Jumat, 22 Januari 2016

Sepasang Gila (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian “Fajar Sumatera” edisi Jumat, 22 Januari 2016)

Perempuan itu meraung. Keningnya melelehkan darah. Ia, yang sudah beberapa lama menanti kehadiran seorang lelaki, akhirnya harus mengalah. Entah kepada diri sendiri, atau kepada mereka yang menyebutnya gila. Ha? Gila? Kata yang disematkan pada tubuhnya enam bulan terakhir.
Orang-orang di sekeliling memandanginya, berdesis. Tanpa ragu, ia menyaring suara-suara yang menyembul dari katup mulut mereka, satu persatu. Namun, menggeleng. Pertanda bahwa desisan tersebut kurang jelas. Atau bisa jadi memang terlalu sukar dialihbahasakan dua telinganya.
Heran. Itulah kesan pada dirinya sendiri, yang genap menjadi magnet bagi sesiapa yang melihatnya. Di jalan, jembatan, trotoar, atau bahkan alun-alun kota. Wajahnya yang kotor-kusam namun masih ditempeli bulir-bulir kecantikan, rupanya menjadi daya pukau tersendiri bagi kaum lelaki. Tak ayal, berkali-kali ia nampak mengutuki diri sendiri. Bukan tuduhan gila yang digencarkan kepadanya, namun lebih karena elok rupa yang terlanjur ia tampung, sejak kali pertama menghirup udara untuk diputar di hidung.
Kini, di telapak tangan kanannya melekat cairan kental merah tua. Ia mengusap sembari memijat. Memastikan bahwa di keningnya tidak menganga lubang besar sebagaimana di jalan raya di negara asalnya yang tak bosan-bosannya melahirkan kecelakaan beruntun. Juga merekam wajah lelaki yang begitu tega melempar batu ke arahnya. Padahal, selama ini, lelaki-lelaki yang menjumpai dan dijumpainya selalu bertabiat serupa: mengulum ujung jakun, sambil menatap lekat-lekat buah dadanya yang dibiarkan menggantung, terbuka.
Sepertinya, ah, lelaki itu, lelaki dengan tindik di bawah bibirnya itu, pernah menjadi bagian dari kehidupannya.  
***
Mematung. Memperhatikan lalu-lalang mereka yang berseliweran di depannya. Jangkap berminggu-minggu ia tinggal di sudut stasiun itu. Sendirian. Menanti kedatangan seorang perempuan. Hingga bosan. Tapi, tidak. Ia tetap menunjukkan sikap seorang kekasih setia, yang mengawat erat setiap janjinya.
Beberapa orang sering mempermainkan dirinya. Ada yang memiring-miringkan telunjuknya, ada yang pura-pura mengajaknya tertawa, juga ada yang bahkan sengaja mencelakainya. Ya, tak jarang mereka melemparkan kotoran ke kepalanya atau mengencinginya ketika tidur.
Tak habis pikir, mengapa ia diperlakukan sedemikian rupa. Seperti mainan. Bukan, bukan. Seperti sampah, barangkali. Ia, kalau suatu saat mereka menginginkan, bisa saja dibakar ramai-ramai, guna sekadar mencari hiburan atau mengusir dinginnya malam. Sebagaimana yang terjadi tadi malam, di mana seorang perempuan yang membawa korek api, hendak menjadikannya api unggun, ketika daun-daun sudah dirayapi jari embun. Tapi, bukannya bersama komplotan, perempuan itu melakukannya tanpa teman.
Untunglah, ia selamat. Berkat kesigapannya untuk segera kabur dalam kondisi basah kuyup, bermandikan bensin, yang telah diguyurkan ke serata tubuhnya. Lagi-lagi ia tak habis pikir, nekat benar perempuan itu. Hingga tanpa merasa berdosa sedikitpun, bermaksud mengirimnya ke neraka.
Sesampai di tempat yang agak jauh, nafasnya kembang kempis. Ia, yang sibuk memeras peluh di pelipis, mencoba merangkai ingatan tentang perempuan yang berniat menghabisi, namun seolah pernah menanamkan benih-benih cinta dalam hati.  
***
“Siapa kau?” Lelaki dan perempuan itu melanting pertanyaan, bersamaan.
“Kau siapa?” Kurang puas, sekali lagi, keduanya bersoal antara satu dengan yang lain.
Hening.
“Kenapa keningmu berdarah?”
“Kenapa tubuhmu berbau bahan bakar?”
“Orang gila menghadiahkan batu kepadaku.”
“Orang gila memberi kejutan untukku.”
“Orang gila? Hmmm…” Untuk kesekian kalinya mereka mengucap hal yang sama, berbarengan pula.
“Lelaki itu sangat kesepian. Menghujaniku dengan batu, berharap aku mengejarnya. Ia ingin ulang permainan yang mungkin biasa diikuti semasa kecil. Tapi, aku bukanlah perempuan bodoh!”
“Perempuan itu begitu akrab dengan kesunyian. Dari raut mukanya, aku bisa mengetahui isyarat itu dengan jelas. Barangkali dengan membakar tubuhku, ingin ia dapatkan kehangatan, yang selalu ditawarkan kekasih.”
“Kekasih?”
“Ya, kekasih. Kau punya?”
Ia mengangguk.
Kemudian menggeleng.
“Oh, sayang. Kau termasuk orang merugi.”
“Aku bukan mengatakan tidak punya.”
“Lantas?”
“Lupa, apa aku pernah punya kekasih atau tidak. Bagaimana denganmu?”
“Ini pertanyaan paling sulit kujawab.”
“Maaf.”
“Kalau boleh tahu, sedang apa kau di sini?”
“Kalau tidak salah, dulu seorang lelaki berjanji menungguku. Di stasiun ini.”
“Kekasihmu?”
“Sudah kubilang, aku benar-benar lupa. Tapi, mungkin saja ia memang lelaki istimewa.”
“Beruntunglah lelaki itu.”
“Beruntung?”
“Kekasihnya begitu setia.”
“Salah. Asal kau tahu, ikrar kesetiaan yang paling rentan dilanggar adalah melupakan ikatan antara sepasang kekasih.”
“Ikatan?”
“Benar. Tentu kau pernah membuat ikatan bersama seorang perempuan?”
Lelaki itu tidak mengangguk. Tidak pula menggeleng. Sepenghisap pipa kemudian, ia bermaksud menerbangkan pikirannya ke masa-masa yang telah ia lewati, namun gagal.
***
Jessica Subono dan Yoga Bradley berjanji bertemu di stasiun Woking. Sesuai kesepakatan kemarin, mereka berdua hendak membelanjakan liburan di Guildford, empat puluh tiga kilometer barat daya London. Dua mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di ibu kota Inggris tersebut berangkat dari apartemen masing-masing.
Di tengah perjalanan menuju stasiun, keduanya membayangkan alangkah indahnya kencan pertama yang akan dilalui. Kenangan-kenangan manis akan tercipta dalam suasana sejuk-tenang, di kota Guildford. Selain mengunjungi katedral, galeri seni, museum, menikmati bioskop dan teater (Yvonne Arnaud), sepasang kekasih tersebut juga dapat mengenang pemboman oleh gerilyawan Irlandia Utara pada dua pub lokal. Betapa Jessica Subono dan Yoga Bradley ingin memetik pengalaman berbeda dalam kencannya, dibanding mahasiswa-mahasiswa asal Indonesia yang lain. Namun, sekali pun mereka tidak pernah membayangkan, di sana, di dekat stasiun Woking sana, berlangsung demonstrasi ribuan mahasiswa dari berbagai kampus,  menentang rencana pemerintah dalam mengurangi anggaran negara. Pun, dua mahasiswa yang baru seminggu menjalin asmara tersebut, tidak pernah berpikir, bahwa demonstrasi berdarah itulah yang ternyata bakal menyebabkan keduanya menjadi gila. Selamanya.

Yogyakarta, 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar