Perempuan
memiliki peran strategis dalam pembangunan desa. Sayangnya, selama ini,
eksistensi mereka kurang mendapat perhatian. Potensi perempuan kurang
diberdayakan, sehingga kreatifitas dan kelebihan yang mereka miliki selama ini hanya
dicurahkan untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga.
Di
samping menangani urusan domestik, seperti merawat anak, menyiapkan hidangan di
meja makan, dan mencuci pakaian, perempuan juga kerap membantu perekonomian
keluarga. Kesejahteraan keluarga menjadi prioritas utama perempuan saat berburu
rizki. Dengan demikian, para suami sering mendapat bantuan, baik moril maupun
materiil, dari istri. Para suami berbagi peran dengan mereka dalam bekerja. Di
sela-sela kesibukan mengurus keperluan rumah tangga, perempuan menyempatkan waktu
untuk menambah penghasilan.
Sayangnya,
kultur patriarki telah merenggut hak perempuan untuk berpendapat, terutama
dalam urusan publik. Kebudayaan yang “pro-lelaki” rentan mengesampingkan suara
mereka. Jika pun ada usaha menampung gagasan perempuan, biasanya bersifat
seremonial dan formalitas belaka. Apa yang mereka sampaikan dalam sejumlah
forum bersama, seperti rembug desa, menguap seiring dengan semakin banyaknya
kepentingan yang lebih berpihak pada lelaki.
Padahal
di forum tersebut, perempuan dapat terlibat aktif dalam pembahasan dan
penyusunan rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDes), rencana kerja
pemerintah desa (RKPDes), anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes),
peraturan desa (perdes), serta masuknya investor ke desa. Hal-hal strategis ini
berada dalam jangkauan perempuan sebagai warga desa, tidak hanya pemerintah
desa dan BPD. Pengesampingan terhadap keberadaan mereka mengindikasikan adanya
gejala-gejala diskriminasi.
Meskipun
peraturan perundang-undangan telah memfasilitasi mereka untuk menjadi aktor
pembangunan di tingkat pedesaan, nyatanya kuota mereka kerap dipangkas. Struktur
pemerintahan desa mayoritas diisi oleh kaum lelaki yang dianggap lebih cerdas,
maju, dan berpikiran progresif. Selama ini, mitos keterbelakangan perempuan
seolah dilanggengkan oleh para elite desa. Mereka enggan berbagi kekuasaan
dengan perempuan yang identik dengan “urusan 3 M” (mencuci, memasak, dan merawat
anak).
Ini
berarti terdapat ketidakberimbangan masyarakat dalam menyikapi peran perempuan.
Di satu sisi, tenaga perempuan dihisap untuk menopang fondasi rumah tangga. Kondisi
perekonomian keluarga yang memprihatinkan memaksa mereka untuk ikut ambil
bagian dalam mencari uang. Namun, di sisi lain, gagasan mereka jarang ditampung
dalam ikhtiar menyelenggarakan pemerintahan desa. Suara mereka dianggap angin
lalu, sekadar untuk menyemarakkan gaung demokrasi prosedural. Ide demokratisasi
hanya tercatat dalam teori dan ruang-ruang ilmiah, namun dalam aplikasinya
kerap dinihilkan oleh kaum pendukung status quo.
Partisipasi Perempuan
Terbitnya
UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah membawa angin segar bagi pembangunan
desa yang lebih partisipatif. UU ini membuka ruang yang seluas-luasnya bagi
warga, termasuk perempuan, untuk turut serta dalam membangun desa. Mereka dapat
menunjukkan potensi dalam rangka membawa desa lebih maju dan bermartabat. Mereka
berhak turut serta dalam menyukseskan misi pemerintah: membangun Indonesia dari
pinggiran.
Sayangnya,
kapasitas aparat desa yang kurang memahami tata kelola desa enggan memberikan
kesempatan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik lokal. Terkait
itulah, Puskapol UI menilai penting upaya mendorong kepemimpinan perempuan
dalam partisipasi politik warga desa. (Republika, 05/01)
Pertama,
karakter khas desa. Desa merupakan unit pemerintahan terkecil yang memuat proses
politik, baik formal maupun personal. Sehingga, setiap warga berhak mengawasi berjalannya
dinamika politik desa. Dalam konteks inilah, perempuan tak selayaknya hanya ditonjolkan
sebagai sandaran potensi reproduksi biologis, namun juga potensi reproduksi
sosiologis dan politis. Semestinya mereka diberikan akses terhadap peran dan
fungsi kepemimpinan di tingkat lokal.
Kedua,
kendala struktural yang mengekang partisipasi politik perempuan. Minimnya
partisipasi politik perempuan dilatarbelakangi oleh beberapa kendala, di
antaranya regulasi, geografi, serta kendala kultur. Kendala-kendala ini mempersulit
perempuan untuk berkiprah di luar rumah tanpa seizin keluarga.
Ketiga,
kesejahteraan desa bertumpu pada kesejahteraan perempuan dan anak. Ukuran tingkat
kesejahteraan desa yang lebih mendasar meliputi kesehatan dan pendidikan di
mana indikator-indikatornya sesungguhnya lebih dekat dengan perempuan daripada
lelaki. Kepemimpinan perempuan dalam tata kelola desa mengandung upaya
meningkatkan kesejahteraan kehidupan warga desa.
Urgensi Dana
Desa
Bagi
masyarakat perdesaan, digelontorkannya Dana Desa merupakan kabar gembira.
Kebangkitan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat perdesaan ditopang oleh
dana desa. Apalagi, dibandingkan tahun 2015 sebesar 20,7 triliun rupiah, anggaran
desa pada 2016 direncanakan meningkat dua kali lipat menjadi 46 triliun rupiah.
Penyaluran
Dana Desa sejalan dengan target pemerintah mempercepat pembangunan desa dalam
upaya meningkatkan laju perkembangan ekonomi nasional. Dana
Desa bisa difungsikan sebagai penguat sektor badan usaha milik desa (BUMDes)
yang merupakan salah satu opsi sektoral dalam tubuh kelembagaan desa. Selain menjadi
katalisator pertumbuhan produktivitas kolektif masyarakat desa, BUMDes juga
dapat menggerakkan perekonomian masyarakat desa. Lahirnya UU No 6/2014 tentang
Desa yang ditunjang dengan PP No 43/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No
6/2014 mengandung harapan agar kontribusi BUMDes bagi perekonomian lokal lebih
optimal. (Chusainuddin, 2015)
Di
sinilah, potensi perempuan dapat didayagunakan. Pemerintah desa bisa
memercayakan BUMDes di tangan perempuan. Keuletan dan ketelatenan mereka diyakini
mampu memajukan desa melalui BUMDes. Para aparatur desa dituntut memiliki
pandangan bahwa perempuan merupakan aktor lokal yang berpartisipasi dalam politik
lokal dan berkontribusi dalam memajukan kehidupan desa. Dengan demikian, kendala
struktural yang mengekang peran perempuan diminimalisir. Adapun kesejahteraan
desa, yang bertumpu pada kesejahteraan perempuan, bisa diwujudkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar