ayah urung
menjawab?”
Fakir
kuasa raja melayani pertanyaan anaknya. Raut mukanya merah bara. Sepasang
tanduknya tumbuh. Mengencangkan geraham, ia memekik lantang, “siapa yang
mengajarkan kau bertanya demikian? Sebagai anak yang dididik baik-baik, kurang
pantas kau meragukan perbuatan ayah. Katakan! Siapa yang mencoba memengaruhimu,
Anakku?”
“Berarti
dugaanku terbukti. Sengaja ayah menyembunyikan kebusukan. Sehingga, untuk
sekadar menjawab soal sederhana, ayah terlihat marah. Sangat marah.”
Sepemakan
sirih kemudian, Nohaja keluar tanpa memohon izin. Malas ia melanjutkan
pembicaraan yang berbelit-belit. Pembicaraan yang mudah menjadikannya semakin
tak percaya kepada pejantan yang tunai menumpuk keburukan.
Malamnya,
raja mengundang para penasihat kerajaan. Ia meminta kepada mereka untuk menghunus
masukan guna mengatasi aroma pemberontakan yang disemburkan Nohaja.
“Seribu
maaf, Baginda. Menurut hamba, Pangeran Nohaja lebih baik diusir dari istana.
Itulah satu-satunya cara terbaik. Hamba yakin, jika dibiarkan bertahan, ia bakal
menggulingkan kekuasaan Baginda.” Seseorang berjanggut lancip menggelontorkan
kaulnya.
“Benar,
Baginda!” Beberapa sisa lainnya berucap serentak.
***
Keputusan
sang ayah disambut dengan suka cita. Berbekal seadanya, Nohaja menunggang kuda,
melesat ke hutan Yemme. Di loka sunyi itulah ia bermukim. Loka baru yang
menyajikan ketentraman jiwa. Tentu, ia merasa berdosa jika menetap satu atap
dengan penguasa yang menikmati kesengsaraan rakyat.
Di
sana ia tidak sendirian. Bersama Horram, ia melahap malam dengan menyesali segenap
kesalahan. Begitu fajar mengepakkan sayap, keduanya berjalan puluhan kilometer
menuju alun-alun kota, seraya mencecar kalimat-kalimat bijak ketika melewati
perkampungan.
Sebelum
matahari benar-benar mengapung, keduanya sudah sampai di tempat tujuan. Horram
dan Nohaja membungkam kegelisahan dengan menancapkan petuah-petuah bestari ke
dada warga. Demi mengenyangkan jiwa warga, sesekali, mereka juga membuka
dialog. Hal itu mereka lakukan hingga senja bertandang. Dan, saat mega merah mengerling,
mereka bersiap balik ke tempat tinggal.
Raja
mengetahui bahwa anaknya turut serta dalam ikhtiar penghancuran kewibawaannya. Ia
terlihat lelah dan tampak lemah. Di selembar pagi yang menggigil, prajurit-prajurit
rapi berbaris di depan istana. Atas amanat raja, mereka semua berdedai-dedai hendak
merobohkan gereja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar