Syrum; pemuda buruk
rupa dengan dagu lancip dan bibir tebal. Suaranya yang parau mengantar jari
udara malas menyentuh ubun-ubunnya. Sedangkan Bihse merupakan perawan elok
tiada tara. Cahaya yang bergelantungan di bola netranya memicu burung-burung
homu gemar menyumbang lagu untuknya. Rumah keduanya saling berdekatan. Dan bukan
sebutir kebetulan, jika keduanya mempunyai ikatan kekerabatan. Benar. Ayah
Syrum adalah kakak tertua dari ibu Bihse.
Awalnya, Syrum kecil
adalah anak periang yang suka bermain dengan Bihse. Jika matahari belum genap
melata, Syrum akan mengajak sepupunya itu menghabiskan waktu di taman belakang
rumah. Di sana mereka memetik keindahan bunga hyaar atau berburu capung mirett
yang masih terlelap. Kerap juga keduanya bermain petak umpet. Suatu hari, pernah
pandangan Bihse tak mampu menjangkau di mana letak persembunyian Syrum. Disergap
kesal, pungkasnya Bihse menjerit dan menangis sejadi-jadinya. Tak ayal, Syrum
terpaksa menampakkan diri. Sebab kejadian itulah, Bihse menaruh jengkel
setengah mati kepada Syrum. Namun kejengkelan tersebut nyatanya mudah raib kala
ia bertembung lagi dengan Syrum di esok hari. Apa sebab? Karena, jika Bihse
dirundung sedih, katup mulut Syrum rajin melempar cerita-cerita unik dan
menggelitik. Cerita tentang kenapa capung mirett berwarna merah jingga. Kenapa
bunga hyaar hanya mau mekar jika ditiup angin utara. Kenapa tanah kebun Paman
Lodan menyimpan ribuan cacing. Juga rimbun lagi kenapa-kenapa yang lainnya.
Dengan kelihaian berkisah, Syrum ringan mengusir kesedihan yang teronggok di
hati Bihse.
Betapa hari-hari Syrum
dan Bihse selalu diliputi kegembiraan yang sangat. Kegembiraan yang belum tentu
dapat diketam ketika cinta mereka terhalang istiadat nenek moyang.
***
“Mengapa kau belum mau
menikah, anakku?”
Syrum membisu tatkala menangkap
buah kalam dari sang ibu. Sebenarnya telinga si cebol sudah terbiasa menelan pertanyaan
yang mempersoalkan statusnya. Dan semisal biasa pula, ia juga rajin
mengembalikan pertanyaan dengan jawaban sekenanya: “Belum waktunya, Bu.” Atau
“Belum siap, Bu.” Atau pernah juga karena terdesak, lidahnya berkecek: “Belum
ada calon yang pas.” Begitulah, ada saja dalih yang membenarkan mengapa ia betah
memelihara keperjakaan.
Akan tetapi, itu hari,
Syrum hanya mematung. Ya, mematung dengan dahi berkerut dan lubang-lubang tubuh
tiba-tiba berpeluh. Lelaki berumur 30 tahun itu merasa berdosa kepada seseorang
yang menetaskan dan merawatnya dengan luapan kasih sayang. Betul-betul keterlaluan!
Guna menyembunyikan keadaan, rela ia membohongi ibu sekaligus perasaan sendiri.
Sang ibu bingung mencerap
sikap anaknya. Tidak biasanya ia melihat wajah Syrum tampak gugup menyambut
pertanyaan. “Apa ada yang salah?” Batinnya mendesis. Sececah kemudian, dengan
lembut, ia menghibur bujangnya: “Ya sudah. Kalau memang belum siap, ibu juga
tak akan mendesak.”
Puan bermata kelereng
itu berbalik, hendak menuju dapur. Mau menunggui api tungku yang tengah membakar
ikan tangkapan suaminya. Belum jangkap kakinya menggulirkan 3 langkah, ia
berhenti ketika menadah pengakuan Syrum. “Aku cinta Bihse, Bu.”
Seketika, hati ibu bergemuruh.
Bulir kata yang dihembuskan Syrum naga-naganya membuat sesetel liang telinganya
seperti dialiri air mendidih yang direbus selama tiga jam.
***
Entah rasa apa yang membekuk
hati Bihse. Bermula dari perjumpaan-perjumpaan di taman, kepalanya enggan menjauh
dari bayangan Syrum. Sering ia menandaskan malam dengan menganyam khayalan. Khayalan
yang mendera giginya tersenyum, membayangkan kebersaaman dengan Syrum. Juga
khayalan yang menerapnya terisak-isak, jika mengandaikan nasib tragis menyapa
keduanya. Akhir-akhir ini, ia benci tidur. Benci tidur? Benar. Ia gemar berdoa supaya
bisa memirsa Syrum dalam tidurnya. Sialnya, mulai mata berpejam hingga kokok
ayam bersahutan, tiada suah ia bermimpi bertemu dengan Syrum.
Tampaknya, ketampanan
bukanlah satu-satunya penyebab seorang puan menanam kagum pada lelaki. Itulah
yang terjadi pada Bihse. Ya. Ia tergila-gila pada Syrum, bukan sebab fisiknya. Mengapa?
Karena wajah Syrum tercipta jauh dari sempurna. Ah, bukan, bukan. Tepatnya,
jauh dari kata tampan. Tubuhnya yang pendek serta berperut buncit membuahkan
penampilan kurang proporsional. Tak ayal, beberapa teman memanggilnya Si Burung
Hantu.
Yang mengundang Bihse
terpesona adalah biji-biji kebaikan yang menyembul dari jiwa Syrum. Alangkah
banyak jejaka bercakap durja, namun hatinya busuk tiada kira. Syrum; sosok lelaki
yang berlembut kata, bertanggung jawab, dan senang membantu jika Bihse terjepit
masalah. Baginya, kriteria suami yang diidamkan tertimbun dalam diri Syrum.
Entah berapa ratus
pejantan melanting lamaran kepada Bihse. Apesnya, mereka semua pulang tanpa
membagul apa-apa. Pernah suatu kali, putra pejabat besar hendak melamar.
Membawa berkarung-karung emas, kuda-kuda terkuat dari daratan Bohuy, dan beberapa
gaun cantik luar biasa. Sesuai keyakinan, Bihse akan terbujuk dan terbuai
dengan mahar yang dipersembahkan. Namun, di luar syak wasangka, Bihse
menolaknya mentah-mentah. Hal serupa menimpa pula pada pangeran rupawan dari
negeri seberang. Betapa ia layak menanggung wirang, karena bukan sekadar
lamarannya ditolak, akan tetapi Bihse juga malas menampakkan batang hidung kala
putra raja tersebut bertandang ke rumahnya.
***
“Jika aku mengetahui
kau berjumpa lagi dengan sepupumu itu, kita semua akan berpindah ke kaki gunung
Xemmu. Paham?”
Menyerap kemarahan sang
ayah, serata badan Syrum menggigil. Sungguh, tiada pernah ia berangan, kalau
permasalahan akan sekusut ini. Bila didesak memilih, maka sudah barang tentu ia
akan menjemput ajal daripada berjauhan dengan Bihse. Sadar ia, bahwa ayahnya
tak salah. Pun mafhum, kalau leluhur penduduk Vemus menerbitkan larangan
hubungan antara dua insan yang masih terjalin tali kekeluargaan. Semenjak
balita, kerap ia mengunyah alkisah kuno dari Kakek Furgan. Alkisah yang
mewartakan, jika sepasang pemuda-pemudi berdarah serupa nekat berbagi hati,
maka langit bakal memasang murka dan mengguyurkan hujan berupa batu raksasa.
Walakin, ia juga miskin kuasa menyanggah perasaan sendiri. Perasaan yang
membuncah, terengah-engah, rindu meneguk cairan cinta dari Bihse.
Malam itu, malam dengan
desiran gelombang angin itu, berbaring di atas tikar tipis, memandangi
langit-langit kamar, Syrum bernala-nala bagaimana mengetam cara agar tetap
bertembung dengan Bihse. Namun, hingga fajar melebarkan sayap, rupanya otaknya sukar
meringkus kiat terbaik guna menggapai keinginan.
Syrum gelagapan. Ia
mengerti bahwa Bihse sedang menunggu di taman. Padahal, sejak hari itu, ia
wajib mengindahkan buah cakap ayahnya. Jika sang ayah memergokinya di taman,
pasti ia—juga Bihse—bakal memetik penderitaan. Sesuatu yang selama ini selalu
ia takutkan.
Ketika surya melambung
kira-kira sepenggalah, terbitlah sebulir siasat. Dengan cerdik, ia memohon izin
kepada ayah untuk meruncit makanan ternak yang hampir habis. Dengan cara itu,
pasti ayahnya lekas memperbolehkannya keluar. Pagi itu, keberuntungan memang
berpihak pada Syrum. Mengantongi izin dari ayah, Syrum pura-pura berlenggang ke
arah toko di mana ia mau membeli makanan ternak. Delapan hasta sebelum loka
tersebut, tergeletak jalan tikus yang memautkan antara jalan besar dengan
taman. Akhirnya, Syrum menitinya lantas mendekati taman penuh riang. Setakar
taksiran, Bihse sudah berada di sana, mengharap kehadiran dirinya. Dan, nyata
benar. Bihse sibuk menanti seorang diri, dengan raut gelisah.
“Maaf, aku terlambat. Bihse,
kita harus segera menemukan cara lain agar tetap bisa berhubungan. Ayah
membenci hubungan kita. Jika ia tahu anaknya bertemu denganmu di taman ini, ia
akan memisahkan kita berdua. Bagaimana?”
“Hmmmm….”
***
Halangan yang kian
membentang urung menyulut keduanya menyerah. Malah, dengan segenap daya beserta
upaya, mereka bersigap menerjangnya. Apa pun yang terjadi.
Di celah tersebut mereka
berdua membisikkan bahasa cinta. Celah mungil yang terdapat di tengah-tengah
tembok rumah Syrum dan Bihse rela menjadi saksi atas kemurnian cinta mereka.
Dengan tulus, celah tersebut menolong dua insan pemuja cinta.
Syrum dan Bihse jangkap
bersepakat, bahwa waktu paling tepat untuk menjalin hubungan adalah beberapa jenak
usai tengah malam mendarat; saat ternyaman bagi manusia guna melayani
dengkurnya.
Indah nian, mengungkap
isi hati tanpa seorang pun mengganggu. Dan, malam-malam mereka lalui dengan
kebahagiaan. Hingga pada khatamnya, di malam ke 71, hubungan itu terendus oleh
ayah Syrum. Lanang sepuh bercambang lebat itu menabung curiga, kenapa
akhir-akhir ini anaknya rajin tidur di pagi hari. Sebab keganjilan itulah, ia mengawasi
semua ulah si anak dan mendapati bahwa Syrum tega mendurhakainya.
“Baiklah. Jika ini
keinginanmu, akan ayah kabulkan. Lusa, kita semua beranjak ke gunung Xemmu.”
***
Tunai bertukar pikiran,
Syrum dan Bihse memutus untuk tetap melancarkan cinta terlarang. Ya. Cinta yang
dalam adat Vemus bersicepat merengkuh kemurkaan. Mereka berdua yakin, bahwa kemurkaan
langit segan datang, jika dalam hati keduanya terpendam cinta suci. Dan dengan
hasrat membara, keduanya kabur dari penjara rumah masing-masing. Mereka berjalan
telanjang kaki ke serata bumi; sekadar memadu tali kasih yang sama sekali tiada
direstui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar