Bila dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Timur lainnya, laju disparitas atau ketimpangan masyarakat Indonesia dinilai paling cepat. Sebagaimana di kota-kota besar, disparitas juga mudah kita temukan di perdesaan. Suasana desa yang digambarkan damai, tenang, rukun, guyub, dan penuh keharmonisan dalam buku usang dan naskah fiksi mulai sukar ditemukan dalam realitas. Kini, terjadi perebutan akses, sarana, sumber ekonomi, dan klaim politis antar individu dan berbagai komunitas di banyak desa. Pergolakan dan segregasi sosial antara golongan atas dengan golongan bawah sukar dihindarkan.
Desa menjadi ajang pertarungan antara mereka yang kuat dan lemah. Hukum rimba yang menetapkan bahwa the have (pemilik uang) sebagai pemenang menjadi pegangan dan tolok ukur segala bentuk persaingan. Apa yang digaungkan filusuf Inggris Thomas Hobbes dalam karyanya De Cive (1651) “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi sesamanya) tak dapat disangkal. Ketentuan di atas menyebabkan tergerusnya prinsip dan nilai kehidupan komunal yang mengutamakan gotong-royong dan musyawarah. Hal ini terutama akibat menguatnya gejala urbanisme dan elitisme lokal dalam beberapa dasawarsa terakhir.
Gaya hidup kaum urban yang merangsek pada pola hidup orang desa menjadikan kolektivisme tergantikan oleh individualisme. Identitas orang desa sebagai penjunjung tinggi kebersamaan, keharmonisan, dan keselarasan hidup ditanggalkan demi menyesuaikan diri dengan lingkungan egoistis berbasis kepentingan. Egosentrisme merupakan landasan manusia dalam berpikir dan berperilaku. Imbasnya, hubungan manusia terbangun serba banal dan dangkal makna.
Televisi, internet, dan media lainnya memiliki pengaruh signifikan dalam mencekoki generasi muda dengan tindak-tanduk kaum modern yang serba hedonis dan materialistis. Tercerabutnya kultur desa disebabkan menjamurnya tayangan sampah, infotainment, dan berita kurang mendidik. Kultur urban yang begitu dominan mengakibatkan lingkungan perdesaan tidak jauh berbeda dengan lingkungan perkotaan. Realitas ini mengamini tesis Koentjaraningrat puluhan tahun silam, bahwa batas, ciri, serta karakter perkotaan dan perdesaan semakin kabur.
Gairah dan hasrat anak muda menjadikan diri sebagai bagian dari kehidupan perkotaan kian menguat. Mereka turut mengukuhkan dominasi kelas tertentu dalam sikap dan aktifitas sehari-hari. Kesenjangan hidup tidak mereka rasakan, meski merupakan problem serius yang butuh solusi. Kawula muda lebih bangga jika identitas urban melekat pada diri mereka. Kini, tiada lagi yang membanggakan diri sebagai wong ndeso (orang desa). Jika pun ada, itu hanya dilakukan oleh mereka yang lama menetap di kota sebagai wujud nostalgia dan rasa kangen terhadap kehidupan desa.
Penduduk desa masa kini tengah mengantongi julukan kaum semi-urban: bermukim di desa dengan pemikiran serba urban. Mereka bergaya, berperilaku, dan bercorak pikir layaknya orang kota. Berpenampilan modis dan trendy, digenapi dengan gadget canggih, mereka menampakkan diri sebagai orang kota. Sayangnya, tampilan fisik yang menggelorakan urbanisme kurang diimbangi dengan matangnya pola berpikir.
Celakanya, dunia pendidikan turut mengukuhkan urbanisme di lingkungan perdesaan. Sejak kecil, anak-anak desa melahap buku pelajaran dengan habitus kelas tertentu. Mereka kerap dicekoki dunia yang bukan keseharian mereka. Materi yang diajarkan kepada siswa memperlihatkan potret kehidupan orang kota lebih dominan dibanding habitus desa. Dari ketidakberimbangan ilustrasi materi tersebut, disparitas kelas atas (orang kaya) dan kelas bawah (orang miskin) muncul. Mereka telah mengalami apa yang disebut Pierre Bourdieu sebagai “kekerasan simbolik”.
Elitisme Lokal
Masyarakat lapisan bawah yang hidup di perdesaan kerap memperoleh perlakuan diskriminatif. Seringkali orang kaya mendapat tempat dalam kebijakan desa. Kepala desa seolah berpandangan bahwa orang kaya harus diprioritaskan.
Peraturan desa (Perdes) berangkat dari aspirasi orang-orang dengan status ekonomi dan sosial yang tinggi. Aspirasi orang-orang kecil diabaikan oleh aktor-aktor lokal yang memegang kekuasaan desa. Akibatnya, di samping timbulnya kedengkian orang-orang kecil terhadap orang kaya, kecurigaan mereka terhadap para elit juga semakin meruncing.
Bagaimana pun, elitisme lokal telah mengabaikan hak-hak sebagian orang desa dan membiarkan mereka hidup dalam keadaan timpang. Kultur tradisional dan feodal menyebabkan beberapa orang gila materi dan kehormatan. Mereka rela melakukan apa saja, asalkan “muka” dapat diselamatkan.
Hal ini mengingatkan kita pada novel karangan Multatuli, Max Havelaar, yang menggambarkan betapa kaum kolonial berhasil memanfaatkan kultur tradisional dan feodal. Para Kepala Desa mengantongi tugas menarik pajak, panen, dan hasil ladang penduduk desa. Mereka membuktikan kepatuhan membabibuta demi merawat kesejahteraan dan kewibawaan, meski darah dan keringat pribumi menjadi tumbal pundi-pundi keuangan pejabat kolonial.
Berbagai kebijakan pemerintah desa kerap menutup ruang ekonomi, merampas modal sosial, menyulut disintegrasi, mendukung konflik sosial, serta menghancurkan sendi-sendi demokrasi lokal. Kongkalikong antara Kepala Desa dan aparaturnya dengan orang-orang kaya membuat sebagian penduduk desa kehilangan akses, fasilitas, dan layanan publik. Dengan demikian, kesejahteraan hanya berhasil dicapai oleh para pemodal, pebisnis dan kapitalis. Adapun rakyat jelata senantiasa menikmati penderitaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar