“Kau harus percaya, Arycine. Kau harus percaya bahwa aku akan kembali dan meminangmu.”
Itulah markah perpisahan antara Sadalus dan Arycine. Dua anak Adam yang sedang dimabuk kasmaran. Sadalus sadar, bahwa menundukkan pasukan Gomu bukanlah perkara mudah. Namun, bagaimanapun, ia tetap berupaya mengulurkan keyakinan pada tambatan hatinya.
Arycine memeluk erat-erat tubuh Sadalus. Jemarinya seakan enggan lepas. Dagunya yang runcing menempel di pundak Sadalus. Betapa getirnya ia. Hamparan pipinya becek digenangi air tumpahan dari dua netranya.
“Arycine sayang. Sanggupkah kau menungguku?”
Puan berambut gelombang itu mengangguk. Mengangguk? Ya, miskin kuasa lidahnya mengalirkan sebiji kata. Sebulir isyarat terkadang lebih dahsyat dari sekadar buah cakap.
“Tersenyumlah.. Tersenyumlah, Arycine. Karena hanya dengan melihatmu tersenyum, aku bisa berangkat ke medan perang dengan tenang.”
Gigi Arycine tak sanggup berpura-pura. Sekeras apa pun usaha menghapus gundah, nyatanya masih nihil. Malah, tangisnya kian membuncah dan merenyuhkan suasana. Pertembungan dua insan itu lebih banyak diwarnai air mata.
Udara membeku. Cahaya bulan meredup. Rerumputan bungkam. Dan, hening. Mereka turut mengulum kesedihan yang memantul dari hati sepasang kekasih.
***
“Hari ini kita semua layak waspada. Ini merupakan perang terbesar yang bakal kita hadapi. Kalian tahu? Pasukan Gomu berkisar 120 ribu. Sedang jumlah pasukan kita hanya 40 ribu. Itu pun termasuk mereka yang sakit dan terluka. Bisa jadi, sekitar 650 orang tak ikut berperang.” Suara Sadalus menggema. Di tengah padang Fozcha, ia memberi pengarahan pada anak buahnya.
“Perhatikan! Pasukan kita bagi tiga: pasukan pemanah, pasukan pembawa tombak, serta pasukan pembawa pedang. Masing-masing pasukan wajib berpencar.”
“Kenapa kita tak beradu kekuatan saja bersamaan, layaknya pertempuran-pertempuran sebelumnya?” Verhin, si juling, menyela.
Dengan tangkas, Sadalus melempar jawaban. “Ini lain. Kali ini berbeda dengan pertempuran-pertempuran kemarin. Jumlah musuh kita tiga kali lebih besar. Betul-betul tak sebanding. Harus ada siasat tepat guna menaklukkan lawan.”
Sejenak, Sadalus bernapas panjang. Sesetel alisnya mengait. Gerahamnya merapat. Genggaman tangan kanannya kian mengencang. Itu kali, amarahnya sukar diredam.
“Diamlah dulu! Atau kau kuperintahkan menjelaskan strategi ini.”
“Baik, ksatria.”
“Dengarkan! Pertama, pasukan pemanah. Mereka adalah orang-orang yang punya kelebihan dalam memanah. Siapa saja yang belum lihai benar, maka jangan sekali-kali ikut bergabung di dalamnya. Saya ulangi, siapa pun yang belum benar-benar lihai, ia tidak boleh bergabung. Pasukan pemanah menempati hutan Jymer. Tugasnya yaitu menahan pasukan Gomu agar tidak masuk ke lembah Pohan. Ingat! Orang-orang yang tergabung dalam pasukan pemanah tidak boleh lengah. Harus selalu berada di posisi. Bagaimana pun keadaannya.”
“Borras.” Sadalus memanggil si jangkung bercambang tebal. “Kaulah pemimpin pasukan pemanah. Arahkan mereka sesuai kemampuanmu.”
“Kedua, pasukan pembawa tombak. Semisal pasukan pertama, pasukan ini terdiri dari mereka yang ahli dalam bidangnya. Ya. Cuma si lihai dalam membidikkan tombak. Jangan sampai ada sebagian di antara kalian berpura-pura cekatan menggunakan tombak. Ini bukanlah permainan. Ini perang agung yang patut dilayani dengan perjuangan. Apa tugas pasukan pembawa tombak? Menyerang orang-orang Gomu jika berhasil memasuki lembah Pohan. Pasukan pembawa tombak bertempat di pinggiran lembah Pohan. Cermat-cermat ucapanku! Pasukan ini harus tetap berada dalam barisan. Jangan ada yang terburu-buru membantu pasukan pemanah. Sesulit apapun situasi. Sebelum orang-orang Gomu kelihatan, tak ada yang berpindah ke tengah lembah. Kalian boleh bergerak, apabila sudah menerima intruksi. Pasukan ini kupercayakan pada Reyyco. Semua yang terhimpun dalam pasukan pembawa tombak, haruslah mematuhinya.”
Sambil membasuh keringat, dengan berapi-api, Sadalus melanjutkan penjelasan. “Ketiga, pasukan pembawa pedang. Pasukan ini menampung semua prajurit yang belum terhimpun dalam pasukan pemanah maupun pasukan pembawa tombak. Aku paham, bahwa sejak kecil kalian sudah dilatih bagaimana cara menggunakan pedang. Dan saat inilah.. Saat inilah, aku ingin mengetahui, adakah ayah kalian berhasil mendidik anaknya dengan baik. Ketahuilah! Dari dulu, pasukan kita terkenal unggul dalam melesatkan pedang. Jangan buat leluhur kita malu atau kecewa. Tunjukkan, bahwa kalian memang prajurit pedang terhebat. Untuk pasukan ini, aku sendiri yang bertindak selaku pemimpin.”
***
Di malam menggigil itu, 330 bujang sibuk mengasah senjata. Sesuatu yang didaulat sebagai modal utama di medan laga. Tentunya, selain keberanian, mental teguh, serta strategi ampuh. Bila senjata—isi panah, tombak dan pedang—tersebut genap tajam, lekas mereka menaruhnya di tempat yang disediakan. Kermuel tampak mengacung-acungkan telunjuk, mengarahkan orang-orang bekerja. Wajar jikalau ia membanting tulang, memeras pikiran. Sebab, tanggung jawab persiapan prajurit Vebr teronggok di pundaknya.
Sementara itu, di waktu yang sama, beberapa prajurit Vebr mengerjakan hal lain. Ratusan kantong berisi arang mereka panggul ke depan tenda Loppiye. Setelah semua terkumpul, 215 orang ditugaskan membagi-bagikan ke tenda. Ya, benda yang seakan miskin guna itu terpaksa dimanfaatkan oleh pasukan Vebr untuk berperang. Esok pagi, sebelum fajar belum jangkap mendarat, mereka mengoleskannya pada rambut, kumis, cambang, juga jenggot; sampai tiada lagi warna putih atau kelabu dijumpai. Ini merupakan salah satu muslihat supaya pasukan Gomu gentar. Orang-orang bertangan besi itu akan menaruh syak-wasangka, bahwa pasukan Vebr masih berusia belia, selingkar 18 hingga 27 tahun. Atau 30 tahun maksimal.
Saking repotnya, pasukan Vebr lupa mengirim surat kepada keluarga yang ditinggalkan. Menjadi budaya turun-temurun dari nenek moyang, bahwa sehari sebelum mendarat di mandala yuda, biasanya para prajurit menitahkan 10 atau 11 budak untuk menyampaikan wasiat yang digores di atas daun laune. Apa untungnya? Dalam surat itulah tertera harapan-harapan prajurit—tentang kehidupan anak-istri, tentang nasib hewan piaraan, tentang siapa penggarap ladang selanjutnya, atau bisa juga tentang utang yang belum lunas—, jika ternyata ajal bertandang.
***
Kegembiraan hinggap di setiap wajah pasukan pemanah. Antara percaya dan tidak, nyatanya mereka tunai memukul mundur pasukan Gomu. Mengikuti isyarat Borras, ribuan biji panah berhasil mereka lejitkan ke dada dan kepala orang-orang perkasa itu.
Celakanya, mereka lalai diri. Begitulah, tatkala gembira menyapa, siaga gemar meluap seketika. Usai menanti beberapa saat, mereka mengira kalau segenap pasukan Gomu berkalang tanah. Padahal, sebenarnya masih tersisa puluhan ribu lainnya di belakang barisan pertama—yang makbul diluluhlantakkan.
Mayoritas pasukan pemanah bubar dan menuju lembah Pohan. Borras berdengking, memperingatkan agar mereka segera kembali ke tempat semula. Sebiji pekerjaan yang sia-sia. Ya, sia-sia. Tiada mereka sama sekali menghiraukan. Borras mematung, memperhatikan kepala mereka yang di dalamnya tergeletak kegembiraan bercampur kelengahan. “Kalian semua bakal menyesal.” Desis Borras geram.
Memirsa pasukan pemanah bersenang-senang, pasukan pembawa tombak ikut girang. Mereka terpancing meninggalkan tempatnya lalu bergerumbul di tengah lembah Pohan. Terbius keadaan, Reyyco pun larut dalam kegirangan. Ia biarkan para pembagul tombak itu teledor.
Dalam kelengahan itulah, sekonyong-konyong menyembul pasukan besar dari arah utara. Pasukan Vebr tercekat sekaligus gelagapan. Apa yang berulang kali dikhawatirkan Sadalus akhirnya terbukti. Sebagus apa pun strategi, tanpa dibarengi komitmen tinggi, adalah omong kosong belaka.
Alangkah beringas dan bengisnya pasukan Gomu menghabisi seteru. Sepertinya, darah telah dijadikan minuman. Minuman? Benar. Usai mengkhatami nyawa orang-orang Vebr, pasukan Gomu menyeruput darah yang muncrat dari urat leher si korban. Dalam sejurus saja, mereka kocar-kacir bagai rayap dicecar minyak tanah. Sebuah kondisi yang terlampau di luar dugaan.
Sececah kemudian, atas komando Sadalus, pasukan pembawa pedang datang menolong kawan-kawan mereka. Akan tetapi, dengan mudahnya pasukan Gomu—yang sedang haus darah—membabat tubuh mereka satu persatu. Kala itu, lembah Pohan menjadi saksi atas kekalahan telak pasukan yang dikenal piawai dalam berperang dan selalu mengantongi kemenangan.
Di mana Sadalus? Ia tengah beradu kening dengan 15 orang sekaligus. Usai bertarung mati-matian, takah-takahnya ia layak mengunyah kepahitan yang dijejalkan oleh para seterunya. Dengan membabi buta, Sadalus diperlakukan tak ubahnya pencuri yang tertangkap tangan ketika melancarkan aksi. Orang-orang fakir perasaan itu menghujaninya dengan pukulan dan tendangan di serata badannya. Lantas, dengan tubuh begitu lemah dan berpeluh darah, ia diserahkan pada pemimpin pasukan Gomu guna menadah siksaan selanjutnya.
Biadab. Itulah ucapan yang pantas disematkan pada Cronn. Betapa tidak. Dengan kuasa yang ada di genggaman, sesungguhnya ia mampu menyita nyawa Sadalus dengan sekali tebas. Anehnya, ia urung melakukan. Ksatria macam apa ia; lebih suka memergoki sang rival memelihara penderitaan daripada menemui keabadian.
Dengan berdekah-dekah, bibirnya yang hitam menghembuskan kata-kata memekakkan telinga. “Berbahagialah, ksatria! Berbahagialah! Karena aku akan membiarkanmu menghirup udara lebih lama. Pedangku kurang tega memandangimu mampus begitu saja.”
Krsssshhh.. Darah segar berhamburan.
***
Mata Arycine membelalak sempurna. Di hadapannya, di bawah rindang pohon Gyun, tengah menggelesot sosok tanpa lengan dan kaki. Meski dibalut kain lusuh, compang-camping, dan digenapi dengan muka kusut, Arycine mafhum siapa lelaki itu sebenarnya. Sungguh, kini, usai pencarian begitu panjang dan melelahkan, Arycine disergap gamang. Terdesak antara dua pilihan: menuruti bisikan hati atau mengingkari janji yang terlanjur ia gulirkan.
Yogyakarta, 2011