Rabu, 20 Januari 2016

Desa dan Perempuan (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Fajar Sumatera" edisi Rabu, 20 Januari 2016)

Perempuan memiliki peran strategis dalam pembangunan desa. Sayangnya, selama ini, eksistensi mereka kurang mendapat perhatian. Potensi perempuan kurang diberdayakan, sehingga kreatifitas dan kelebihan yang mereka miliki selama ini hanya dicurahkan untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga.
Di samping menangani urusan domestik, seperti merawat anak, menyiapkan hidangan di meja makan, dan mencuci pakaian, perempuan juga kerap membantu perekonomian keluarga. Kesejahteraan keluarga menjadi prioritas utama perempuan saat berburu rizki. Dengan demikian, para suami sering mendapat bantuan, baik moril maupun materiil, dari istri. Para suami berbagi peran dengan mereka dalam bekerja. Di sela-sela kesibukan mengurus keperluan rumah tangga, perempuan menyempatkan waktu untuk menambah penghasilan.
Sayangnya, kultur patriarki telah merenggut hak perempuan untuk berpendapat, terutama dalam urusan publik. Kebudayaan yang “pro-lelaki” rentan mengesampingkan suara mereka. Jika pun ada usaha menampung gagasan perempuan, biasanya bersifat seremonial dan formalitas belaka. Apa yang mereka sampaikan dalam sejumlah forum bersama, seperti rembug desa, menguap seiring dengan semakin banyaknya kepentingan yang lebih berpihak pada lelaki.
Padahal di forum tersebut, perempuan dapat terlibat aktif dalam pembahasan dan penyusunan rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDes), rencana kerja pemerintah desa (RKPDes), anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes), peraturan desa (perdes), serta masuknya investor ke desa. Hal-hal strategis ini berada dalam jangkauan perempuan sebagai warga desa, tidak hanya pemerintah desa dan BPD. Pengesampingan terhadap keberadaan mereka mengindikasikan adanya gejala-gejala diskriminasi.
Meskipun peraturan perundang-undangan telah memfasilitasi mereka untuk menjadi aktor pembangunan di tingkat pedesaan, nyatanya kuota mereka kerap dipangkas. Struktur pemerintahan desa mayoritas diisi oleh kaum lelaki yang dianggap lebih cerdas, maju, dan berpikiran progresif. Selama ini, mitos keterbelakangan perempuan seolah dilanggengkan oleh para elite desa. Mereka enggan berbagi kekuasaan dengan perempuan yang identik dengan “urusan 3 M” (mencuci, memasak, dan merawat anak).
Ini berarti terdapat ketidakberimbangan masyarakat dalam menyikapi peran perempuan. Di satu sisi, tenaga perempuan dihisap untuk menopang fondasi rumah tangga. Kondisi perekonomian keluarga yang memprihatinkan memaksa mereka untuk ikut ambil bagian dalam mencari uang. Namun, di sisi lain, gagasan mereka jarang ditampung dalam ikhtiar menyelenggarakan pemerintahan desa. Suara mereka dianggap angin lalu, sekadar untuk menyemarakkan gaung demokrasi prosedural. Ide demokratisasi hanya tercatat dalam teori dan ruang-ruang ilmiah, namun dalam aplikasinya kerap dinihilkan oleh kaum pendukung status quo.

Partisipasi Perempuan
Terbitnya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah membawa angin segar bagi pembangunan desa yang lebih partisipatif. UU ini membuka ruang yang seluas-luasnya bagi warga, termasuk perempuan, untuk turut serta dalam membangun desa. Mereka dapat menunjukkan potensi dalam rangka membawa desa lebih maju dan bermartabat. Mereka berhak turut serta dalam menyukseskan misi pemerintah: membangun Indonesia dari pinggiran.
Sayangnya, kapasitas aparat desa yang kurang memahami tata kelola desa enggan memberikan kesempatan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik lokal. Terkait itulah, Puskapol UI menilai penting upaya mendorong kepemimpinan perempuan dalam partisipasi politik warga desa. (Republika, 05/01)
Pertama, karakter khas desa. Desa merupakan unit pemerintahan terkecil yang memuat proses politik, baik formal maupun personal. Sehingga, setiap warga berhak mengawasi berjalannya dinamika politik desa. Dalam konteks inilah, perempuan tak selayaknya hanya ditonjolkan sebagai sandaran potensi reproduksi biologis, namun juga potensi reproduksi sosiologis dan politis. Semestinya mereka diberikan akses terhadap peran dan fungsi kepemimpinan di tingkat lokal.
Kedua, kendala struktural yang mengekang partisipasi politik perempuan. Minimnya partisipasi politik perempuan dilatarbelakangi oleh beberapa kendala, di antaranya regulasi, geografi, serta kendala kultur. Kendala-kendala ini mempersulit perempuan untuk berkiprah di luar rumah tanpa seizin keluarga.
Ketiga, kesejahteraan desa bertumpu pada kesejahteraan perempuan dan anak. Ukuran tingkat kesejahteraan desa yang lebih mendasar meliputi kesehatan dan pendidikan di mana indikator-indikatornya sesungguhnya lebih dekat dengan perempuan daripada lelaki. Kepemimpinan perempuan dalam tata kelola desa mengandung upaya meningkatkan kesejahteraan kehidupan warga desa.

Urgensi Dana Desa
Bagi masyarakat perdesaan, digelontorkannya Dana Desa merupakan kabar gembira. Kebangkitan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat perdesaan ditopang oleh dana desa. Apalagi, dibandingkan tahun 2015 sebesar 20,7 triliun rupiah, anggaran desa pada 2016 direncanakan meningkat dua kali lipat menjadi 46 triliun rupiah.
Penyaluran Dana Desa sejalan dengan target pemerintah mempercepat pembangunan desa dalam upaya meningkatkan laju perkembangan ekonomi nasional. Dana Desa bisa difungsikan sebagai penguat sektor badan usaha milik desa (BUMDes) yang merupakan salah satu opsi sektoral dalam tubuh kelembagaan desa. Selain menjadi katalisator pertumbuhan produktivitas kolektif masyarakat desa, BUMDes juga dapat menggerakkan perekonomian masyarakat desa. Lahirnya UU No 6/2014 tentang Desa yang ditunjang dengan PP No 43/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No 6/2014 mengandung harapan agar kontribusi BUMDes bagi perekonomian lokal lebih optimal. (Chusainuddin, 2015)
Di sinilah, potensi perempuan dapat didayagunakan. Pemerintah desa bisa memercayakan BUMDes di tangan perempuan. Keuletan dan ketelatenan mereka diyakini mampu memajukan desa melalui BUMDes. Para aparatur desa dituntut memiliki pandangan bahwa perempuan merupakan aktor lokal yang berpartisipasi dalam politik lokal dan berkontribusi dalam memajukan kehidupan desa. Dengan demikian, kendala struktural yang mengekang peran perempuan diminimalisir. Adapun kesejahteraan desa, yang bertumpu pada kesejahteraan perempuan, bisa diwujudkan.

Bojonegoro, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar