Kidung Pertapa
matahari
angslup ke utara
beberapa
pena masih
melekatkan
tubuh dengan
jemari
para pertapa
helai
kertas kuning
menatap
mesra ceruk mata
menjabat
mantap penuh khidmat
siang,
malam
saling
bertatapan
enggan
bergantian
terkesima
dalam bahagia
- yang utuh -
alif laam miim
bibir
mungil mengeja dengan lembut
alif laam miim
lidah
surga yang diturunkan
ke
tanah kotor, berbau anyir
meruah
kesucian
memetik
kefanaan
ah,
pertapa
adakah
diri ini
hendak
teladani dirimu
dalam
segala hening
dalam
jagat yang bising
Yogyakarta,
2012
Merawat Jejak
jangkap
lima belas tahun
berlari
kecil ke ubun gunung
berderap
ke hutan paling lindung
demi
mencengkau buah hakikat
terbungkus
pohon yang pekat
di
mana-mana aku meraba
di
mana-mana aku mengiba
merindukan
wujud sejati
wajah
hamba teduh-sunyi
pelawatan
belum rampung
jalan-jalan
terus kusibak
jarak,
waktu, kuinjak
mengawal
cahaya menampak
dengan
binarnya yang gagah
siapakah
di antara mereka
berani,
menawar diri
antar
pada bilik hujan,
petak
awan, ruang halilintar,
serambi
pojok bumantara,
loka
mampir para senja,
rela
berteman, sudi berkawan
akan
nikmati sayap burung
insang
ikan dari laut kuning
dan,
aku suapkan kata
hingga
ceruk telinga
: terima kasih,
atas segala riuh dan pedih”
Yogyakarta,
2012
Pekik Nun di Samudra
berlayar
sepotong diri
senyampang
sebelas tahun
mengantar
hati cekung
menggenap
serba limbung
o,
burung-burung, tolonglah
agar
aku menjejak lautan
dengan
gerombol gelombang
dan
angin yang melambai-lambai
dayungku
ini
telah
menginjak air terjal,
karang-karang
menggumpal,
ikan
yang pura-pura terkapar
bagaimana
hingggap daratan
jika
perahu terus menggerung
punggung
layar batuk-batuk
tanpa ampun
hei,
manusia
kirimkan
untukku
sehelai
kertas lusuh
serta
sejumput jelaga
demi
riwayatkan bencana
pada
teman, sanak keluarga
agar
disisakan rasa yang sama
agar
disisihkan kenang yang rimba
bagi hidup yang riuh guna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar