Perempuan itu meraung.
Keningnya melelehkan darah. Ia, yang sudah beberapa lama menanti kehadiran seorang
lelaki, akhirnya harus mengalah. Entah kepada diri sendiri, atau kepada mereka
yang menyebutnya gila. Ha? Gila? Kata yang disematkan pada tubuhnya enam bulan
terakhir.
Orang-orang di
sekeliling memandanginya, berdesis. Tanpa ragu, ia menyaring suara-suara yang
menyembul dari katup mulut mereka, satu persatu. Namun, menggeleng. Pertanda
bahwa desisan tersebut kurang jelas. Atau bisa jadi memang terlalu sukar dialihbahasakan
dua telinganya.
Heran. Itulah kesan
pada dirinya sendiri, yang genap menjadi magnet bagi sesiapa yang melihatnya.
Di jalan, jembatan, trotoar, atau bahkan alun-alun kota. Wajahnya yang kotor-kusam
namun masih ditempeli bulir-bulir kecantikan, rupanya menjadi daya pukau
tersendiri bagi kaum lelaki. Tak ayal, berkali-kali ia nampak mengutuki diri
sendiri. Bukan tuduhan gila yang digencarkan kepadanya, namun lebih karena elok
rupa yang terlanjur ia tampung, sejak kali pertama menghirup udara untuk
diputar di hidung.
Kini, di telapak tangan
kanannya melekat cairan kental merah tua. Ia mengusap sembari memijat. Memastikan
bahwa di keningnya tidak menganga lubang besar sebagaimana di jalan raya di negara
asalnya yang tak bosan-bosannya melahirkan kecelakaan beruntun. Juga merekam
wajah lelaki yang begitu tega melempar batu ke arahnya. Padahal, selama ini,
lelaki-lelaki yang menjumpai dan dijumpainya selalu bertabiat serupa: mengulum
ujung jakun, sambil menatap lekat-lekat buah dadanya yang dibiarkan
menggantung, terbuka.
Sepertinya, ah, lelaki
itu, lelaki dengan tindik di bawah bibirnya itu, pernah menjadi bagian dari
kehidupannya.
***
Mematung. Memperhatikan
lalu-lalang mereka yang berseliweran di depannya. Jangkap berminggu-minggu ia
tinggal di sudut stasiun itu. Sendirian. Menanti kedatangan seorang perempuan.
Hingga bosan. Tapi, tidak. Ia tetap menunjukkan sikap seorang kekasih setia,
yang mengawat erat setiap janjinya.
Beberapa orang sering
mempermainkan dirinya. Ada yang memiring-miringkan telunjuknya, ada yang
pura-pura mengajaknya tertawa, juga ada yang bahkan sengaja mencelakainya. Ya,
tak jarang mereka melemparkan kotoran ke kepalanya atau mengencinginya ketika
tidur.
Tak habis pikir,
mengapa ia diperlakukan sedemikian rupa. Seperti mainan. Bukan, bukan. Seperti
sampah, barangkali. Ia, kalau suatu saat mereka menginginkan, bisa saja dibakar
ramai-ramai, guna sekadar mencari hiburan atau mengusir dinginnya malam. Sebagaimana
yang terjadi tadi malam, di mana seorang perempuan yang membawa korek api,
hendak menjadikannya api unggun, ketika daun-daun sudah dirayapi jari embun. Tapi,
bukannya bersama komplotan, perempuan itu melakukannya tanpa teman.
Untunglah, ia selamat. Berkat
kesigapannya untuk segera kabur dalam kondisi basah kuyup, bermandikan bensin,
yang telah diguyurkan ke serata tubuhnya. Lagi-lagi ia tak habis pikir, nekat
benar perempuan itu. Hingga tanpa merasa berdosa sedikitpun, bermaksud
mengirimnya ke neraka.
Sesampai di tempat yang
agak jauh, nafasnya kembang kempis. Ia, yang sibuk memeras peluh di pelipis,
mencoba merangkai ingatan tentang perempuan yang berniat menghabisi, namun
seolah pernah menanamkan benih-benih cinta dalam hati.
***
“Siapa kau?” Lelaki dan
perempuan itu melanting pertanyaan, bersamaan.
“Kau siapa?” Kurang
puas, sekali lagi, keduanya bersoal antara satu dengan yang lain.
Hening.
“Kenapa keningmu berdarah?”
“Kenapa tubuhmu berbau
bahan bakar?”
“Orang gila
menghadiahkan batu kepadaku.”
“Orang gila memberi
kejutan untukku.”
“Orang gila? Hmmm…”
Untuk kesekian kalinya mereka mengucap hal yang sama, berbarengan pula.
“Lelaki itu sangat
kesepian. Menghujaniku dengan batu, berharap aku mengejarnya. Ia ingin ulang
permainan yang mungkin biasa diikuti semasa kecil. Tapi, aku bukanlah perempuan
bodoh!”
“Perempuan itu begitu
akrab dengan kesunyian. Dari raut mukanya, aku bisa mengetahui isyarat itu
dengan jelas. Barangkali dengan membakar tubuhku, ingin ia dapatkan kehangatan,
yang selalu ditawarkan kekasih.”
“Kekasih?”
“Ya, kekasih. Kau
punya?”
Ia mengangguk.
Kemudian menggeleng.
“Oh, sayang. Kau
termasuk orang merugi.”
“Aku bukan mengatakan
tidak punya.”
“Lantas?”
“Lupa, apa aku pernah
punya kekasih atau tidak. Bagaimana denganmu?”
“Ini pertanyaan paling
sulit kujawab.”
“Maaf.”
“Kalau boleh tahu,
sedang apa kau di sini?”
“Kalau tidak salah,
dulu seorang lelaki berjanji menungguku. Di stasiun ini.”
“Kekasihmu?”
“Sudah kubilang, aku
benar-benar lupa. Tapi, mungkin saja ia memang lelaki istimewa.”
“Beruntunglah lelaki
itu.”
“Beruntung?”
“Kekasihnya begitu
setia.”
“Salah. Asal kau tahu,
ikrar kesetiaan yang paling rentan dilanggar adalah melupakan ikatan antara
sepasang kekasih.”
“Ikatan?”
“Benar. Tentu kau
pernah membuat ikatan bersama seorang perempuan?”
Lelaki itu tidak
mengangguk. Tidak pula menggeleng. Sepenghisap pipa kemudian, ia bermaksud menerbangkan
pikirannya ke masa-masa yang telah ia lewati, namun gagal.
***
Jessica Subono dan Yoga
Bradley berjanji bertemu di stasiun Woking. Sesuai kesepakatan kemarin, mereka
berdua hendak membelanjakan liburan di Guildford, empat puluh tiga kilometer
barat daya London. Dua mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di ibu kota
Inggris tersebut berangkat dari apartemen masing-masing.
Di tengah perjalanan
menuju stasiun, keduanya membayangkan alangkah indahnya kencan pertama yang
akan dilalui. Kenangan-kenangan manis akan tercipta dalam suasana sejuk-tenang,
di kota Guildford. Selain mengunjungi katedral, galeri seni, museum, menikmati
bioskop dan teater (Yvonne Arnaud),
sepasang kekasih tersebut juga dapat mengenang pemboman oleh gerilyawan
Irlandia Utara pada dua pub lokal. Betapa Jessica Subono dan Yoga Bradley ingin
memetik pengalaman berbeda dalam kencannya, dibanding mahasiswa-mahasiswa asal
Indonesia yang lain. Namun, sekali pun mereka tidak pernah membayangkan, di
sana, di dekat stasiun Woking sana, berlangsung demonstrasi ribuan mahasiswa
dari berbagai kampus, menentang rencana
pemerintah dalam mengurangi anggaran negara. Pun, dua mahasiswa yang baru seminggu
menjalin asmara tersebut, tidak pernah berpikir, bahwa demonstrasi berdarah
itulah yang ternyata bakal menyebabkan keduanya menjadi gila. Selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar